Sebab Aku Menggenggam Kaktus di Kedua Tanganku (Cerpen)

https://pixabay.com/id/photos/kaktus-tanaman-lezat-bunga-flora-6743531/

“Nanti ketemu jam 4, ya,” pekik Katerin melompat dan meraih tanganku. 

Kami beranjak berdiri setelah menghajar seporsi soto di kantin Fakultas Ilmu Komputer. Katerin mahasiswa di sana. Aku sebaliknya, gagap teknologi dan lebih suka menimang-nimang buku. Aku merupakan bukti logis untuk konsep mahasiswa sastra yang kolot, yang rak bukunya dihegemoni oleh topik filsafat-filsafat putus asa, yang selera literaturnya novel-novel Pramoedya hingga Asrul Sani, bukan Tere Liye atau Boy Candra. Dan, sebab itu, meskipun mungkin kawan-kawan sejawat Katerin menempatkanku di posisi terendah dalam hierarki modernitas, aku akan mengencani teman mereka ke bioskop.

Inilah kencan pertamaku sejak Jessi memutuskanku. Kami berpisah dengan cara yang tak terlalu baik. Aku teramat mencintainya dan aku mencak-mencak dibuatnya. Dia menyudahi hubungan kami dengan serta merta sehingga aku tersulut emosi dan mengomel berjam-jam tiada henti. Jessi mendengar omelanku dengan berat hati. Siang yang terik dan melelahkan. Aku di kamarku menghadapi Jessi; baru tamat dari satu sesi ciuman ringan tapi mantap. Betapa mengherankannya permainan singkat Jessi. Kemudian dia bilang dia mau kami putus. Dan aku jadi paham maksud permainan singkat itu, serta tentu saja tidak terima. Jessi keluar dari kosku pukul 5 sore. Frustrasi setelah pertengkaran kami pecah.

Aku membayar tiket kami di Tix. Katerin membujukku menunjukkan nomor rekening atau dompet digital atas namaku. “Aku malas punya utang,” gerutunya. “Tidak usah,” jawabku, “ayahku baru saja transfer uang jajan. Tak usah bingung-bingung.” Akhirnya dia diam.

Aku lupa judul filmnya. Satu kata yang kuingat dari judulnya hanya evil. Katerin bilang, sih, film horor. Tak masalah, kataku, aku suka, kok. Aku memilih menonton di XXI karena tiketnya hanya 15 ribu rupiah. Aku pula yang menentukan pukul 18.00. Bagian Katerin adalah menunjuk kursi A11 dan A12. Katanya, selalu kursi paling atas yang paling mujur; sebab bila kamu tipe orang yang gampang malu pegangan tangan di bioskop, kursi atas akan menguntungkanmu. Padahal meskipun kami baru kenal, dia pun paham mana mungkin aku malu.

Aku mengenal Katerin dari Gerald. Gerald, teman kecilku itu bukan siapa-siapa Katerin kecuali sebatas kawan seangkatannya di kampus. Gerald bersimpati padaku dan menurutnya Katerin pun sedang butuh cowok. Setidaknya itu yang dia lihat dari rutinitas Katerin beberapa pekan terakhir. Dia kerap memergoki Katerin kesepian di taman fakultas. Seperti dia mengagetkanku saat aku pura-pura mengetik di kotak pesan. “Biar hidupmu tidak sepi-sepi amat, bangsat,” katanya sambil mengirim nomor Katerin. Aku menerimanya dengan ragu-ragu tanpa tahu mengapa demikian.

Tapi aku mengirimi Katerin pesan sejenak setelah itu. Kuperkenalkan diriku sebagai sahabat sehidup semati Gerald.

“Oh, kamu yang namanya Jay! Sudah sering banget Gerald cerita kamu,” balas Katerin.

“Hah? Bukan cerita jelek-jelekku, kan?”

“Ya tidak, lah, hahaha. Masa Gerald tega?" ketiknya.

