Ketakutan
Di sepeda motor, dalam perjalanan pulang kami, ibuku mendapati sebuah rumah indah tepat di samping masjid tepi jalan raya. “Ibu senang sekali kalau rumahmu nanti seperti itu. Pinggir jalan raya dan dekat masjid. Kalau punya tamu yang mau salat tinggal pergi aja ke masjid.”
“Pinggir
jalan raya itu bising, Bu. Aku enggak suka.” Ibuku tak menjawab.
Di
saat-saat hanya berdua sebagaimana demikian, ibuku selalu menyinggung
topik-topik masa depan anak-anaknya. Tentang rumah tinggal, jodoh, pekerjaan
yang nyaman, dan pendidikan anak-anakku nanti. Seolah tak ada hal penting lain
yang pantas disegerakan untuk dibahas. Di saat-saat itu aku senantiasa menyembunyikan
rasa khawatir dari raut wajahku. Di kepalaku selalu terbayang gambaran-gambaran
bahwa aku tak dapat membahagiakan ayah dan ibu. Aku selalu mengkhawatirkan itu.
Aku takut mengecewakan mereka. Tapi aku tak ingin ibu melihat aku ketakutan.
Maka
kutambahkan pembelaanku, “Aku lebih suka perdesaan yang masih dekat dari pusat
kota.” Aku benar-benar tak suka kebisingan. aku menjadikan ketidaksukaanku ini tak
lebih sekadar sebagai alibiku untuk menghindar dari kebutuhan hidup kehidupan kota
yang mahal. Ibu adalah seorang yang irit melebihi aku. Di sisi lain sifat
optimismnya mengenai rezeki setiap orang yang sudah diatur Yang Kuasa tak
terkalahkan. Dalam hal ini, aku ingin sepertinya. Aku ingin seperti Ibu.
Keharusan
tinggal di kota sesungguhnya bukan persoalan yang benar-benar penting. Jikalau
nantinya tinggal di kota merupakan satu-satunya pilihanku, tak masalah.
Menerima kebisingan hanya butuh sekejap waktu. Tapi tetap, bila kota bisa lebih
senyap, aku merasa lebih baik. Tapi siapa yang dapat membuat sepi sebuah kota?
Hanya Nagasaki dan Hiroshima di tahun 1945 yang seperti itu.
Komentar
Posting Komentar