Solusi Tiga Negara (Etgar Keret)



Cerita ini saya terjemahkan dari judul asli "A Story With A Happy Ending". Nama Fredi Sahwa adalah cetusan saya untuk memudahkan pembaca menyebut tokoh. Judulnya juga telah saya ubah dari aslinya. Baca versi aslinya di sini.  


OLEH ETGAR KERET 


SEMBILAN tahun silam, dalam sebuah babak berdarah Israel dan Palestina, Sayed Kashua memutuskan untuk beremigrasi. Dia teman saya yang brilian. Dia adalah penulis yang lahir dan dibesarkan di Israel. 

"Kekerasan, keputusasaan, dan rasisme yang saya alami," kata Sayed, "membuat saya ingin pergi dari Israel dan mencari masa depan yang lebih baik untuk anak saya."

Dan setelah pindah ke Champaigne, Illinois, Sayed dan saya melakukan korespondensi yang jujur dan menyedihkan. Beberapa darinya dipublikasikan di The New Yorker. 

Dalam salah satu surat-surat itu, Sayed merasa terasing dan terputus dengan masyarakat Amerika Serikat. Dia pun memintaku untuk menulis sebuah cerita untuk menghiburnya. 

Sementara itu, Sabtu, 7 Oktober 2023 lalu, kita mendengar laporan tentang pembantaian, jahatnya penculikan, dan ratusan nyawa yang melayang di kibbutzim (permukiman Yahudi) di Israel Selatan. Kemudian, Israel yang dipimpin oleh pemerintah ekstremis Messianis seperti Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, memutuskan untuk berperang. 

Saya pun merasakan putus asa yang sama dengan yang Sayed rasakan sembilan tahun lalu. Mencari sedikit harapan, saya pun memungut kembali cerita lama saya dari loteng. 



Solusi Tiga Negara 

2015 adalah tahun yang bersejarah bagi Timur Tengah: sebuah ide brilian telah dicetuskan oleh seorang ekspatriat Arab-Israel, Fredi Sahwa. Dia merupakan seorang penulis. 

Suatu sore, Fredi duduk di kursi beranda depan di Urbana, Illinois. Rumahnya menghadap ladang jagung yang tak terbatas luasnya, sampai-sampai memenuhi cakrawala. Melihat hamparan yang luas itu, dia tak mampu melarikan diri dari pemikiran, bahwa, mungkin problem di Israel berakar dari tidak cukupnya ruang untuk semua orang. 

"Jika aku bisa mengepak semua ladang ini ke dalam koperku," gumamnya, "melipatnya dengan sangat rapi dan kecil, aku bisa membawanya terbang ke Israel. Aku akan melewati petugas bea cukai dengan aman. Berlagak seperti orang yang tidak punya apa-apa untuk dipamerkan. Sebab, apa lagi yang aku punya? Alih-alih mengepak idelogi subsersif dalam koperku, atau sesuatu yang membuat petugas keamanan curiga, yang saya bawa hanyalah ladang jagung besar, yang sudah saya lipat dengan kecil. 

"Sesampainya di rumah aku akan membuka koperku, dan shazam! Tiba-tiba ladangnya menjadi tanah luas yang cukup untuk masing-masing orang Palestina dan Israel. Bahkan masih tersisa untuk taman hiburan raksasa. Kedua bangsa itu bisa memakai pengetahuan dan teknologi mereka untuk mengembangkan senjata di tanah itu. Bahkan bisa memakainya untuk membangun sebuah rollercoaster paling keren di dunia."

Fredi sangat bersemangat ketika bangkit untuk mengabari istrinya tentahg gagasan yang mendebarkan ini. Namun, istrinya menolak bersemangat. "Lupakan itu," kata istrinya dengan dingin, "itu takkan berhasil." 

Fredi mengakui, dia memang masih harus memikirkan beberapa masalah. Seperti meyakinkan petani di Illinois untuk memberikan semua ladang jagung mereka kepadanya. Belum lagi menemukan metode melipat yang bisa mengepak ladang itu ke dalam satu koper besar. 

"Tapi," dia menegur istrinya dengan optimis, "masalah-masalah kecil itu bukan alasan untuk meninggalkan ide yang memungkinkan untuk membawa perdamaian ke wilayah kita ini!"