Selanjutnya kami hanya mengobrol topik-topik umum. Tugas kuliah, musik, tongkrongan-tongkrongan sampai subuh, dan latar belakang kami. Hingga kami benar-benar mentok di film. “Kayaknya ke bioskop seru, deh.” Akhirnya dia mengujarkan sesuatu yang kutunggu-tunggu. Menurutku bioskop selalu melambangkan derajat perkenalan yang lebih signifikan daripada sekadar obrolan di kotak pesan atau pertemuan berjam-jam di kafe sekalipun. Tak memalukan bila betapa percaya dirinya dirimu dengan progres PDKT saat seorang wanita menarikmu ke bioskop, tapi kurasa belum saatnya untuk membayangkan dia berbaring sukarela di sampingmu.

Dan boom! Begitulah akhirnya kujemput Katerin di ujung gang kosnya, dan kami bergegas merangsek ke bioskop.

Sementara dia duduk di sepeda motorku, sekonyong-konyong timbul satu hal mencurigakan yang menyergapku. Seperti pelukan yang terlampau erat, tak nyaman dan mengganggu. Kuterka-terka, rasa inilah yang menjadi motif kebimbanganku menerima perkenalan dengan Katerin oleh Gerald. Ada kegugupan yang melandaku di sepanjang jalan bersamanya. Tapi aku kesulitan mengidentifikasi sesuatu apakah itu.

Aku mencoba satu hal pada diriku terhadap Katerin. Dia mengaku tak masalah usai mendengar penjelasanku tentang beginilah kemampuan terbaikku berpenampilan. Aku khawatir tanggapan Katerin ke outfit-ku menggangguku tanpa sadar. “Sudah cukup buat aku,” tambahnya. Namun jawaban itu tak mengubah apa-apa. Pelukannya masih kurasakan. Kegugupanku tak jua sirna.
Tetapi aku terus berkendara sampai memasuki kawasan mal.

Aku baru menyadari bentuk kegugupanku saat turun dari sepeda motor. Tanpa terkendali aku mengawasi sekeliling dengan panik dan gupuh.

“Kenapa Jay?” tanya Katerin mengagetkanku. “Kamu khawatir apa?”

Apakah kira-kira yang dia pikirkan tentangku. “Tidak ada, kok,” sangkalku kikuk. Dan inilah kesalahan terbesarku dalam bersikap malam itu.

“Yakin?”

“Serius,” kataku dengan berusaha lebih tenang dan meyakinkan. Katerin berlalu dengan enggan. Tampak sekali dia ingin tahu lebih lanjut, tapi takut menyinggungku.
Dan kami menaiki lift.

“Sebenarnya aku takut ketemu kakak sepupuku. Pasti dia marah melihatku jalan sama cewek,” kataku memberanikan diri beralasan saat punya kesempatan berdua di lift.

Aku membohongi Katerin. Yang sebenarnya adalah, secara mendasar, meski kami menerima perpisahan kami, dan kami sadar sudah tak seharusnya masih merasa menyakiti satu sama lain, atau merasa berselingkuh saat mengencani yang lain, tetap saja aku seperti bermain serong dari Jessi. Aku tahu perasaan ini mungkin tampak tak layak. Tapi aku kesulitan menyingkirkannya. Dan kondisi ini sungguh membikinku tak nyaman.

Di sisi lain, aku menjumpai harapan pada diri Katerin. Sejauh kebersamaan kami, secara alamiah dia memaksaku menilainya sebesar 90 perseratus. Memang tak cantik-cantik amat. Tapi secara umum, dia tipeku. Tubuhnya ideal bagiku, layaknya Rosé, dan hanya beberapa senti lebih pendek dariku. Berbanding terbalik denganku yang garing, dia punya stok jutaan topik di sel-sel otaknya. Humornya sangat kusuka! Dia meramu hal-hal biasa sedemikian rupa lalu ditaruhnya pada konteks yang pas. Aku curiga dia profesor logika yang baru lulus dari akademi komedi. Bukan mahasiswa komputer. Dan menurutku itu sangatlah cerdas. Namun, karena rasa bersalah dan kegugupanku, aku hanya menanggapinya pendek. Menimbulkan kekecewaan di korneanya. Beruntungnya, dia pantang menyerah.

