Knock Knock Knock

Dia merasa hampa. Merasa sangat hampa. Dia berbaring di lantai. Entah mengapa lantai yang dingin itu, yang biasanya bisa membuatnya tenang, sekarang terasa biasa saja. Baru kemarin pagi dia merasakan ketenangan lantai: saat matahari baru tampak, dan dia baru saja selesai berjalan cepat sejauh dua kilometer, dia amat, dia amat merasa tenang. Tapi sekarang dingin lantai itu hampa saja. 

Mustahil tangannya menggapai pisau yang baru dia pakai untuk mengupas mangga itu. Karena dia telah menggeser tubuhnya terlalu jauh. Dia makan mangganya sampai habis, kekenyangan, dan tak terasa dia sudah bergerak jauh dari pisau itu. Jadi, meskipun dia tertimpa masalah yang begitu besar hari ini, kesempatannya untuk bunuh diri cenderung kecil, belum lagi dia sulit bergerak karena kekenyangan. 

Kemudian dia teringat satu kutipan dalam cerpen Etgar Keret. Dia lupa judul cerpennya. Tapi begini kira-kira kalimatnya, "Tentu saja ada kebahagiaan yang pudar. Seperti kolor yang dicuci ribuan kali." Secepat kilat dia mengaku sedang berbahagia, bahagia yang pudar. 

Tetapi lantas dia ingin menghilangkan kebahagiaan yang pudar itu dari dirinya. Ini memberinya kekuatan melawan rasa kenyangnya yang berlebihan. Dia jadi lebih kuat bergerak, lebih cepat, dan lebih presisi. Satu lompatan, dia telah duduk memegang pisau di tempat pisau itu tadi tergeletak. Dia mengelap pisaunya terlebih dahulu karena tak mau darahnya yang amis bercampur dengan mangga yang manis-asam. 

Dia juga mengelap pergelangan tangan kirinya yang berkeringat. Kamar kosnya sungguh panas. Induk semang tak memberi tahu apa-apa padanya soal kipas angin yang rusak. Sekarang dia sudah siap. Dia tiba-tiba sangat bersemangat. Untuk mengurangi rasa sakit, dia menatap tangan kirinya dan berusaha berpikir bahwa itu buah mangga. Dia ayunkan pisau itu menuju mangga ilutif itu. 

Tapi mendadak seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dia meletakkan pisau dan membuka pintu. Berdiri induk semang dan pria tak dia kenal. 

"Ibu bawa Pak Ben buat perbaiki kipasnya," kata Indung Semang. 

Pak Ben mengingatkannya pada sosok Ayah pada cerpen "Lompat, Dong" karya Etgar Keret. Lebih tepatnya ingat pada kalimat yang diucapkan Ayah itu kepada pria yang siap melompat dari lantai sebelas sebuah gedung: "Mungkin hari ini adalah hari tersulit yang kaualami. Tapi beberapa hari, minggu, bulan bahkan bertahun-tahun ke depan, kau akan menertawakan momen konyol ini." 

Komentar

Postingan Populer