Satu Bait

Awalnya kugubah puisi ini dalam tujuh bait. Tapi tampaknya kamu tak tahan baca puisi panjang-panjang. Kamu benci sastra. Jadi cukup satu bait saja. Satu bait sederhana terbaikku, tapi mungkin juga bukan yang terbaik, yang kutulis sambil mencabuti satu-satu jarum yang menancap di dadaku dan, menguras air mata. 

Kau bertanya tapi aku tak mendengar jelas suaramu. 

"Oh, maaf. Aku tanya apa kamu akan mengisi ulang air matamu?" 

"Bagaimana menurutmu?" 

(Kau diam) 

Sesungguhnya aku sengaja menangis sepuasnya. Sampai sumber air mataku kering. Sampai tak ada yang bisa kutumpahkan lagi, bahkan biarpun kotak menangisku rusak. Jadi, jika hal yang terjadi pada kita sekarang suatu saat terulang, aku takkan lagi menangis. Bukankah itu ide yang cemerlang untuk pria malang sentimental sepertiku?


Korespondensi Terakhir Kita 


Langkah—aku lupa bagaimana terakhir kali kita memaknainya

Jika langkah-langkah membawa kita pergi, haruskah orang banyak yang memberi kita kebahagiaan? 

Seseorang pergi—melihat ini itu, beli ini itu—tanpa melangkah

Seyogianya, seseorang bisa bahagia—senyum sana sini, lompat sana sini—juga tanpa banyak orang

Tapi bila kamu memaknai kebahagiaan kita berbeda sama sekali dengan makna langkah, perpisahan ialah jawaban terkeren Tuhan untuk kita; klimaks epik di babak akhir 


Aku minta tolong untuk terakhir kali. Sisihkan sementara kebencianmu kepada sastra (mungkin juga kepadaku) untuk memahami puisi ini. Tak ada apa-apa lagi. Tak ada penyesalan. Tak ada kenangan. Kita telah menyudahi semuanya secara baik-baik. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer