in a sentimental mood*

johncoltrane.com 

crazy little thing called love
this thing called love
i just can't handle it --queen

aku baru membaca satu kalimat dari t.s eliot dalam puisinya yang berjudul the love song of j. alfred prufrock sebelum aku kehilangan gairah untuk melanjutkannya lagi. aku membaca bukan karena aku ingin. sebaliknya aku hampir tidak selera membaca. tapi aku tidak bisa hanya berbaring di kasur menunggu notifikasi di teleponku berbunyi. padahal aku sedang tidak membuat janji dengan siapapun. jadi untuk apa aku menunggu telepon berdering?

maksudku, saat kau menginginkan sesuatu dari dalam hatimu, kau akan bangun lebih pagi, menyeduh kopi, membaca atau menulis satu kalimat atau baris, menghapusnya, membaca atau menulis satu kalimat atau baris lain, sekarang kau menyeduh kopimu yang ketiga, lalu kau merasakan membaca dan menulis adalah satu hal di dunia yang paling menyakitkan, tapi apakah kau pernah berpikir kehidupan adalah hal terbesar yang paling menyakitkan? lalu kau membeci kehidupan. mungkin juga kehidupan membenci dirinya sendiri.

aku teringat pernah membaca cerita tentang seorang lelaki yang terus-menerus membaca buku saat menunggu sesuatu. setelah berpikir keras cukup lama, aku baru teringat setidaknya ada dua cerita dengan tokoh utama yang suka menunggu sambil membaca buku yang pernah aku baca. satu cerita berjudul "pria murakami", dalam satu kumpulan cerita yang ditulis norman erikson pasaribu. lalu satu lagi berjudul the old man who reads love story, novel yang ditulis oleh luis sapulveda. tokoh utamanya (aku lupa namanya atau memang tokoh utamanya tak bernama kalau aku tidak salah ingat) berhasil memintas waktu dengan buku-buku tebal yang mereka baca. cerita pertama, si tokoh utama setiap hari pergi ke taman sambil membawa buku puisi dan sedang menunggu kekasihnya yang datang dari masa depan atau kasihnya datang dari masa lalu ke masa depan. cerita kedua si tokoh utama, seorang kakek tua, menyepi mencari kedamaian setelah ditinggal kekasihnya ditemani novel-novel cinta picisan yang ia dapat dari rumah bordil. selama menunggu, mereka berulang kali membaca buku. aku hampir lupa seluruh alur cerita dari dua cerita tersebut. satu-satunya yang masih kuingat, entah cerita yang mana dari keduanya, adalah cerita ketika tokoh utama membaca terus menerus sambil menunggu kekasihnya di sebuah kafe, setiap hari. aku mengingatnya dengan baik karena merasakan realitas intens yang terus tergambar dalam adegan itu. rasanya, dalam karya sastra, lebih realistis kalau timbul nafsu membaca yang luar biasa kuat daripada tidak ada hasrat membaca sama sekali gara-gara cemas. 

namun kenyataannya, ketika aku menunggu sesuatu terjadi sambil memandang jarum jam dalam kamar yang sepi, keinginanku untuk membaca sama sekali tidak tergugah, tidak seperti pria murakami atau the old man who reads love story. kemudian, serta merta aku berpikir bahwa selera membacaku tidak tergugah barangkali karena aku kekurangan realitas sastrawi. rasanya aku menjadi bagian subuah novel yang rusak. "kamu sama sekali tidak realistis", seakan-akan seseorang menuduhku. atau kenyataannya barangkali memang begitu. 

"setiap kali kau merasa seperti sedang jatuh cinta. kenakan sepatumu dan lari sejauh yang kau bisa. itu hal terbaik yang dapat kau lakukan saat ini, di usiamu saat ini", kata seorang teman kepadaku kemarin hari. 

aku kembali menekuri buku yang terbuka di halaman 144. bagaimana bisa seseorang terus-menerus menunggu. jatuh cinta membuat manusia sering kali menunggu. meski seseorang yang menunggu tahu bahwa ia sedang menunggu dalam kesia-siaan. kita tak pernah tahu seseorang yang sedang kita tunggu apakah juga sedang menunggu kita? bisa saja dia malah menunggu orang lain atau dia tidak sedang menunggu siapapun karena dia sedang bersama orang lain. dan dalam konteks diriku saat ini, aku tidak tahu sedang menunggu apa atau siapa. yang aku tahu, aku hidup untuk menunggu sesuatu dan aku tidak tahu itu apa. 

mengetahui kemungkinan yang demikian. lalu aku mulai berpikir banyak tentang kematian. aku tidak bisa tidur. aku memikirkan banyak hal yang aku alami seharian, di atas ranjang. maksudku, kenapa tidak ada satu pun kalimat yang berhasil aku tulis buat mewakili satu perasaan? aku membaca sajak sajak yang berbicara tentang kematian. aku membaca subagio. aku menemukan kalimat "gerak tiada arti" dan benar seperti itu adanya. diam diam aku mulai berfikir akan lebih mudah menyerahkan segalanya pada kematian. pasrah. hidup terlalu panjang. bosan dan melelahkan. memperpanjang harapan hidup, seperti menambah panjang daftar sepatu yang harus dibeli. 

mungkin tema-tema tentang menunggu, bagiku, telah gagal di umur 23 tahun. dan mungkin itu juga sebabnya aku mulai membenci diriku sendiri. "satu satunya alasan kau membenci dirimu sendiri adalah karena kau lelah membenci orang lain". 


*aku ambil dari satu judul lagu dari john coltrane 
** aku sering sekali menggunakan kata "mungkin" dalam kalimat-kalimatku, karena tidak ada satu hal di dunia ini yang tidak berupa kemungkinan. iya gak sih? iyain ajalah. anjir gak jelas. maaf.

Komentar

Postingan Populer