Dari Ketinggian Satu ke Ketinggian Lain


Saya mendapat pengalaman yang berharga dari profesi wartawan yang saya jalani seminggu terakhir. Pilihan tepat yang saya ambil, menurut saya. Pengalaman itu telah membawa saya pada penafsiran yang berbeda atas seni menulis. 

————
Sudah satu minggu lebih saya menjalani kehidupan saya sebagai wartawan. Keputusan yang didukung sepenuhnya oleh orang tua saya asalkan saya berusaha mati-matian untuk tetap bisa lulus sarjana tepat waktu. 

Saya menulis tiga berita setiap hari. Saya mewawancarai narasumber, kemudian menulis dari itu sendirian. Sebuah pembiasaan ekstrem untuk saya yang terbiasa menyelesaikan sebuah tulisan ringan dan menengah dalam beberapa hari. 

Sebelum saya menjadi wartawan, dalam seluruh kebiasaan menulis saya, saya selalu mengandalkan kondisi perasaan yang baik, pemikiran yang jernih, fokus yang tidak main-main, kontemplasi yang hati-hati, serta tempat yang nyaman. Dan sejak menjadi wartawan, semua kondisi itu ambrol. Saya diharuskan mampu menulis di mana saja. Redaktur tidak tahu-menahu tentang kondisi perasaan saya. Jangankan menulis bertumpukan meja, dalam kondisi mepet, dikejar tenggat waktu, saya bisa menulis di pinggir jalan. Tapi bukan berarti saya tidak berkontemplasi, tidak berpikir jernih atau fokus saya terganggu. Saya hanya membiasakan diri untuk melakukan ketiganya itu di manapun saya berada dan bagaimanapun kondisi perasaan saya. Maka dari itu pandangan saya terhadap seni menulis telah berubah. 

Saya selalu mengasosiasikan ide menulis, dan juga prosesnya sebagai sebuah ilham, perpaduan laku psikologis dan fisis untuk menciptakan ketepatan logika. Menulis telah menjadi semacam peristiwa dan pengalaman sakral. Maka, ketika terbesit dalam kepala saya keinginan menjadi penulis, saya hanya bertekad untuk menekuni cerita pendek. Saya merasa kemampuan pengilhaman saya hanya dapat saya tekan untuk lima ribu kata saja. Dan membayangkan menulis novel rasanya pengin muntah. 

Baca juga: Solusi Tiga Negara 

Begitu juga dengan artikel ilmiah. Jujur saja saya kelimpungan walau hanya menulis makalah belasan halaman. Saya merasa kesulitan melihat secara utuh bagaimana bentuk makalah yang seharusnya saya tulis. Dan saya tidak pandai berpanjang-panjang. Jika tulisan saya hanya sebatas 600an kata, saya bisa memikirkannya dengan mudah, dan tak ada kesulitan untuk mencari sesuatu yang bagus untuk mengakhirinya. Tapi jika mencapai ribuan, saya belum memiliki dedikasi yang tinggi untuk itu. 

Menulis selalu menjadi saat-saat yang sulit bagi saya. Saya harus berada di ruangan. Sendirian. Saya tidak bisa kepanasan, juga tidak kedinginan. Saya tidak boleh berkeringat sekaligus tidak menggigil. Saya harus bebas dari berbagai gangguan. Saya harus dalam kondisi motivasi yang tinggi. Dan saya butuh sesuatu yang sensitif untuk bahan tulisan saya. Sesuatu yang benar-benar mengganggu pikiran saya. Sesuatu yang menggigit dan menggores tangan saya. Sesuatu yang jika tidak saya tuliskan, ia akan mengendap dan menyakitkan kepala saya. 

Tapi bagaimana dengan jurnalisme? 

Mungkin, jika kita suka menulis tentang psikologi, kita bisa menulis berita dengan topik-topik psikologi setiap hari. Tapi jurnalis media umum arus utama dituntut mengonsumsi berbagai isu. Dia lah orang yang mengerti segala persoalan di setiap sendi kehidupan, setidaknya secara alakadar. Jurnalis lah orang yang, di saat semua orang mempelajari ilmu secara spesifik, dia tidak begitu. Saat ini, saya harus memperluas topik bacaan saya. Sebagai contoh, saya tidak terlalu tertarik dengan situs-situs kesejarahan dalam lingkup perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tapi di bulan November ini, saya harus banyak meliput tentang itu. Jadi saya mulai mempelajarinya sedikit demi sedikit. Sambil mengenyahkan rasa tidak suka saya. 

Seringnya saya menulis, walau hanya kurang dari 500 kata, telah membawa saya pada definisi yang seni menulis yang berbeda. Saya telah sampai pada pemahaman bahwa menulis adalah sebuah kerajinan. Menulis merupakan kerja ketekunan. Menulis berita telah membuat saya lebih dekat dengan realitas, yang selama ini, hanya seperti tampak dari sebuah puncak gunung. Sekarang, saya pun menuruni gunung itu, berinteraksi dengan realitas, dan menuliskannya untuk Anda semua. 


Maka dari itu menulis bukan sesuatu yang sakral lagi buat saya. Bukan saat-saat tersulit lagi. Menulis bukan sesuatu yang jika sedang tidak enak perasaan atau fokus yang kurang, tidak tercipta lagi. Menulis sudah menjadi sebuah kerajinan yang mudah bagi saya, setidaknya untuk kualitas tulisan yang sekarang. Kadang kala, saya memang merasa keberatan dengan jumlah berita yang harus saya tulis sehari. Namun, dengan banyaknya bentuk realitas yang saya dapat dari proses itu, saya sungguh merasa puas. Ini biasa terjadi ketika saya sudah menuntaskan tiga berita. Di saat-saat seperti itu, saya seperti tengah berdiri di pintu surga. 

Tak perlu kiranya dengan perubahan pandangan ini, menurun juga kualitas seni menulis bagi saya. Tidak. Pendek kata, keagungan seni menulis telah bergeser. Dari ketinggian dengan standar emosi bagus, fokus stabil, dan tempat nyaman, menuju ketinggian dengan berbagai emosi, tempat, dan gangguan. Dan beberapa hal yang perlu saya kenang dari proses perubahan ini adalah disiplin dan dedikasi. Saya berharap kenikmatan ini terus menyertai saya.

Komentar

Postingan Populer