Perlahan-lahan yang Penuh Gejolak


Sudah 28 April lalu Hari Puisi Nasional dan puisiku baru jadi. Tentu saja telat. Tapi perasaan tidak pernah telat. Mungkin ia akan lekas berganti, tapi juga akan bertahan kalau-kalau kondisi masa depan mengundangnya lagi. 


Jam pun berdetak setiap sedetik dan terus menerus 
Berhenti barang berapa detik pun dia akan disalip 
Dan waktu telah berjalan selama alam semesta tercipta 
Sementara aku baru berjalan saat kita pertama kali berjumpa 

Dunia amat kocak 
Sebenarnya kita tak perlu terlalu menerjunkan perasaan tuk jalani hidup 
Sewaktu dunia melempar sebuah lelucon, aku tangkap saja dengan ringan 
Benar, bukan? 
Ayolah, kita masih hidup di dunia 
Kita dihukum karena bapak kita sendiri 
Jalani hukuman ini dengan gembira, kawan

Tapi kenyataannya aku telah diciptakan dari bulir gelembung 
Aku hanya sebuah gelembung 
Secara niscaya, gampang pecah 
Siapa yang akan menjadikanku sebagai aku lagi kalau bukan Tuhan? 

Tapi kita tidak tahu bagaimana "seharusnya" kita 
Boleh saja kita saling berbelok dan membelakangi (besok) secara tiba-tiba 
Tak pernah saling menoleh lagi, bahkan untuk memastikan kita sama-sama mengambil langkah 
Mungkin dua hari ke depan kamu sudah sampai Odessa 
Sementara aku turun di New Mexico 
(sudah berapa kali jarak Anyer-Panarukan?)
Siapa yang menjadikan kita tahu seharusnya kita, kecuali Tuhan? Foto kita berdua itu? Mustahil 

Oh, sekarang, bagaimana aku harus menutup puisi ini? Apa mau ditutup seperti penutupan kita? Perlahan-lahan tapi penuh gejolak? 
Sepertinya, tak perlu sampai begitu 
Biarkan puisi ini berbunyi seperti jam dinding yang berdetak terus-terusan 
Biarkan saja, meski tak seperti kita yang saling berbelok 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer