After The Banquet, Yukio Mishima

Benar, bahwa menentukan kriteria calon pasangan menikah sangat lah sulit. Seberapa meyakinkan dirimu dalam segala hal, kau akan selalu disergap keraguan memutuskan yang satu ini. Menyukai seseorang, terutama secara spontan adalah sebuah pertaruhan. 

Kazu, tokoh utama dalam novel After The Banquets karya Yukio Mishima, mungkin seorang yang gampang kagum. Beruntungnya, dia senantiasa berani bertanggung jawab atas semua risiko yang diakibatkan rasa gampang kagum itu, baik atau buruk sekalipun. Maka, saat dia akhirnya menikah dengan Noguchi dan mengalami perubahan hidup yang drastis, dia menjalaninya dengan kuat, meski semuanya terasa begitu sulit dan membuatnya mengeluh sana-sini.

Satu malam, dia menjamu para tamu politikus di restorannya sendiri. Di sanalah dia bertemu Noguchi pertama kali. Noguchi adalah seorang mantan menteri luar negeri beberapa periode. Pembawaannya yang lembut dan tenang, disertai gestur-gestur intelektual secukupnya, mengantarkan aura misterius ke dalam diri Kazu yang periang dan berasal dari lapisan masyarakat bawah. Noguchi tidaklah tampan. Tapi sikapnya yang amat bertolakbelakang dengan Kazu, entah mengapa membuat Kazu menyukainya. Kazu seperti melihat sebuah tantangan kehidupan yang menggairahkan, yang berbeda dari kehidupannya sebelumnya. 

Mishima menciptakan momen keakraban mereka melalui kambuhnya penyakit Tamaki malam itu. Kazu, selaku pemilik restoran ikut bertanggung jawab dengan merawat Tamaki, dan Noguchi, selaku teman baik Tamaki, juga demikian. Di sela-sela momen itu mereka bercakap-cakap. Menelisik lebih dalam kepribadian satu sama lain. Dan beberapa bulan atau pekan setelahnya, mereka menikah. 

Saya selalu ragu dengan cinta pandangan pertama. Apa yang dialami Kazu saat pertama melihat Noguchi bagi saya hanyalah sebentuk kekaguman. Kesadaran dan tindakan selanjutnya lah yang jadi penentu benarkah itu cinta atau bukan.

Menurut saya, titik tumpu novel ini adalah keputusan Kazu menikah dengan Noguchi. 

Kazu jelas-jelas mendapati sikap dingin Noguchi. Tapi dia tidak terlalu memikirkan itu. Saat dia menikah, ada banyak sekali perbedaan pendapat di antara mereka. Sebenarnya saya melihat Kazu agak buru-buru memutuskan menikah (saya tidak tahu dari pihak Noguchi bagaimana). Dia tidak sadar bahwa kekagumannya kepada Noguchi hanyalah sifat latah yang kekanak-kanakan. Seorang yang periang seperti dirinya, saat melihat pria tenang dan misterius macam Noguchi, tentu seperti langit melihat tanah. Ada ketakjuban yang timbul akibat perasaan tidak memilikinya langit atas yang dimiliki tanah. Pepohonan, batu-batu, jajaran gunung. Begitu juga dengan ketenangan, intelektualitas, dan misterius dalam diri Noguchi. 

Namun, memang betul, latar belakang Noguchi yang terhormat sangat menggiurkan Kazu. Dia membayangkan makamnya masuk jajaran makam keluarga Noguchi yang terhormat. Sesuatu yang prestisius baginya yang berasal dari keluarga biasa. Bagi saya itu tidak berarti sama sekali. Seandainya saya menjadi Kazu, saya tidak mau dengan Noguchi. Sifatnya yang kaku, berintelektual, dan dingin kadang menjadi sangat tak berperasaan. Tapi tentu saya rasa Mishima takkan menciptakan dua tokoh yang sifatnya berlainan melainkan mempertentangkannya secara langsung. 

Yukio Mishima merupakan sastrawan Jepang yang saya baca kembali setelah lama saya beralih ke sastra lain, sastra Amerika Latin, misalnya. Saya telah membaca Natsume Soseki dan Yasunari Kawabata. Mengulik beberapa cerpen Akutagawa. Juga membaca cerpen-cerpen Haruki Murakami di Google. Apa memang begitu sebenarnya gaya bercerita para sastrawan Jepang, penuh akan detail sisi-sisi psikologis tokohnya, dan terutama sekali, lanskap latarnya?

Bukan karena apa saya melewatkan sastrawan Jepang akhir-akhir ini. Saya hanya takut. Takut akan gaya deskriptifnya yang menjemukan dan bikin ngantuk. Tak seperti dunia Jepang masa kini yang berputar sangat cepat, karya sastranya justru begitu mendayu-dayu. Terdapat banyak sekali sendat-sendat singkat bahkan panjang dalam jalannya cerita. Setidaknya begitulah yang saya tangkap dari karya nama-nama Jepang di atas. Yasunari Kawabata yang paling parah. Terhitung dua novelnya yang saya baca, dan dua-duanya tidak hatam. 

Saya menamatkan After The Banquets dengan rasa yang sama dengan membaca karya Kawabata. Jenuh dan terkantuk-kantuk. Tapi tema novel ini sangat saya sukai. Percintaan. Percintaan yang saya alami dua tahun terakhir membuat saya menggandrungi novel-novel percintaan. Saya berpikir barangkali ada yang bisa diambil pelajaran dari Kazu dan Noguchi, terutama dari sikap mereka yang bertentangan. Bagaimana mendamaikan ketidaksepakatan dalam suatu hubungan? Itu dia. Itu pertanyaan yang coba saya cari jawabannya dalam novel ini. 

Selain kehidupan asmara yang saya alami belakangan, ditempa oleh intrik-intrik politik alakadar selama berkuliah, saya mulai bertanya-tanya, sepenting itukah manusia berkecimpung dalam politik? Novel ini mengakomodir itu. Lihat saja, ketika Kazu menikah dengan Noguchi, kehidupannya berubah drastis. Salah satu sebabnya adalah pencalonan Noguchi sebagai gubernur. Sebagai mantan menteri luar negeri, meski mendekati masa pensiun, dia masih menarik minat pendukung. Saat itulah dinamika kehidupan politik Kazu dimulai. Dia ikut mengatur strategi kampanye bahkan turun berkeliling melantunkan pidato. Kazu tak merasakan ketenangan seperti sebelum menikah, dia berusaha menikmati. Walaupun pada akhirnya dia menanggalkan seluruh kehidupan politiknya dan kembali menjadi pemilik restoran yang bersahaja. 

Saya perlu membaca karya Mishima yang lain. 


Komentar

Postingan Populer