Sepotong Resah Untuk "Belajar"


Pagi itu, saya meninggalkan kegiatan diniyah di pondok pesantren karena harus mengikuti kuliah daring psikologi sastra. Sembari menyimak suara dosen, mau tidak mau saya juga menyimak kegiatan diniyah. Kegiatan itu bertempat di masjid, tetapi saya mendengar lantangnya suara ustaz, karena pengeras suaranya dipasang di depan kamar (asrama) saya. Alhasil suara kegiatan diniyah mengalahkan perkuliahan sekalipun saya sudah menggunakan headset.

Di pertengahan, masih bercampur dengan suara dosen, ustaz berkata, "Ngaji pagi itu harus ditekan sedikit suaranya." Maksudnya dilantangkan. Tetapi saya rasa beliau sudah sampai pada tahap hampir berteriak. "Kalau tidak begitu, kalian mengantuk," lanjut beliau. Tapi saya tetap menguap. Ketika hadir langsung pun juga demikian.

Pagi sebelumnya jam kuliah kosong. Jadi saya mengikuti diniyah. Berbeda dari ustaz yang tadi, yang ini lebih halus. Dan yang paling membuat saya kagum, beliau selalu mengutarakan pertanyaan atas materinya sendiri, atas gagasan yang baru diutarakannya sendiri. Sebenarnya setiap saya mendengar kajian, setelah satu gagasan disampaikan, sering sekali muncul satu pertanyaan tanggapan di kepala. Seolah tahu isi pikiran saya, pertanyaan ustaz itu kebetulan hampir selalu sama dengan yang saya bingungkan. Jadi saya mendapat jawaban tanpa repot acung tangan. 

Saya menikmati kajian beliau hingga akhir, tanpa rasa kantuk sedikit pun padahal malam sebelumnya saya tidur lumayan larut. Di akhir, saya masih berkesempatan bertanya. Dan jawaban beliau membuat puas saya. 

Saya menyadari perbedaan itu. Terkadang, dosen, guru di sekolah, ustaz, atau siapapun yang menyampaikan ilmu, "memaksa" murid untuk mendengarkan, antusias, dan paham, tanpa melihat orientasi muridnya. Mereka melantangkan suara, mengulang-ulang gagasan, menanyai satu persatu murid, menegur murid yang mangkir mendengar. Berusaha agar mereka didengarkan murid. Sebenarnya masing-masing murid memiliki selera pengajaran yang berbeda-beda.  

Saya lebih suka pengajaran dengan membawa gagasan dan ilmu yang sepenuhnya baru, yang tak pernah saya dengar sama sekali sebelumnya. Tak apa dengan gaya penyampaian yang biasa saja, datar, dan tak menarik. Meski pada titik tertentu saya juga merasa bosan. Tapi akan lebih bosan jika ilmu dan gagasannya telah disampaikan berulang-ulang. Seolah tak ada lagi yang bisa diangkat. Masih mendingan jika menggunakan gaya penyampaian atau sudut pandang yang berbeda. 

Saya juga menemukan tren pengajaran yang populer tetapi membosankan. Menyampaikan dengan berapi-api, suara lantang dan bersemangat, repetisi frasa dan klausa, tetapi gagasan yang itu-itu saja, mencoba berlagak layaknya pengkhotbah kondang tanpa mereka sadari bahwa mereka hanya menyodorkan bekal makanan yang sama namun hanya berbeda wadah. Bagaimanapun, saya lebih sering bosan alih-alih antusias dengan itu. 

Seseorang (seingat saya Bruce Lee) suatu kali memang pernah berkata, bahwa dia lebih takut pada satu jurus yang dilatih seribu kali tinimbang seribu jurus yang dilatih sekali. Di pesantren saya dulu, kiai saya juga berdawuh bahwa salah satu tanda ilmu barakah adalah pemiliknya takkan bosan meski telah seribu kali banyaknya ia mendengar ilmu tersebut.

Saya membenarkan itu. Namun, tak sadarkah, engkau—para guru yang terhormat—betapa butuhnya kami—para muridmu yang rendah hati ini—akan penyegaran? Sadarkah kalau kami haus akan sesuatu yang benar-benar tak pernah kami ketahui sebelumnya? Saya tidak sepenuhnya menyangkal buruknya keberulangan penyampaian ilmu dan gagasan, tapi kami tetap butuh kebaruan. Setidaknya hubungkan gagasan-gagasan lama itu dengan fenomena mutakhir, dengan sesuatu yang lebih dekat dengan kehidupan kami. 

Saya membayangkan, pagi besok, salah satu guru saya akan memulai dengan, "Peristiwa A yang baru-baru ini trending di Twitter, membuktikan betapa akuratnya teori si B tentang masyarakat," atau "membuktikan betapa tajamnya kepekaan sosial Ziggy dalam novelnya yang berjudul bla bla bla," misalnya. Jika contoh ini kurang menarik antusias, saya akui saya tak berbakat dan tak terlatih menjadi guru.

Maka dari itu, jika mendapati murid lebih memilih bolos, tak mendengarkan atau tidur di kelas, kita tak bisa sepenuhnya menimpakan salah pada si murid itu. Yang dikritisi juga seharusnya; apa iya tak ada satu pun hal yang membuat murid itu bosan dengan suasana kelas, jenuh dengan cara mengajar guru, jengkel kepada teman sekelas, betapa tidak menariknya ilmu yang diajarkan atau fasilitas belajar yang kurang mengakomodir? 

Coba beri nilai seberapa akomodatif dan menyenangkannya kelas belajar-mengajarmu. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer