Gurihnya Sore


Rasanya pening sekali. Sangat melelahkan setengah hari bergelut melawan kasur dengan smartphone di tangan. Tak ada yang bisa kulakukan selama liburan. Tak ada yang hendak kulakukan. Terkadang, untuk menganggap diri tenggelam dalam euforia liburan, aku hanya perlu berdiam diri (Pilihan berpelancong bukan satu-satunya cara berlibur). Tak memikirkan dan melakukan apapun. Mengosongkan gerak pikir dan fisik. Diam itu menenangkan. 

Barangkali aku harus melihat matahari untuk meredam sakit kepala ini. Sore yang cerah. Udara tak begitu dingin di sini, dan panas pun bukan waktunya sekarang. Kau tahu? Suhu di sini seperti rasa gurih. Puncak keseimbangan komposisi antara bahan dan bumbu. Dan semenjak bangkit dari kasur kemudian terpikir untuk duduk-duduk di beranda rumah, yang paling kutegaskan adalah takkan aku menyapa siapapun yang lewat. Itu termasuk yang kumaksud dengan diam. 

Agak menyiksa diri, memang. Kalian pasti menjumpai orang-orang yang merasa telah menghabiskan banyak tenaga usai berbicara meski hanya sepatah dua kata dengan orang lain. Itulah aku. Orang-orang yang berbicara kepadaku itu seperti menyedot habis energiku. Sekejap setelah berpaling dari mereka, begitulah aku menyadari kalau aku ngos-ngosan. Maka, selalu kusempatkan dalam sehari mengambil waktu dan tempat untuk menyendiri. Bukan hanya mengirit tenaga, tetapi juga mengisi tenaga. 

Selain itu, pasti kalian menemukan seseorang yang selalu merasa tidak enak dengan orang lain. Aku pun demikian. Aku juga merasa tidak enak mengabaikan mereka yang lewat. Aku sangat terganggu dengan pikiranku sendiri, bahwa 'pasti mereka membatin tentang diamku'. Memang, dalam hukum agama yang kuanut, alangkah lebih baik pejalan kaki harus menyapa terlebih dahulu yang duduk. Tapi di situasi macam ini, rasanya tak nyaman jika sudah saling lihat tapi tak menyapa. Berpura-pura tidak melihat pun semakin tak nyaman. 

Tapi sudah kubilang, kutegaskan takkan menyapa siapapun yang lewat. Selama aku duduk depan rumah, silih berganti aku; memandang langit, mengorek-orek kuku tanpa alasan, membuang muka, pura-pura memejamkan mata, mengamati lantai, mengoreksi plafon. Kuenyahkan rasa tidak enakku kepada orang lain. Satu langkah signifikan belajar menjadi egois. 

Terkadang, rasanya ingin sekali menjadi seorang ekstrover. Menyapa seseorang tanpa dibebani pikiran susahnya mencari topik pembicaraan. Kadang juga berpikir enteng, apa sulitnya. Ini simpel, pertama sapa dengan ramah dan santai, kemudian mulai satu topik remeh, lalu diam jika buntu (tak masalah), jangan buru-buru dengan topik baru (buru-buru hanya membunuh konsentrasi), amati penampilannya (itu bisa jadi topik), dan blablabla. Itu mudah sekaligus sulit. 

Sore ini cerah. Senang bisa mengabaikan mereka sementara. Semoga jalan depan rumahku yang tetap mereka pilih besok. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer