SPBU 100 Meter Lagi

Indikator bahan bakar sepeda motorku menunjukkan tersisa satu bar. Dari enam, aku berangkat dengan empat. Aku ingat. Sebelum kami bertigabelas menaiki motor kami dan menarik pedal gas, di sela-sela mulutku dan Aleen, Caca berteriak, “Google Maps bilang 41 kilometer menuju pantai”. Laju kami tak akan lebih dari 60 km/jam. Maka kemungkinan kami akan menghabiskan waktu 82 menit di jalanan. Kami telah menuntaskan paruh pertama. Artinya kami dalam perjalanan pulang dan kami sudah membereskan setengahnya. Mentari senja memotret punggung kami yang melengkung. Aku menyukai hangatnya. Tapi aku benci kehangatan lain, yang merisaukan, yang menjengkelkan: kehangatan perasaan ragu yang tetiba menikam dadaku secara bertubi. Luar biasa hangat nyaris menyentuh titik didih. Aku bingung. Bagaimana sebaiknya. Apakah harus bergegas menepi ke pom bensin atau menunda sampai sepeda motor ini sungguhan mati.

Baiklah. Aku bersiap mendominasi jalan dan menyalip mobil Toyota Avanza hitam yang melaju pelan ini. Aku akan berhenti di pom bensin setelahnya. Ia kurang dari 70 km/jam di saat hampir seluruh pengguna jalan melebihi itu. Aku akan memotongnya dari sisi kanan. Tentu di saat lajur kanan kosong. Tapi ketika aku terlanjur menghidupkan lampu sein kanan, Avanza ini menyerong ke kanan. Apa yang dipikirkan si sopir? Apa dia sadar bahwa mobilnya terlampau pelan untuk melaju di sisi kanan? Sungguh tolol.

Lajur arah berlawanan kelewat padat. Jadi kurasa aku akan menyerobot dari kiri saja. Mengetahui itu, si sopir mobil memutar setir ke kiri. Aneh. Apa yang kau mau sopir? Baiklah, aku akan menunggu lajur kanan kosong lalu melibasnya. Bar indikator bahan bakar masih tersisa satu. Enam detik berlalu dan akhirnya aku lolos menyalip. Setelah kuketahui aku mulai menjauh dari mobil itu, aku pun sadar, ternyata telah melewatkan pom bensin. Sial. Aku harus kembali meneliti mati-matian tepian jalan.

Dua kali aku nyaris terlambat menarik rem. Semua objek di mataku kabur. Kecepatan tinggi dan debu memperparah kelengahanku. Kemudian, sekonyong-konyong beberapa ingatan menubruk dahiku.

Sekonyong-konyong aku teringat Mila. Tahu-tahu aku mengingat betapa cerewet ia. Dan aku semakin mengingatnya. Aku belum meminta izinnya untuk membonceng Aleen. Pasti dia marah.

Mila berlalu, serta-merta ayah-ibuku menepi di pupilku. Uangku habis. Akan kutelepon ayah. Kirimi aku uang, Ayah. 50 juta!

Ayah tuntas, sekonyong-konyong aku ingat besok puasa Ramadan. Aku menyesal membengkalaikan puasa bulan Syakban. Seyogyanya aku berlatih puasa.

Mila selalu begitu. “Izin dulu kalau mau bonceng perempuan!” Dulu kurasa dia tidak seposesif ini. Aku terkejut. Tapi lebih terkejut lagi saat mendengar tanggapan temanku. “Kau terlalu dikekang.” Kupikir tidak. Aku baik-baik saja dan akan selalu baik. Sekalipun nantinya aku betul merasa tidak baik, aku akan membiasakan diri lebih ekstrem supaya aku bisa merasa baik. Merasa normal. Lagipula aku tidak menjumpai kerepotan secuil pun manakala masih harus melapor sebelum memberikan kursi kosong sepeda motorku ke seorang perempuan. Jadi aku menyetujui Mila, perempuanku itu.

Punggung kami masih melengkung. Masih diguyur kuning mentari pukul lima sore. Kurasa aku akan mengisi sekarang, batinku, setelah mendapati markah yang tertulis ‘SPBU 100 meter lagi’.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer