Malam Ketika Bus-bus Mati (Etgar Keret)


Cerpen Etgar Keret ini saya terjemahkan dari judul asli "The Night the Buses Died". Terbit di BOMB Magazine

———
Malam Ketika Bus-bus Mati

Aku sedang menunggu di bangku halte saat mereka meninggal malam itu. Memeriksa tanda pukulan¹ di tiket busku, aku mencoba mencari sesuatu yang mengingatkanku akan hal itu. Ternyata salah satu lubangnya terlihat seperti kelinci. Yang itu favoritku. Yang lainnya, entah berapa lama aku menatapnya, tetap terlihat seperti lubang. "Sudah satu jam kita menunggu," gerutu Pria Tua, setengah tertidur. "Faktanya lebih lama. Perusahaan bus itu—bajingan-bajingan yang suka mengatur waktu—jika menyangkut urusan pemerintah, mereka datang dalam waktu singkat, tetapi saat kamu yang menunggu mereka—kamu akan mati duluan." Pria Tua itu merampungkan litaninya, membenarkan posisi baretnya dan berniat kembali tidur. Aku tersenyum pada matanya yang tertutup dan kembali menatap lubang-lubang, menunggu dengan sabar sampai sesuatu berubah. 

Seorang pria muda yang berkeringat lewat begitu saja tanpa berhenti, kemudian dia berbalik untuk melihat kami seraya berteriak dengan suara yang kering dan terengah-engah: "Tidak ada gunanya menunggu. Bus-bus itu sudah mati. Semuanya mati." Dia kembali berlari lumayan jauh sebelum akhirnya memegangi sisi tubuhnya dengan tangan kiri dan berbalik untuk kembali melihat kami, seperti sedang mengingat-ingat hal penting yang lupa dia katakan. Air mata di pipinya berkilau seperti manik-manik keringat. "Semua bus," teriaknya histeris lalu berbalik dan berlari. Pria Tua terbangun, terkejut. "Apa yang dia mau, Mishigenner?" tanyanya padaku. "Tidak, Kakek, tidak ada," gumamku. Aku mengambil tasku dari bawah dan mulai melangkah ke jalanan. "Pemuda, mau kemana kamu?" Pria Tua itu berteriak mengejarku. 

Di dekat pabrik cokelat tua, ada sepasang kekasih yang menunggu. Mereka memainkan salah satu permainan jari yang aturannya tidak pernah aku tahu. "Hei," si pria memanggilku. Ujung ibu jari gadis itu menyentuh telapak tangan si pria yang terulur. "Apa kau tahu ada apa dengan bus-bus ini?" Aku mengangkat bahu. "Mungkin ada pemogokan," kata si pria memberi tahu si gadis, aku bisa mendengarnya. "Kamu sebaiknya tinggal saja di tempatku. Ini sudah sangat larut." Tali ranselku melintang di punggungku dan aku meluruskannya. Halte di seluruh jalan utama sudah sepi. Semua orang tampaknya sudah menyerah dan pulang. Mereka semua tampaknya tidak terganggu dengan fakta tidak datangnya bus-bus. Aku melanjutkan jalan kaki ke selatan. 

Di Jalan Lincoln aku melihat mayat bus yang pertama, terbaring telentang, tidak berbentuk. Sebuah lapisan minyak rem hitam yang keruh dioleskan pada kaca depan yang retak. Aku berlutut dan menghapus noda itu dengan lengan baju. Bus ini nomor 42. Aku belum pernah menumpang yang ini. Aku pikir bus ini melaju dari Petah Tikva atau semacamnya. 

Sebuah bus terbaring telentang di tengah-tengah Jalan Lincoln. Aku tidak begitu tahu bagaimana cara menjelaskan kesedihan yang aku rasakan ini. 

Di terminal bus pusat, terdapat seratus bus yang berserakan di sana-sini, aliran bahan bakar mengalir keluar dari badan mereka yang mengeluarkan isi perut, lapisan jeroan mereka yang hancur berada di aspal yang hitam dan sunyi. Puluhan orang duduk di sekitarnya, putus asa, berharap mendengar deru mesin, mata mereka yang berkaca-kaca menjelajahi lanskap untuk mencari roda yang berputar. Seseorang yang memakai topi inspektur bus berjalan melewati kerumunan, mencoba menawarkan secercah harapan: "Mungkin ini hanya terjadi di sini. Sebagian besar bus ada di Haifa. Mereka akan ke sini dalam beberapa menit. Semuanya akan baik-baik saja." Namun mereka tahu—dia juga—bahwa tidak ada satu bus pun yang selamat. 

Orang-orang mengatakan bahwa penjual malabi² telah membakar gerobaknya dan berjalan pulang, bahwa kaset-kaset di stand musik pecah kesakitan, bahwa tentara yang menunggu di terminal dengan mata merah tidak tersenyum seperti orang-orang yang berjalan pulang. Bahkan para tentara itu sedih. Aku menemukan bangku halte yang ditinggalkan, ia seperti berbaring dan memejamkan mata. Dan tanda pukulan di tiket bus di sakuku tetap terlihat layaknya lubang-lubang biasa. 



¹tanda pukulan di tiket bus yang dimaksud adalah lubang pada tiket yang dipukul menggunakan alat khusus
²puding susu yang gurih dan manis yang populer di Timur Tengah

Komentar

Postingan Populer