Rongsokan (Cerpen)

https://pixabay.com/id/photos/mobil-tua-mobil-berkarat-rongsokan-6598349/

Aku pun heran mengapa diriku begitu mencintai Feronika. Dari sekian banyak wanita yang memincutku dan kemudian kupacari, hanya dia yang mengambil begitu besar porsi dalam hatiku.

Mungkin tubuh dan paras Feronika bak bidadari. Tapi Henry cepat menampikku. Bagaimana mungkin aku keberatan meninggalkan tubuh Feronika sementara selama berpacaran aku enggan-engganan bercinta dengannya? tanyanya. Berarti itu karena sifat Feronika, kata Henry. Sejujurnya sedikit yang kusuka dari kepribadian Feronika. Dia teramat egois. Dia selalu pengin menang sendiri. Cowok mana yang betah bila harus selalu mengalah?

Menurut pandanganku, hubunganku dengan Feronika berjalan dengan baik meski gelagat Feronika seperti itu. Aku memang kurang tertarik pada tubuhnya, dan printilan-printilan kecil pada dirinya amat menyiksa. Tetapi begitulah aku. Tetap menikmati semuanya: hari-harinya, tertawa, saling merajuk, semuanya aku terima. Betapa beruntungnya aku! Dia wanita yang baik. Betapa aku mencintainya sepenuh jiwa! Walau tak mengerti alasan persisnya. Dan begitu pula lah perpisahan kami terjadi. Seperti gelas kaca bekas air dingin yang seketika pecah saat diisi air mendidih. Sekonyong-konyong dan sukar kumengerti.

Begini perpisahan kami.

Sore itu aku bersiap pulang. Entah mengapa hari Kamis selalu menjadi hari ketika kota sangat lah miskin peristiwa. Aku hanya menelurkan empat berita sehingga redakturku mengomel habis-habisan. Dia memperoleh momen untuk mengevaluasi grafikku yang melandai. Ini pun amat mengherankanku. Apa yang menggangguku belakangan? Tapi yang perlu dicatat, aku tetap pulang dengan perasaan ringan. Aku berjalan santai sampai tiba-tiba teleponku berdering dan Feronika berbicara dengan nada tergesa-gesa. Katanya dia perlu bertemu. Ada sesuatu yang amat serius dan mendesak. Aku tak berprasangka terlalu jauh sebab menurutku, sampai sekarang, kami oke-oke saja. Aku hanya memikirkan air muka redaktur. Semua hal di kepalaku teralihkan kepada redaktur. Tapi toh aku sampai tepat waktu di kedai kopi. Feronika duduk di meja dekat jendela. Dia memandangi pejalan kaki atau semacamnya. Dan dia betul-betul gelisah. Hanya ada segelas air putih di mejanya. Bagaimana kiranya? Pembicaraan singkat macam apa yang dia canangkan kali ini sampai-sampai hanya memesan air putih? Dia seperti siap menumpahkan itu ke mulutnya secepat kilat saat dia selesai berkata-kata, lalu meninggalkanku.

Aku berhai padanya. Dia membalas dengan anggukan dan menghimbauku untuk buru-buru memesan. Aku berniat mencium pipinya tapi dia berpaling halus. Kutarik lah kursiku dan berkata aku tak mau minum apa-apa dengan berusaha untuk tidak menyinggungnya.

“Pesan aja. Nanti bawa pulang. Aku yang bayar. Enggak enak kalau air putih doang.” Terserah kamu, deh, jawabku. Feronika memanggil pelayan dan kutulis di kertasnya seporsi roti bakar stroberi. Aku bisa memakannya nanti malam.

Pelayan itu bergegas pergi ke dapur.

“Jadi, kenapa, sayang?” tanyaku untuk menegaskan tak ada masalah di sini. Dia mendongak dan tampak tergesa-gesa menjawab. Seperti yang kutulis di awal, aku tak punya prasangka apapun. Paling-paling dia cuma ingin cerita kalau tengah capek, sebagaimana yang sudah-sudah.

“Hubungan kita harus berhenti,” katanya sedikit mengentak. Seperti telah lama dia tersedak. Seperti telah lama dia tahu aku menunggu kalimat itu. Aku yakin nasabah yang selama ini dia layani di bank tak percaya Feronika bisa bersikap seperti ini.

Aku pun tak percaya, dan berpaling. Berharap pelayan datang membawa roti bakarku, meskipun agak janggal roti bisa matang secepat itu. Tapi aku berharap tercipta jeda di antara kami agar aku sempat berpikir dan melenyapkan rasa terkejutku. Namun pelayan itu tak muncul. Dan Feronika malah menginterogasiku.

“Aku enggak punya waktu banyak. Buruan jawab. Gimana?” tembaknya.

