Majalah Bekas

Aku mengutuk mereka yang menganggap lebay keputusan bunuh diri. Mereka kata hidup itu layak dijalani. Apa maksudmu? Aku memenangi sayembara desain gedung museum nasional berhadiah 25 juta rupiah bulan lalu; tetap bersikap baik pada Herry setelah rangkaian perlakuan bengisnya padaku di politeknik dulu; betah melaksanakan bakti pada mama berbentuk tanggung jawab atas seabrek jadwal dan dosis obat penyakit kompilasinya; mengeringkan air mata setelah truk ayam potong mencabut nyawa papa di kilometer 51 tol Palimanan-Kanci, tetapi rasanya hidupku tetap begitu-begitu saja. Mereka yang percaya hidup layak dijalani cuma cakap besar belaka. Sama sekali tak kutemui alibi kuatnya. Kendati begitu, aku akui kebahagiaan remeh nan intim itu nyata. Aku gemar mengacak-acak lalu menata ulang ratusan majalah balita bekas milik mama di meja ruang keluarga, misalnya. Dua hari lalu, Vera meneleponku dari Bojonegoro kalau pacarnya sepakat mengawininya. Selamat, kataku. Kakakmu saja belum. "Tolong pilihin satu temanmu yang cerdas buat aku, dong," kataku berseloroh. Bukan main gembiraku mendengar tawanya. Yang paling baru, ketakjubanku tak usai-usai setelah secara tak sengaja—jujur sesungguhnya aku pesimis—mendapati Martin Henger membalas surel main-mainku: aku merinding membayangkan dia memukul bola tenis itu. Tapi tetap saja hidup belum seutuhnya pantas dijalani. Karena seandainya majalah bekas mama tak pernah ada, atau adikku memutuskan tetap perawan sampai hidupnya tamat, atau Henger lebih memilih sibuk di Boston sana daripada membalasku, hidup terasa semirip sebelumnya; tak mengubah pandanganku tentangnya. Maka dari itu aku akan tetap bunuh diri. 

Malam ketika aku siap dengan setelan hitam dan satu draft pesan perpisahan di kotak percakapan WhatsApp-ku dengan Helen, sebelas detik sebelum melompat, Yoshua dan seorang kawannya menarikku paksa. 

"Jangan tolol."

"Bangsat. Aku hampir berhasil," makiku. 

"Kau yang bangsat."

"Betul, kau bangsat," tambah temannya. 

"Kau berlebihan, Yashfi. Kau pasti bisa melupakannya." 

"Aku gagal mati bahagia, bangsat!" sesalku tak henti-henti. 

Mereka menyeretku menjauhi sisi gedung. Memborgol tangan dan mengikat kakiku. Kurasa kawan Yoshua itu perwira polisi, atau prajurit tentara, atau kepala divisi di dinas sosial, atau siapapun yang memiliki kewenangan. Apa dia akan membawaku? Mereka mendudukkanku. Membiarkanku menyandari pembatas tangga. Mereka mulai bergantian menceramahiku panjang lebar tentang betapa berharganya matahari, air, Marlboro, pohon-pohon, catut kuku bahkan tahi. Dia menyinggung mama yang sakit-sakitan, yang sabar menenangkanku sejam sebelum wawancara kerja, yang bertahan mencuci bajuku sebagai balasan atas keteraturan pengobatannya. Aku tak kuasa membendung mata. Ada aku, katanya lagi, yang menyayangiku juga seperti mama, senantiasa sedia menerima protesku atas kehidupan. Betapa tak kuhormati persahabatan kami selama delapan tahun. "Aku paham rasanya," ujarnya berusaha membuat seolah-olah masalahku telah dialami semua orang dan mereka mengalahkannya dengan gemilang. Yang paling penting, lanjutnya, dia janji bakal menyeret Helen besok ke hadapanku sesungguh-sungguh dia menyeretku barusan. "Asal kau jangan mati," tambahnya sambil terisak. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer