Menduduki Jengkal Prinsipiel


Tak ada yang lebih mendesak untuk cepat-cepat dipikirkan pagi hari itu kecuali pertanyaan perihal debu pengganti air dalam bersuci. Dari segi bentuk, air jauh lebih unggul. Ia lebih memungkinkan membersihkan daripada debu, di saat reputasi debu pada umumnya yang lebih layak dikata mengotori alih-alih membersihkan. Lantas, alasan apakah yang membuat debu disetarakan dengan air, meskipun hanya sebatas ganti, yang tidak dipraktekkan semaksimal air? 

Kebingungan ini timbul bersama dengan Ustaz yang menjelaskan bab syarat sah bertayamum. Saya lempar pertanyaan itu kepadanya, yang dijawab dengan, debu memang tidak membersihkan. Keberadaannya sebagai pengganti air lebih cocok dipandang sebagai sebuah "formalitas" praktik. Kadar debu yang dipakai untuk mengusap wajah tidak sebanyak yang dikira. Tak disebandingkan dengan kadar membasuh dengan air. Sebelum mengusap pun, dianjurkan untuk membenturkan kedua telapak tangan untuk merontokkan debu, mengurangi kadarnya. 

Tetapi mengapa debu yang dipilih, yang sesedikit apapun kadarnya, tetap membuat terasa kotor? Kenapa tidak daun saja, atau batang pohon. Atau angin. Atau apapun yang kendati timpang dengan air, setidaknya nyaris menyamai air dalam sifat membersihkan. 

Begitulah kemudian beliau menjelaskan bahwa hal yang perlu diingat pertama ketika memikirkan hukum syariat adalah dogmatismenya. Hukum syariat dilihat sebagai sebuah ketetapan Allah yang dirumuskan berdasarkan situasi dan kondisi yang amat dipertimbangkan. Ia bersifat mutlak meski tanpa motif penciptaan sekalipun. Berikutnya, barulah hikmah, faedah, atau motif yang mengiringinya ditelisik. Begitupun dengan debu yang mengganti air. 

Dogmatisme atau ta'abbudi, dan antonimnya, ta'aqquli (dapat dinalar) merupakan dua sifat hukum syariat Islam, kata teman saya dulu di pesantren. Saya tak berani berkomentar banyak tentang ini. Jika dipikir lebih cermat, memang beberapa ibadah tidak memiliki latar belakang pensyariatan yang logis. Tak beralasan. Sedang sebagian yang lain dapat ditelusuri runtutan pemikiran yang mendasarinya. Tetapi agama memang tidak melulu merangkul koridor rasio, meskipun pondasi agama itu sendiri sesungguhnya adalah kemasukakalan. 

Faktanya, harus diakui, perasaan tak nyaman atas kenihilan air, dapat diobati dengan keberadaan debu yang secara praktis, kita rasakan langsung secara fisis, tampak oleh mata, mudah ditemukan, dan suci. Fleksibilitas debu dalam berbagai macam kondisi memperkuat kedudukannya sebelum dan saat menjadi pengganti air. Keberadaannya mudah ditemukan. Tentu ini tidak berlaku di kutub Utara dan Selatan. Tak ada debu yang menyelimuti gudang es. 

Debu adalah pembungkus kemaujudan bumi. Kita menyapu lantai setiap hari, mencuci piring, atau mengelap layar ponsel, akan tetap ada selimut tipis debu di setiap permukaannya. Sulit diterima, sesuatu yang lebih kerap dan lebih dulu dianggap kotor berubah menjadi alternatif alat bersuci. Ironi, kita menyebutnya. Seperti lumpur yang menyucikan najis berat. Tetapi sesungguhnya debu tidak "berfungsi" secara materiel. Ia benar tak dapat membersihkan kotoran dan najis secara materi. Ia meletakkan dirinya pada jengkal-jengkal prinsipiel, pada ranah esensi. Berbeda dengan air yang menempati keduanya. 

Komentar

Postingan Populer