“Kamu ngundang aku buru-buru, ngomong juga buru-buru terus nyuruh aku buat jawab buru-buru? Apa salahku, apa yang salah sampai kita mesti udahan? Dan, ini tiba-tiba banget, lho!” kataku tanpa berhenti untuk menarik napas.

“Kamu enggak salah sebenernya. Yang salah aku.”

“Hah?” aku sungguh dibuatnya heran.

“Aku salah nerima kamu,” sesalnya. Dia memandangku seperti sambil berkata, oh ayolah, aku enggak cinta kamu. Kemudian melanjutkan, “Salah udah ngejalanin sejauh ini.”

Aku ingin bertanya kenapa dia baru sadar sekarang. Tapi tak sanggup.

“Kalau emang begitu, bener itu salahmu, sih,” kataku singkat mencoba melunak tapi aku yakin akan sulit memaafkan ini. Aku mendadak tak kuasa berpanjang-panjang. Sekadar menatap wajahnya pun aku mau muntah. Aku hanya bersemangat menyalahkannya. Sekarang aku tak tahu masihkah aku berselera dengan rotinya.

“Makanya aku minta udahan.”

“Terus apa artinya semua ini?” tanyaku.

“Semua apa?” dia balik bertanya.

“Semua yang kita lakuin. Kasih sayang, perhatian, semuanya pokoknya.”

“Enggak ada. Aku juga enggak tahu.”

Aneh!

Dan pelayan tiba. Saat itu juga sekonyong-konyong aku sadar pipiku basah. Aku mengusapnya malu-malu. Pelayan terlihat tak nyaman menatap wajahku. Dia pun berkeras membuang pandang. Maka sedetik setelah rotinya kuraih dia buru-buru berbalik.

“Enggak usah sembunyi-sembunyi gitu nangisnya,” kata Feronika memecah jeda.

Jika dia berkata begitu setelah kami ciuman di kamarku, aku ingin sekali melemparnya keluar. Walaupun dia terlihat merasa sangat bersalah, kenyataannya dia telah menyakitiku. Dan jika menyangkut perasaan, bagiku pengakuan bersalah semacam itu sia-sia belaka. Aku pun mulai menyalahkan segalanya. Mengapa momen brengsek begini bisa terjadi tanpa terbayangkan sebelumnya, sama sekali tak terbayangkan.

“Jadi kita udah selesai, ya?” Aku bertanya tak percaya. Layaknya aku bertanya pada Ibu saat dia menggendongku keluar dari kolam renang dulu.

“Begitulah, Jay. Kita berpisah tapi kita tetap baik-baik. Kamu dan aku akan selalu baik.”

Dua hari sebelum itu kami masih tertawa-tawa oleh film komedi Thailand. Aku lupa judulnya. Saat kami tuntas menonton dia mengecupku teramat lembut. Kecupan kasih sayang tiada tara, pikirku. Tahu, kan? Saat-saat di mana kau merasa kebahagiaan seakan senantiasa menyelimutimu sampai mati. Seperti itulah aku merasa; di ranjangku, komedi Thailand, berbaring di sisi Feronika, di malam yang tiada lawan indahnya. Dan peristiwa di kedai kopi sungguh membuatku amat limbung. Riil, sangat memukulku. Tanpa persiapan. Bahkan tas dadaku yang biasa terisi tisu jadi kosong melompong. Aku mengusap pipiku dengan lengan kemeja.

Yang sangat tak kupahami lagi adalah bisa-bisanya Feronika berbuat segala hal denganku tanpa rasa cinta. Apa maksudnya? Kecupan, belaian, perhatian, dan seluruh uang yang saling kami belanjakan. Apa artinya itu? Seperti perkara remeh temeh. Rongsokan. Aku bukan orang yang lurus-lurus amat, yang tak tahu soal gaya cinta-cintaan muda-mudi abad ini. Nyatanya aku pun pemuda 21 tahun yang menggebu-gebu. Aku tahu pertemanan singkat yang semata-mata demi seks dan semacamnya. Dan, itu lahir bersama kesepakatan. Antara aku dengan Feronika tak ada kesepakatan yang mengarah ke sana. Saat kutanya kesediaannya menjadi kekasihku, dia setuju lalu menangis dan merengkuhku. Yang jelas aku mencintainya, begitu juga dia. Begitulah setidaknya menurutku. Tapi saat dia duduk, dengan segelas air putih di meja, sementara aku di seberangnya, kemudian dia bilang “kita harus berhenti”, aku seperti duduk di dimensi lain, yang amat berjarak dengan Feronika. Bahkan dalam beberapa detik, tubuhku mati rasa.

Feronika beranjak lebih dulu. Aku bertahan hingga lima belas menit selanjutnya di kedai kopi. Aku masih menghilangkan jejak air mataku dan mengembalikan penguasaan diriku seperti sedia kala, seperti sebelum Feronika memberitahu bahwa kami harus putus. Dia berjalan menjauh ke ujung Jalan Trunojoyo. Kurasa dia bakal memesan Gocar. Sebab apa tujuan dia berjalan kaki? Dia tak biasa melakukannya. Atau mungkinkah seorang pria telah menunggunya di sana, di sisi yang tak bisa kulihat dari sini? Seandainya benar, kenyataan itu akan menjadi kabar baik buatku. Aku selalu berpikir bahwa akan lebih menenangkan mengetahui alasan kami harus berpisah. Contoh sederhananya, ternyata Feronika jatuh cinta dengan pria lain. Mungkin pria di tempat kerjanya. Pria yang lebih baik dariku dalam segala hal. Pilihan itu tepat. Tak ada alasan lain bagi Feronika pada kasus demikian melainkan demi kebahagiaannya sendiri. Dan tak pantas jika aku menghalang-halanginya.

Setelah Feronika hilang, aku pun bangkit. Langit begitu oranye. Aku ingat awan sangat jarang. Tapi langit tetap penuh berkat burung dara yang melintasi kota dengan pelan.

Aku melambai kepada taksi. “Langsung pulang, ya, Pak.”

“Mas, ini pertama kali Anda naik taksi saya.”

Aku tak sadar bagaimana aku bisa begitu. Rasanya kepalaku baru saja dibenturkan ke tembok sampai lupa segalanya, dan yang kulihat di belakang kemudi adalah sopir pribadi Ayah.

“Maaf, Pak. Jalan Kalimantan 2, ya, Pak.”

Aku tiba di rumah dan langsung jatuh tertidur.

Pukul 11 malam aku bangun karena mimpi buruk. Sopir taksi tadi ternyata sepupu laki-laki Feronika. Usianya mungkin 30 tahunan, dan dia melarangku mendekati Feronika lagi. Tapi aku tak begitu merisaukan mimpi itu. Justru aku teringat rangkaian kebersamaanku dengan Feronika. Kubuka ponsel untuk melihat foto-foto lama kami. Tapi ternyata Feronika mengirim pesan, yang menurutku tak berguna sama sekali.

“Jay, aku bersalah banget ke kamu. Aku jahat. Aku minta maaf.” Tercatat pesan ini dikirim 52 menit lalu.

“Iya,” jawabku. Dia langsung mengetik. Terlihat sekali dia menanti-nantiku membalas.

“Maaf, ya,” ulangnya.

“Iya,” kataku lagi.

“Aku enggak bermaksud ngeremehin hubungan kita. Aku udah berusaha buat cinta kamu, tapi enggak bisa.”

Dia berhenti lagi beberapa saat. Lalu kembali mengetik.

Aku sengaja tak membalas lagi agar dia leluasa mencurahkan seluruh isi hatinya. Mungkin dia tak sanggup mengutarakan langsung saat pertemuan kami sore harinya. Tapi apa yang membuatnya tak sanggup? Apa dia khawatir menyakitiku? Dia tak sanggup tapi dia telah melakukannya.

“Aku mohon,” lanjutnya, “sembunyiin pacar barumu dariku. Aku enggak kuat kalau kamu punya pacar lagi. Sesingkat apapun hubungan kita, waktu aku ngelihat kamu udah sama orang lain, aku ya tetap sakit.”

Betapa egoisnya Feronika. Kira-kira apa yang dia pikirkan saat menulis pesan itu? Dia memohon agar tak disakiti tapi di saat yang sama, sadarkah bahwa dia telah menembak tengkorakku dan menggali liang lahat untukku? Tanggapanku hanya, iya, aku maafin. Lalu kublokir nomornya. Aku sungguh tak tahan.

Empat bulan berlalu dan aku tak mendapati Feronika satu kali pun. Aku mengelilingi kota mencari informasi tentangnya. Jujur saja aku kesulitan melupakannya. Dan aku malu bila harus mengunjungi rumahnya. Tapi malam itu malam yang amat beruntung bagiku! Aku melihat bayangan adik laki-laki Feronika di pameran lukisan tahunan pemerintah kabupaten. Kutanya kabar Feronika. Freinn bilang kakaknya telah bertunangan dengan teman lamanya, seorang notaris. Sekarang mereka tinggal di pinggiran kota. Aku begitu lega mendengarnya karena aku tak perlu repot-repot melupakannya, sebab otomatis aku akan lupa dengannya. Dan aku menikmati deretan lukisan dengan perasaan ringan.


Oleh Hilmi Lukman Baskoro

Ditulis sekitar satu tahun lalu 

Komentar

Postingan Populer