Menunggu Wajah Kecil dan Culasnya

Aku merasa gelisah mulai sedari pagi tadi. Kebingungan menggelayuti pikiranku. Aku dan beberapa tetanggaku tengah menunggu. Kami menunggu kedatangan adik perempuanku dari pondok pesantren. Ayah dan ibuku yang menjemputnya di perhentian bus. Betapa rindunya kami kepadanya. Sudah sepuluh bulan kami absen melihat wajah itu, wajah kecil dan culas adikku.

Setahun lalu kami juga menunggunya. Berbekal euforia, rasa, dan gairah yang sama dengan saat ini. Dan dulu kami menunggu selama dua jam. Namun sekarang ternyata lebih lama lagi. Seharian sudah kami memandangi teras rumah sembari meneliti baik-baik adakah suara motor ayah. Kenapa lama sekali, sergah kami.

Tapi akhirnya mereka datang. Aku memeluknya tapi dia terima dengan enggan. Dia malu-malu. Padahal aku yakin dia kangen banget kepadaku. Dia sekarang kurus, terlepas dia memang masih gadis dengan tubuh yang belum berbentuk. Kulitnya menjadi sedikit kecoklatan karena di pondok pesantrennya panas. Tunggu sampai liburan usai, akan putih cerah kembali. Dan dia kelihatan cemberut. Aku rasa dia lelah, tak sabar menunggu giliran pulang.

Dulu aku seperti dia. Dinanti-nanti oleh semua orang rumahku di setiap penghujung tahunku yang menyenangkan. Ketertundaan liburan tak pernah membuat kami risau, selama tak lebih dari sehari. Satu hari liburan itu sangat berharga. Tapi kami tak pernah benar-benar khawatir bakal gagal pulang. Kegembiraan atas tibanya masa liburan telah meneguhkan keyakinan kami bahwa pada akhirnya kami pasti akan berlibur juga.

Komentar

Postingan Populer