Hujan Mengecewakan Kafka


Kafka sangat mempercayai hujan. Ia bersumpah jika seseorang mencari sesuatu yang bisa diandalkan untuk menyembunyikan kesedihan, dia harus menemui hujan. Kafka bahkan berpikir, dengan cara berpikir layaknya tengah berujar kepada Tuhan, bahwa tak masalah bila dia dirundung malang saat musim hujan, karena dia memiliki sesuatu yang dapat dia percaya dan andalkan, hujan. Kenyataan ini telah membentuk stigma dalam dirinya bahwa tak ada yang bisa diharapakan dari musim kemarau menyangkut masalah menyamarkan kesedihan. Kemarau justru memperjelasnya. Kemarau adalah tipe manusia yang tak punya rasa tidak enak. Tipe seseorang yang mendorongmu untuk berterus-terang. Tetapi hujan, sangat cocok dengan dirinya yang malu-malu, bahkan terhadap air mata harunya. Padahal hal apa yang layak mendasari seseorang menutupi air mata harunya dari orang lain? Namun dialah Kafka. Kerja samanya dengan hujan berjalan mulus sampai hujan ketahuan gagal menyembunyikan air mata Kafka. Kafka kecewa berat kepada hujan. Salah Kafka juga gagal mencegah kedua matanya menumpahkan air. Awalnya orang-orang di sekelilingnya tak menyadarinya tengah menangis. Tapi mereka menemukan sebuah alternatif: mendengar isaknya. Dia tak menyangka rintihnya mengalahkan berisiknya hujan. Dia pun menutup mulut lebih rapat. Mengatur nafas agar lebih stabil. Meredam isak dengan lebih sungguh-sungguh. Dia masih berdiri di tengah turun hujan yang berisik. Dan mereka pun tak mendengar apa-apa darinya. Tapi seseorang berhasil mendapati matanya yang memerah. "Kau menangis!" pergok orang itu alih-alih memahaminya sebagai akibat air hujan yang bikin perih. Dia berniat membantah namun hatinya terlanjur begitu terguncang. 

Sejak saat itu Kafka putus asa. Merasa mustahil menemukan sesuatu yang benar-benar bisa menyembunyikan tangisnya dari orang lain. Tentu kalian tahu rasanya saat tiada satu pun di sekitarmu yang peduli, lalu datang seseorang yang dengan senang hati menyuguhkan bahunya ditimpa wajahmu yang basah oleh air mata, tapi kemudian bahkan saat air mata itu belum kering dia malah seenaknya menarik diri: betapa bangsatnya dunia. Dia bertekad membenci hujan selamanya. Dia mencari cara untuk menggantikan peran hujan. Tapi tak mungkin dia mengurung diri dalam kamar berhari-hari. Berlari menuju toilet untuk membasuh wajah setiap menangis. Atau menahan air mata dengan sapu tangan dan terus-menerus menyamarkannya dengan kacamata. Atau menyumpal mulutnya dengan segepok tisu. Atau mewarnai kelopak matanya dengan cat putih dan hitam. Tak mungkin. 

Di kolam renang sewaktu Kafka masih kanak, dia menangis setelah satu bogem mentah dialamatkan ke dahinya dalam permainan penjahat-penjahatan. Dia memilih menjadi polisi karena ada kebaikan dalam dirinya. Dia yakin mampu meringkus semua penjahat yang ditemuinya. Tapi dia kurang lincah untuk menghindar dari pukulan bos penjahat. Dia menangis diam dan menceburkan diri ke kolam. Menghapus air matanya dengan air kolam. Mengentaskan diri setelah air matanya terkuras habis, sementara koleganya dan para penjahat telah selesai dari peran mereka dan terbungkus rapi dalam pakaian hangat di bawah tangan para ibu. Tapi Kafka tidak menyadari matanya merah. Tapi orang-orang lebih tidak menyadari bahwa mata merah itu akibat menangis, bukan terlalu lama melek dalam air. Gagasan tentang hujan itu Kafka ingat dari kolam renang. 

Hujan belum reda demikian juga dengan air mata Kafka. Keduanya seolah bersaing. Seperti tetap berniat saling menyembunyikan meski air mata Kafka akan kalah telak sekaligus takkan pernah reda. Sementara hujan mungkin beberapa saat lagi akan reda. Air mata Kafka selamanya membenci hujan. Isak tangisnya telah kehilangan kepercayaan kepada hujan. Seperti air mata dan wajah yang hilang percaya pada bahu seseorang. Kafka kepada seseorang. 

Komentar

Postingan Populer