Berakhir di Rumah Sakit Jiwa Belaka (Puisi)

By Umam

4 Oktober lalu, seorang teman dari Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia (IMASIND) meminta tolong saya untuk menggubah satu puisi yang menurutnya, akan lebih bagus jika saya mencoba menulis puisi yang "di-terinspirasi-kan" dari naskah teater "Mimpi-mimpi" karya Abdoel Azis yang akan mereka pentaskan. Katanya puisi ini akan dipamerkan di lorong sebelum masuk gedung pementasan. Tanpa pikir panjang saya menyetujui permintaan itu. Di samping saya sudah lama tidak menulis puisi—sebab jika tidak karena kepentingan-kepentingan demikian, saya tidak mungkin bersyair—saya ingin memahami naskah ini sebelum saya menonton pementasannya. 

Saya pikir, sebagaimana naskah teater yang sudah saya baca selama ini, naskah ini tidak bisa dinilai bagus-tidaknya secara penuh sebelum melihat juga pementasannya. Dan akhirnya, dengan eksekusi yang 'dalam dan semarak' oleh teman-teman Teater Akbar, saya pun bisa mengatakan bahwa naskah ini betul-betul menyentil satu sudut di pikiran saya. Menyadarkan saya betapa harapan tentang cinta yang saya pupuk selama ini, meskipun sudah saya iringi dengan usaha yang gigih, tetap membuat saya terpental ke rumah sakit jiwa, bergabung bersama Jendral dan pasien lainnya. 

Maka dari itu saya buka puisi ini dengan kalimat "Puisi ini saya tulis dengan sangat sia-sia," karena percintaan yang saya jalin sejauh ini, meskipun memberikan banyak hal baik yang tak terkira di awal dan selama perjalanannya, tetap saja terasa sia-sia di bagian akhirnya yang mengenaskan, yang membuat saya bertanya-tanya: kapan saya akan siap mencintai kembali. Selamat membaca. 


———
Berakhir di Rumah Sakit Jiwa Belaka 

Puisi ini ditulis dengan sangat sia-sia
Bagaimanapun nantinya barangkali ia bagus dengan rima
baik dengan bunyi
ataupun gagah dengan majas,
puisi dan penulisnya akan berakhir di rumah sakit jiwa belaka
Dirawat di bawah pengawasan Dokter dan Mantri yang ketat 

Mungkin pembaca akan mendapati permulaan yang mantap, sampai-sampai berpikir penulisnya sungguh telah menerima ilham 
berpikir penulisnya sangat memperhatikan tekanan 
berpikir dia sudah seperti penulis iklan saja, 
yang senantiasa memikirkan bagaimana sebuah sajak dapat menarik pembaca bahkan sejak kata pertama
atau bahkan sejak judulnya 

Fakta di balik puisi ini, saat penulisnya belum sempat menggubah kata pertamanya, dia telah membayangkan seseorang membacakan puisinya di depan ribuan masyarakat sastra
membayangkan mereka menyukai puisinya
membayangkan mereka menulis pujian di surat kabar arus utama
membayangkan sekelompok penggemar mencalonkannya untuk penghargaan bergengsi 

Tetapi, sebagaimana kalimat pertama puisi ini, puisi ini ditulis dengan sangat sia-sia 
Karena ternyata meskipun penulisnya sangat paham aturan-aturan menulis puisi keren: 
mulai dari awal dia memikirkan ide cerpen sampai dia menulis dalam baris-baris kalimat yang menggoda seperti iklan, 
dia telah melupakan bagaimana proses itu sepatutnya dilaksanakan 
sampai puisi ini tercipta dengan amat tak bermakna
Maka, puisi ini hanya sebatas bukti pendukung untuk diagnosa di rumah sakit jiwa
Sementara penulisnya terus-terusan diawasi Dokter dan Mantri supaya tidur tidak lebih dari pukul dua puluh dua 

Komentar

Postingan Populer