Sumur, Eka Kurniawan

Tulisan ini pernah tayang di KABAR IMASIND dengan judul “Yang Bisa Saya Tuliskan Setelah Membaca Sumur, Eka Kurniawan"

Bayangkan, kita memiliki satu teman sepermainan yang selalu bersama dan bersama. Namun, kemudian pertemanan itu hancur karena salah satu ayah kita membunuh ayah lainnya. Betapa berubah kehidupan ini setelahnya! Betapa asing kita dengan teman kita dan keluarganya! Betapa perih rasa sakit sayat luka itu!

Sejak itu, Toyib tak pernah punya nyali lagi untuk menegur sapa Siti. Perasaan bersalah ayah Toyib yang menghabisi nyawa ayah Siti telah menjalar pada diri Toyib. Hilang sudah kenangannya bersama Siti. Pertemanan yang juga membuahkan benih kasih itu pun telah luntur ditelan rasa bersalah Toyib yang tak berkesudahan dan rasa ketidakpercayaan Siti kepada Toyib dan keluarganya. 

Semua gegara musim panas yang berkepanjangan. Mata air kering kerontang, hanya menyisakan sedikit air yang hanya cukup membuat tanah berlumpur, tak lagi ada air mengalir. Ayah Toyib dan ayah Siti sama-sama petani yang membutuhkan air untuk tanaman di ladang-ladang mereka. Karena berebut aliran air itulah, mereka bercekcok hingga saling membacok. "… Aku tak mengerti kenapa mataku gelap dan parangku mengambil hidupnya," (halaman 7) sesal ayah Toyib di depan anaknya. 

Begitulah mereka menderita oleh musim panas berkepanjangan. 

Di awal cerita, Sumur sengaja ditampilkan oleh Eka Kurniawan sebagaimana karya-karyanya yang lain, yakni beralur maju mundur. Makin dalam tenggelam dalam cerita dan makin banyak peristiwa-peristiwa bermunculan, makin saya mengenali buku ini. Beberapa bagiannya mengingatkan saya akan kisah-kisah sinetron di televisi. Bagian-bagian itu, memang dimaksudkan untuk mendukung jalannya cerita, dan maksud tersebut tercapai. Namun, terkadang hal-hal demikian membikin cerita terlihat mainstream. 

Bagian itu lebih kepada hanya pendramatisir kisah. Seperti bagian ketika ayah Toyib meninggal terseret arus sungai yang meluap karena badai dalam perjalanan Toyib dan ayahnya menyusul Siti ke kota untuk merantau. Ini merupakan cara untuk menyingkirkan tokoh ayah Toyib. Namun, karena peristiwanya yang terlampau tiba-tiba, seolah itu menghilangkan keoriginalan (atau kealamian? Saya bingung hendak menyebutnya apa) jalannya cerita. 

Bukan hanya itu, saya juga merasakannya di bagian ketika Siti baru menyadari bahwa dia menikahi suami orang, ketika suami Siti yang kakinya harus diamputasi karena kecelakaan, dan ketika istri Toyib dan suami Siti kabur bersama lalu ditemukan meninggal di dalam sumur. 

Saya tidak tahu apakah harapan saya yang terlalu tinggi untuk karya terbaru Eka ini atau hanya standardisasi saya saja yang terlalu berlebihan menganggap cerita realis lebih bagus? Mungkin saya perlu mendengar pendapat pembaca lain tentang ini. 

Seperti yang saya tulis sebelumnya bahwa Sumur beralur maju-mundur atau campuran. Saya juga menemukan ciri yang sama di karya-karya Eka yang lain, seperti pada Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, novel O, dan cerita pendek "Caronang" dan "Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta melalui Mimpi". Memang, setiap penulis memiliki cara dan gaya masing-masing ketika menulis cerita-ceritanya. Namun, entah apa yang membuat Eka selalu cenderung melakukan hal ini. 

Sejauh pembacaan saya atas jurnal Eka, setidaknya saya menemukan apa yang membuat Eka berlaku demikian, yakni buku-buku yang dia baca. Kita tahu bahwa Eka membaca, salah satunya Gabriel Garcia Marquez. Dia mengakui telah terpengaruh atau berusaha terpengaruh oleh Marquez. Betul saja, ketika saya membaca cerita-cerita Eka, termasuk Sumur, saya tidak bisa tidak ingat dengan cerpen Marquez "Maut Lebih Kejam daripada Cinta". Selalu menceritakan hal-hal penting terlebih dahulu di awal (seolah orientasi itu tidak penting), membeberkan gagasan atau deskripsi, lalu kembali ke masalah inti. Naik turun berulang kali. 

Mengingat ukurannya yang mungil, pendek, saya merasakan adanya gairah (semangat) yang ditahan oleh Eka ketika menulis cerita ini. Saya bisa melihat semangat dan gairah itu. Namun, ketika hendak menumpahkannya, seolah terdapat tembok yang menghalangi Eka. Hal itu membuat cerita agak terkesan nanggung. Lebih-lebih, peristiwa yang Eka tulis terbilang melimpah, hanya saja ditulis dengan singkat. Akibatnya, isi cerita terasa kurang untuk menggambarkan latar dan peristiwa dengan utuh. Singkatnya, terlalu banyak kisah untuk bisa disebut cerpen dan terlalu singkat penggambarannya untuk ukuran novelet (yah, meskipun mengenai standar ukuran masih sangat bisa diperdebatkan). 

Cerita ini terbit dalam bahasa Indonesia pada Juni 2021. Sebelumnya, Sumur terbit pertama kali dalam bahasa Inggris pada 2020 lalu dalam antologi Tales of Two Planets bertema "Iklim dan Ketidaksetaraan di Dunia yang Terpecah", yang disuntingi oleh John Freeman. Oleh karena itu, boleh dikatakan Sumur merupakan kritik tentang perubahan iklim akibat pemanasan global terhadap dunia, terutama negara asalnya, Indonesia. Kesadaran akan dampak buruk perubahan iklim di Indonesia masih sangat minim. Program pengurangan emisi masih kalah saing dengan isu-isu sensitif lainnya, seperti ekonomi, ideologi, dan agama. Selirih apa pun itu, setidaknya Sumur memberikan suara tentang itu. 


Judul: Sumur

Penulis: Eka Kurniawan

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: Pertama, Juni 2021

ISBN: 978-602-06-5324-2

Komentar

Postingan Populer