Kecoak Dicintai yang Takut Mayat Wanita Bangkit

Aku terbangun terperangah di ranjangku setelah menyadari diriku berubah menjadi kecoa raksasa. Sudah pukul tujuh kurang seperempat pagi. Lima belas menit lagi seluruh staf dan karyawan harus berada di kantor untuk apel. Manajerku pasti murka aku datang telat, dan mungkin memecatku seketika. Atau dia mendadak membunyikan bel rumah, melabrak Papa Mama, “Sangat disayangkan Anda membiarkan putra Anda bekerja secara tidak profesional.” Tapi apa mungkin aku berangkat dengan keadaan begini? Kukerahkan tenaga untuk bangkit. Tapi sangat lah repot mengendalikan tangan dan kakiku. Gerakan-gerakan mekanisnya berubah jadi hentakan dan dorongan spontan yang amburadul. Otakku terlambat—mungkin juga tak mampu—merespon perubahan struktur keduanya. Atau aku hanya belum terlatih dengan tubuh kecoakku. Kuamati lagi, merasa jijik dengan tangan dan kakiku yang enam, yang ukurannya kecil-kecil panjang bergerigi di ujungnya. Punggungku yang melengkung menjauhkan kakiku dari dasar kasur, menyulitkanku berbalik badan, membuatku makin kalut. “Mama, mama, mama!” Benarkah barusan itu suaraku? Itu adalah desis acak yang lebih mirip suara serangga daripada manusia. Sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya aku terjebak di situasi serumit ini. Sial. Kafka memilihku. Padahal dia sudah mati. Kutukan metamorfosisnya bertahan dan menyergapku. Namaku bukan Gregor, Kafka. Apa nasib alur cerita hidupku kau samakan dengannya sampai penutup cerita?

Besoknya, tiba-tiba kudapati aku sedang mendaki. Namun, aku tersesat dan terpisah dari rombongan. Mungkin aku telah berada jauh di sisi gunung yang berlainan dengan mereka. Setelah bebas dari labirin hutan, aku menemukan sebuah desa. Desa ini persis dunia ciptaan Peter Carey dalam cerpennya berjudul, “Apakah Kau Mencintaiku?”. Tak cukup bernapas untuk bisa bertahan hidup di sini, seseorang harus mencintaimu. Tak ada yang memberitahuku pula perihal itu di desa ini. Saat pertama kali menginjak tanahnya aku otomatis mengerti begitulah aturannya. Seperti pengetahuan refleksku soal ngilu yang melilit perut merupakan pertanda lapar. Begitu menghisap udara desa ini rasa lelahku berlipat. Aku pun duduk di kursi halaman kantor kepala desa. Orang-orang cuek dan melewatkanku begitu saja. Betapa tidak menarik eksistensiku. Atau tampaknya mereka sudah sangat maklum dengan jutaan kunjungan turis tiap bulannya. Bagaimana tidak? Desa ini destinasi wisata tersohor, dan terhoror—ini pun kuketahui begitu saja. Kalian akan takjub melihat manusia hidup dan mati berkat cinta. Tiba-tiba saja napasku sesak. Jantung dan paru-paruku serasa ditarik keluar dan tersangkut di tenggorokan. Ototku kendur dan tulangku lembek. Aku telah sampai pada kengerian desa ini. Kepada siapa pun yang lewat, cemas aku bertanya, apakah kau mencintaiku?

Besoknya lagi, tiba-tiba aku telah berdiri di tengah pemakaman umum desa. Siapa yang menggotongku kemari? Orang-orang mendoakan keluarganya sementara aku hanya berdiri seperti tak punya keluarga yang kukirimi doa. Akhir-akhir ini hidupku sering tak terpahami. Tiba-tiba kurasakan getar di bawah kaki kananku. Meloncat. Sebuah tangan kanan pucat menyembul dari titik getar itu. Aku beringsut. Merasa aneh kembali atas keberadaanku di sini yang tiba-tiba, ditambah mayat hidup ini. Pelan-pelan kepalanya mulai terlihat. Rambutnya hitam panjang disisipi remah tanah. Akhirnya potret utuhnya menyembul layaknya krim kue yang mencuat dari piping bag yang menghadap ke langit. Dia memantapkan pijakannya. “Putriku yang keempat akan lahir. Walau buruk rupa, akan kunamai dia Cantik,” pekiknya. Ternyata tadi aku berdiri di atas kuburan seorang wanita. Dia cantik namun luar biasa mengerikan. Aku hendak lari, tapi si brengsek siapa yang mengelem kakiku ke tanah? “Silakan,” terpaksa kujawab gelagapan. Pemandangan mengerikan ini membuatku tak mampu memikirkan apa-apa. “Aku malu. Aku perlu menutupi tubuhku.” Dia baru menyadari rasa malunya seperti tak mengenal sebelumnya. Aku ragu menawarinya baju Mama sementara orang-orang makin heboh menyadari si wanita berbicara kepadaku. Mereka mendesakku kabur. Tapi kurasa Eka senang aku bertemu Dewi Ayu meski aku takut bukan kepalang.

Setelah semua itu, aku bisa mengidentifikasi sosok asliku. Ternyata butuh tiga peristiwa menakutkan untuk mengenali siapa dirimu sebenarnya. Itu kata Mama. Tapi apakah yang kualami sebelumnya itu? Apa Cuma mimpi? Tapi betapa jelas sakitnya. Apa kenyataan? Tapi Mama bersaksi aku tak siuman 11 jam. Mama menghimbau jangan terlalu merisaukannya. Katanya, Papa dulu mengalami juga, umurnya waktu itu 23 tahun. Setahun lebih muda dariku. “Mama lebih muda lagi. 19 tahun. Sekarang kami baik-baik saja.” Tubuhku lumayan rileks mendengarnya. Namun, mengapa laki-laki lebih lambat untuk mengenali dirinya sendiri? Apa ini berbanding lurus dengan proses kedewasaan biologis? Apa ini serupa masa haid wanita yang selalu lebih awal daripada mimpi basah pria? Mama tak tahu pasti. “Jadi... Siapakah Papa Mama dahulu?” Dia malah balik bertanya siapa aku sesungguhnya. Aku adalah kecoak butuh cinta untuk terus hidup dan takut dengan wanita masa lalu yang bangkit dari kubur.



*Cerita sudah pernah tayang di KABAR IMASIND dan berterima kasih kepada novelet Metamorfosa Samsa karya Franz Kafka, cerita pendek "Apakah Kau Mencintaiku?" karya Peter Carey, Novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, dan cerita pendek "Jamur" karya Etgar Keret. 

Komentar

Postingan Populer