Kekerabatan
Aku besok pulang. Aku besok pasti pulang. Intinya aku harus pulang.
Aku iri melihat status WhatsApp teman-temanku. Mereka berbuka puasa bersama
keluarganya. Keluarga lengkap mereka. Ayah, ibu, adik, kakak. Aku saja yang
belum pernah. Keluargaku menghimbauku melalui ayah, jangan buru-buru mau pulang,
selesaikan dulu semuanya. Meski secara saksama aku bisa menangkap nada terpaksa
di suaranya. Kesibukanku di kampus mendesakku bertahan di sini.
Barangkali kampung halamanku sudah merindukan putranya ini. Begitu
pula ayah dan ibuku. Juga adikku. Atau juga tetangga, kerabat, dan teman-teman
kecilku. Aku menganggapnya terkadang karena aku tak pernah yakin mereka
benar-benar merindukanku. Aku bukan seorang yang setiap pagi di setiap harinya
keluyuran di jalan-jalan desa. Tipikalku adalah pembaca buku di kesepian,
menikmati kesendirian, dan benci kebisingan. Maka aku berpikir, jika aku sangat
jarang atau tidak pernah sama sekali membangun komunikasi dan relasi dengan
orang-orang sedesaku, dari mana mereka mendapatkan rasa kangen itu. Rasa kangen
adalah hasil perjumpaan dan adanya keterkaitan hubungan.
Tapi aku benar-benar ingin pulang. Aku ingin pulang dengan sepeda
motorku.
“Kamu kok enggak pernah bilang kalau lagi di sini?” balas mbak
sepupuku. “Iya, Mbak titip barang ya buat Bu Lek.”
Sebetulnya aku tidak malas berkunjung, tidak juga enggan mempererat
kekerabatan, atau berlagak cuek sesuai dengan sifat asliku. Bukan. Aku mampu
berlagak berlainan dengan sifat asliku. Aku hanya tak mau membuatnya
repot-repot. Aku tak mau mbak sepupuku repot-repot mengirimiku makanan untuk
berbuka dan sahur–jangan anggap dengan ini aku seolah-olah berharap itu akan
terjadi, dengan menyembunyikan kehadiranku di sini saja merupakan tanda kuat
betapa menghindarnya diriku. Dan aku tidak merasa jumawa, tidak merasa kebaikan
mbak sepupuku laksana ketetapan wajib matahari memancarkan suhu panas. Aku
hanya selalu merasa kebaikan mbak sepupuku akan menyentuh taraf itu. Dan aku
tak mau itu.
Meskipun aku yakin dia akan senang melihatku makan lahap makanan
enak bikinannya, yang kesenangan itu dia temukan lantaran aku adalah sepupunya,
aku yakin bukan hanya itu sebab dia berbaik hati. Dia senang membantu orang
berpuasa untuk berbuka dan sahur. Lagipula dia akan mendapat pahala atas
kebaikannya itu. Motifnya bukan semata-mata kami berkerabat.
Komentar
Posting Komentar