Religiusitas Joyce


Kerap kali, ketika membaca karya sastra yang bukan berasal dari tempat kita pernah tinggal, kita merasa asing mula-mula. Saya sebenarnya tidak hendak mengulang bahasan ini. Namun, bagaimanapun, setiap kali membaca novel sebagaimana kriteria tersebut, seolah-olah saya berkunjung ke tempat yang sepenuhnya baru (tapi bukan berarti dapat menggantikan tandangan langsung). Dan kita tidak nyaman bila tidak menceritakannya, sekalipun sesingkat satu paragraf bahkan satu kalimat. The Dead (James Joyce) mengisahkan sebuah perayaan malam Natal. Pesta meriah yang diadakan oleh tiga wanita keluarga Morkan.

Irlandia bagi saya merupakan sebuah dunia baru. Pertama-tama, karena Irlandia itu sendiri: jaraknya yang jauh serta perbedaan budayanya yang kontras dengan Indonesia. Kedua, pesta malam Natal. Saya bukanlah seorang yang lahir di tengah lingkungan pembaca Alkitab. Apa yang saya ketahui tentang Natal hanya sebatas kerlap-kerlip pohon Natal, salju, hadiah, dan Santa Claus, yang saya kenal lewat film-film di layar kaca. Selebihnya, saya angkat tangan. Maka wajar bila saya harus membaca dua kali untuk memahami novela ini.

Karena keasingan itu, saat terdapat hal-hal remeh yang di tempat tinggal saya dianggap bukan sesuatu yang menyinggung namun di Irlandia membuat tersinggung, saya bertanya-tanya, di mana letak kesalahannya? Dan lebih lanjut, bagaimana ramah tamah yang sebenarnya di Irlandia?

Saya akan memberi satu adegan tentang itu. Ketika Gabriel bertukar kata dengan Lily si asisten keluarga Morkan, Gabriel bertanya, apa Lily tidak sekolah lagi. Lily menjawab dia tidak sekolah lagi sekarang dan untuk seterusnya. Berarti kami akan menghadiri pernikahan Lily di waktu dekat, ucap Gabriel. Ah, para lelaki itu mengincar sesuatu dari saya, timpal Lily yang membuat Gabriel tersentak tak nyaman. Di mana letak ketidaknyamanan kata-kata Lily yang membuat Gabriel tersinggung? Bukankah rasa suka kepada sesorang selalu dilandasi “sesuatu”? Baiklah, mungkin orang akan langsung membalas, kaumaknai apa kata tulus selama ini? Ah, benar-benar adakah cinta yang tulus? Saya rasa, tak ada rasa cinta yang benar-benar tulus. Ketulusan pun selalu dilapisi oleh (setidaknya) satu alasan untuk menyukai dan mencintai. Atau minimal, saya perlu mendengar pendapat kolega tentang ini.

Saya suka cara Joyce saat menjadikan ceritanya sebagai medium menyuarakan benturan antara generasi dulu (tradisional) dan kini (modern). Melalui tokoh Ivors, yang berlagak modernis, Joyce mengolok-olok kaum tradisional yang cenderung kaku dalam beramahtamah. Namun, saya beranggapan, bahwa bagaimanapun, ramah tamah merupakan sesuatu yang “kaku”. Dan, yang membuat saya agak tidak menyukai novel ini adalah ketika Gabriel, yang bermaksud membalas sikap Ivors, berpidato dengan “mengagungkan” generasi masa lalu yang harus dikenang dan dipertahankan. Bukannya tidak setuju mempertahankan tradisi sopan santun generasi masa lalu. Namun, datangnya modernisasi adalah sesuatu yang tak dapat dicegah. Jika generasi masa lalu memiliki keramahtamahan versi mereka, maka generasi masa kini juga memilikinya.

Novel ini ditutup dengan sebuah kemelut pribadi masing-masing sepasang suami istri, Gabriel dan Greeta. Kelindan tentang kenangan masa lalu, cinta, dan pengorbanan menyesaki kepala Greeta. Sehingga pada malam itu, seusai pesta, dia menjadi tampak muram. Gabriel tiba-tiba merasakan betapa berbedanya hubungannya dahulu dengan kini. Namun, di saat Gabriel terus-menerus memikirkan itu, Gabriel kemudian tahu bahwa Greeta memikirkan seorang kekasih lamanya yang rela mati berkorban demi dirinya. Ketika membicarakan kenangan, mengingat-ngingatnya, justru itu terasa sangat menusuk hati pasangan. Gabriel merasakan itu. Maka ketika dia menanyai istrinya tentang kekasih Greeta lebih jauh, itu hanya sebatas rasa simpati Gabriel supaya istrinya senang.

Ujungnya, setelah membahas kematian kekasih lama Greeta yang Greeta anggap telah berkorban mati demi Greeta, muncullah semacam religiusitas yang pasrah dari hati Gabriel. Semua yang pernah kita miliki dan rasakan di dunia akhirnya akan dilepaspaksakan dengan perasaan yang setulus-tulusnya, begitulah kira-kira gumam hati Gabriel. Memang, kerelaan meninggalkan dunia dan semaraknya begitu berat bagi Gabriel. Namun, keangkuhan macam apa yang mampu mengalahkan kematian.

Saya tidak menyangka novela ini pada akhirnya berujung sangat religius. Saya rasa saya harus mulai membaca lebih banyak karya-karya James Joyce.

Komentar

Postingan Populer