"Bukan itu masalahnya, Bodoh," sangkal istrinya. "Bahkan, meskipun kamu mau mengepak semua ladang di dunia ke kopermu yang jelek itu, kamu tidak akan pernah sukses membawa perdamaian ke wilayah itu. Lihat! Kelompok ultra-Ortodoks radikal mengatakan Tuhan menjanjikan semua ladang jagung untuk mereka. Sementara Messianis yang rasis mengeklaim ladang jagung itu sebagai hak asasi mereka. Tak ada jalan keluar dari itu, Suamiku," kata istrinya sambil mengangkat bahu. 

Istrinya melanjutkan, "kita lahir di tempat yang bahkan, meskipun kebanyakan orang pengin hidup damai berdampingan, masih banyak orang di kedua pihak yang tidak mau begitu. Mereka tidak pernah membiarkan itu terjadi."

Malam harinya Fredi mimpi aneh. Dia juga melihat ladang jagung yang luas di mimpinya. Dari ladang itu, misil-misil diluncurkan. Tapi kemudian ditembak jatuh oleh antimisil saat jet tempur mendaratkan bom dari surga. 

Ladang itu pun membara, dan Fredi bertanya-tanya—masih di dalam mimpi—siapa yang sedang berperang? Sebab di mimpinya itu tidak ada orang sama sekali. Yang ada hanyalah misil-misil, bom, dan bonggol jagung yang terbakar. 

Pagi berikutnya, diam-diam Fredi meminum kopi Amerika yang menjijikkan itu. Dia tidak mengucap selamat pagi ke istrinya karena dia merasa sangat terhina saat istrinya memanggilnya bodoh kemarin. 

Setelah mengantar anaknya ke sekolah TK, dia duduk di depan komputer. Mencoba mengarang sebuah cerpen. Cerpen yang menyedihkan, yang lebih banyak tulisan kasih sayang pada diri sendiri. Juga berisi sebuah kejujuran seorang pria pemilik kehidupan dan istri, yang sama-sama kejam kepadanya tanpa suatu alasan. 

Namun, saat dia bekerja keras untuk ceritanya, sebuah ide bagus muncul di kepalanya (seratus kali lebih bagus dari ide kemarin). Ide tentang bagaimana menyelesaikan masalah di Timur Tengah. 

"Jika masalahnya bukan karena teritorial," gumamnya, "tapi karena manusia, yang harus mereka lakukan adalah mengupdate. Dari 'solusi dua negara' menjadi solusi tiga negara." 

Jadi, warga Palestina hidup di negara pertama, dan Israel di negara kedua. Sementara orang-orang radikal, fundamentalis, rasis, dan semua orang yang baru saja berkelahi, biarkan saja hidup di negara ketiga. 

Istrinya tidak terlalu sinis dengan rencana ini, daripada rencana tentang melipat ladang jagung. Fredi pun yakin, Barack Obama yang dulu pernah ia temui saat makan malam di restoran pinggiran kota Urbana, Illinois, pasti menyukainya.  

Sehingga, kurang dari satu dekade ada tiga negara yang berdampingan di sudut kecil di Timur Tengah itu: 1) Negara Palestina, 2) Negara Israel, dan 3) Negara republik yang hanya pemaksaan bahasa yang penduduknya pahami (sebuah negara di mana perang saudara terus-terusan berkecamuk, dengan didukung oleh pedagang senjata dan penyiar berita). 

Nantinya, berkat gagasan itu, Fredi dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian. Namun, dia menolak dengan sopan sebab dia sebenarnya begitu rendah hati. Dia malah lebih memilih mengemas kopernya. "Saatnya kembali ke rumah lamaku di Israel," ucapnya. 

Dan setiap kali Obama mengunjungi Timur Tengah dengan maksud membawa perdamaian ke negara ketiga itu, Obama akan menyempatkan diri mampir ke rumah Fredi. Fredi pun menjamu tamunya itu dengan duduk di balkon yang menghadap ke lembah bertingkat. Mereka makan sepenuh hati bulir jagung dari piring di depan mereka. 

Komentar

Postingan Populer