Katerin hanya ber-oh menanggapi pengakuanku. “Tidak usah khawatir,” katanya tanpa malu-malu. “Kalau ketemu, ya, bilang aja cuma temen,” tambahnya kemudian. Dia mengatakannya sambil melirikku barang sekilas. Tampaknya tak ada kecurigaan yang dialamatkannya padaku. Dan kami berjalan lagi menuju bioskop.

Saat kami tiba di lobi XXI, aku masih merasakan euforia yang sama dengan sebelumnya. Rasa khawatir yang luar biasa akan kepergok Jessi bertahan di sini, di dadaku. Jika itu sungguhan terjadi aku pasti kalap. Bisa saja Jessi muncul dari balik salah satu pintu studio, pikirku. Dia baru usai menonton bersama kawan-kawannya. Sedang posisi tanganku memeluk tangan Katerin. Kuyakin Jessi akan langsung menggamparku. Atau dia meneriakiku lalu berlari menangis. Bayangan yang mengerikan!

Tapi semua bayangan itu nihil. Kami sampai di kursi kami dengan tenang. Tak ada Jessi. Tak ada dia di sana. Aku dan Katerin duduk sambil saling menggenggam tangan satu sama lain. Tangan Katerin mungil dan kulitnya sangat halus. Ironisnya, aku serasa tengah memegang kaktus. Muncul jajaran duri dari pori-pori kulit Katerin: menusuk dan membuatku gelisah. Rasa bersalah di dadaku telah menjelma batang kaktus di sekujur tubuh Katerin.

Kemudian semua tetap berjalan dengan baik, sampai film selesai, saat wanita—aku lupa namanya—di adegan terakhir dirasuki setan masa lalu. Kurang lebih dengan itu setannya kujuluki. Aku lupa sebutan aslinya. Aku lupa seluruh detail film itu sebab aku menggenggam kaktus di kedua tanganku.
Kami pun keluar gedung bioskop dengan bergidik, tanpa tujuan.

“Aku mau makan dulu,” kata Katerin di atas motor. Akhirnya kami menepi ke Gacoan. Katerin gila makanan pedas, memang. Kurasa dia punya ramuan untuk lambungnya. Lidahku sebenarnya cukup tangkas untuk semua level Gacoan. Tapi perutku perut tua jompo. Entah mengapa lambungku berumur lebih cepat dari yang lain.

Di Gacoan, perasaanku masih sama! Aku awas dan semakin awas ke sekeliling. Perasaan betapa aku berdosa kepada Jessi akibat kencan ini tak kunjung enyah. Ini semacam benalu yang menguntitmu. Rasa bersalah ini hidup dari rasa sukaku yang subur kepada Katerin. Aku memang dilanda keterbelahan sekarang. Katerin memikat satu sisi hatiku, sementara Jessi menguasai yang lain, dan aku enek dengan kuasa Jessi. Bukan karena aku muak dengan Jessi. Tak dapat disangkal, faktanya dia telah meninggalkanku, dan kurasa, secara tak langsung, saat aku mengencani cewek lain, dia melarangku.

Tapi alam memihak padaku lagi. Kami berjalan tanpa rintangan. Tak ada Jessi di Gacoan. Sepintas, aku menikmati seluruh waktu bersama Katerin. Hanya saja rasa bersalah dan takut kepergok yang menghinggapiku membuatku laksana makan es krim nikmat yang mencair.

Kuantar Katerin ke kosnya.

Aku sampai di kos pukul 11. Katerin berterima kasih melalui pesan. Dia pengin jalan lagi besok. Tak sabar, ketiknya. Apa dia memperoleh gambaran bagusku dari pertemuan pertama kami? Setidaknya aku telah menjadi yang terbaik menurutku. Tapi karena besok Senin, hari saat budak-budak sepertiku melayani tuan puan, aku menolaknya cepat-cepat. Kita jalan lagi hari rabu saja, kataku. Dan kurasa Rabu Jessi akan benar-benar memergokiku. 


Oleh Hilmi Lukman Baskoro 
Cerpen ini selesai ditulis pada 8 Oktober 2022

Komentar

Postingan Populer