Jay Frustasi (1)

Ketika penguncian covid berjalan dua hari, masyarakat ramai-ramai memprotes. Di Twitter, tagar #penguncianadalahpenjara menjadi yang utama. Menurut mereka, bila ini berlangsung sampai seminggu semua orang bakal stres. Sangat jenuh berdiam di rumah sepanjang hari. Orang-orang butuh udara taman, asap kendaraan, dan obrolan dengan teman. Tapi jauh sebelum penguncian diterapkan dan warga sekota stres karenanya, Jay sudah stres sejak lama. 

Jay tak membuka Twitter sama sekali. Jadi dia tak tahu di luar sana ratusan ribu orang sedang stres seperti dirinya. Yang membedakan hanya penyebabnya. Dia senantiasa sibuk dengan rubiknya. Sepanjang hari. Adakalanya dia beristirahat barang sepuluh menit. Yang dilakukannya di sepuluh menit itu adalah berjalan mengitari ruang tamu, menyeka wajahnya, mengambil nasi, lalu kembali bermain rubik. Semua dia lakukan secepat kilat. Dia bebas menjalani rutinitas buruk tersebut karena dia tinggal sendiri. Ayahnya dikubur dengan cara sederhana dua tahun lalu. Dia tahu sekilas kalau ada tumor di otaknya. Ibunya, ibunya telah mati bertahun-tahun lalu, lama sebelum ayahnya, kemungkinan besar saat Jay masih dua tahun. Dia pun tak tahu pemakaman ibunya sederhana atau tidak. Ibunya memang lahir di tengah keluarga konglomerat. Tapi Jay tahu kalau keluarga ibunya tak bakal banyak membantu pemakaman itu. Sebab orangtuanya menikah tanpa restu sang keluarga konglomerat. Bisa jadi ayahnya lah yang mengurus seluruhnya. Dan kita bisa tahu, saat ayahnya yang mengurus, tidak mungkin pula pemakaman itu bermewah-mewah. Yang jelas sederhana seperti milik ayah. 

Jay tinggal sendiri di sebuah flat sangat murah di tengah kota. Tak ada optimisme bagi penghuni flat semacam itu. Segalanya mengenaskan. Dan betapa mujurnya ia karena kamar mandi dalamnya berfungsi dengan baik. Ada satu kamar saja, kecil, penuh, dan pengap. Di sanalah Jay meringkuk berpekan-pekan, bersama rubiknya, bersama ratusan kali rubik rusak lalu jadi. Ruang tamunya berantakan, dan balkonnya penuh dengan polusi. Pokoknya, detil-detilnya semakin kacau-balau seperti itu setelah ayahnya meninggal. Dan Bibi Sein, asisten rumah tangga yang paling peduli pada Jay meninggalkannya karena kurang uang. 

Tapi bukan itulah yang membuat Jay frustasi. 

Tentu Jay memiliki kehidupan lain di luar flat. Dia punya rutinitas ke kampus. Semua dosen mengakuinya seorang yang cerdas. Mahasiswa filsafat di atas rata-rata. Dia memang tidak jago di semua nomor. Tapi di tokoh filsafat tertentu, seperti Kant dan Hume, civitas academica sefakultas mengakuinya. Semester dua lalu, Jay dengan sangat masuk akal mengkritik artikel seorang dosen satu universitas di ibu kota. Menurutnya, Jery, nama dosen itu (bukan nama sebenarnya) telah mengolok-olok dirinya sendiri dengan pemahamannya yang keliru atas Kant. Jay menggubah kritiknya di salah satu media nasional lima hari setelah milik Jery terbit di media yang sama. Dan sampai berbulan-bulan berikutnya, tak ada klarifikasi dari Jery. Fakultas filsafat universitas Jay bertepuk tangan untuk Jay.  

Mungkin pembaca sekalian menerka orang-orang Jery mengintimidasi Jay kemudian Jay stres. Tidak. Bukan itu penyebab dia stres. 

Lebih rincinya begini. 

Suatu pagi, saat Jay masih terlelap di atas ranjangnya, yang waktu itu Bibi Sein masih ada dan flat terawat dengan baik, dua pria kekar mengetuk pintunya. Karena Jay tak dengar—dia tidur begitu mati—pintu pun didobrak. Jay terbangun karenanya. Dan dua orang itu telah berdiri di depan ranjang Jay. 

"Tidur nyenyak banget ini bocah!" kata lelaki berompi kulit hitam berkilau. Dia memakai sepatu bot yang berat, yang sama mengkilap. Kelihatan sekali baru disemir. 

Tunggu kelanjutannya ya kalo aku ga mager.

Komentar

Postingan Populer