Religiusitas Joyce
Irlandia bagi saya merupakan sebuah dunia baru. Pertama-tama,
karena Irlandia itu sendiri: jaraknya yang jauh serta perbedaan budayanya yang
kontras dengan Indonesia. Kedua, pesta malam Natal. Saya bukanlah seorang yang
lahir di tengah lingkungan pembaca Alkitab. Apa yang saya ketahui tentang Natal
hanya sebatas kerlap-kerlip pohon Natal, salju, hadiah, dan Santa Claus, yang
saya kenal lewat film-film di layar kaca. Selebihnya, saya angkat tangan. Maka
wajar bila saya harus membaca dua kali untuk memahami novela ini.
Karena keasingan itu, saat terdapat hal-hal remeh yang di tempat
tinggal saya dianggap bukan sesuatu yang menyinggung namun di Irlandia membuat
tersinggung, saya bertanya-tanya, di mana letak kesalahannya? Dan lebih lanjut,
bagaimana ramah tamah yang sebenarnya di Irlandia?
Saya akan memberi satu adegan tentang itu. Ketika Gabriel bertukar
kata dengan Lily si asisten keluarga Morkan, Gabriel bertanya, apa Lily tidak
sekolah lagi. Lily menjawab dia tidak sekolah lagi sekarang dan untuk
seterusnya. Berarti kami akan menghadiri pernikahan Lily di waktu dekat, ucap
Gabriel. Ah, para lelaki itu mengincar sesuatu dari saya, timpal Lily yang
membuat Gabriel tersentak tak nyaman. Di mana letak ketidaknyamanan kata-kata
Lily yang membuat Gabriel tersinggung? Bukankah rasa suka kepada sesorang
selalu dilandasi “sesuatu”? Baiklah, mungkin orang akan langsung membalas,
kaumaknai apa kata tulus selama ini? Ah, benar-benar adakah cinta yang tulus?
Saya rasa, tak ada rasa cinta yang benar-benar tulus. Ketulusan pun selalu
dilapisi oleh (setidaknya) satu alasan untuk menyukai dan mencintai. Atau
minimal, saya perlu mendengar pendapat kolega tentang ini.
Saya suka cara Joyce saat menjadikan ceritanya sebagai medium
menyuarakan benturan antara generasi dulu (tradisional) dan kini (modern).
Melalui tokoh Ivors, yang berlagak modernis, Joyce mengolok-olok kaum
tradisional yang cenderung kaku dalam beramahtamah. Namun, saya beranggapan,
bahwa bagaimanapun, ramah tamah merupakan sesuatu yang “kaku”. Dan, yang
membuat saya agak tidak menyukai novel ini adalah ketika Gabriel, yang
bermaksud membalas sikap Ivors, berpidato dengan “mengagungkan” generasi masa
lalu yang harus dikenang dan dipertahankan. Bukannya tidak setuju
mempertahankan tradisi sopan santun generasi masa lalu. Namun, datangnya
modernisasi adalah sesuatu yang tak dapat dicegah. Jika generasi masa lalu
memiliki keramahtamahan versi mereka, maka generasi masa kini juga memilikinya.
Novel ini ditutup dengan sebuah kemelut pribadi masing-masing
sepasang suami istri, Gabriel dan Greeta. Kelindan tentang kenangan masa lalu,
cinta, dan pengorbanan menyesaki kepala Greeta. Sehingga pada malam itu, seusai
pesta, dia menjadi tampak muram. Gabriel tiba-tiba merasakan betapa berbedanya
hubungannya dahulu dengan kini. Namun, di saat Gabriel terus-menerus memikirkan
itu, Gabriel kemudian tahu bahwa Greeta memikirkan seorang kekasih lamanya yang
rela mati berkorban demi dirinya. Ketika membicarakan kenangan,
mengingat-ngingatnya, justru itu terasa sangat menusuk hati pasangan. Gabriel
merasakan itu. Maka ketika dia menanyai istrinya tentang kekasih Greeta lebih
jauh, itu hanya sebatas rasa simpati Gabriel supaya istrinya senang.
Ujungnya, setelah membahas kematian kekasih lama Greeta yang
Greeta anggap telah berkorban mati demi Greeta, muncullah semacam religiusitas
yang pasrah dari hati Gabriel. Semua yang pernah kita miliki dan rasakan di
dunia akhirnya akan dilepaspaksakan dengan perasaan yang setulus-tulusnya,
begitulah kira-kira gumam hati Gabriel. Memang, kerelaan meninggalkan dunia dan
semaraknya begitu berat bagi Gabriel. Namun, keangkuhan macam apa yang mampu
mengalahkan kematian.
Saya tidak menyangka novela ini pada akhirnya berujung sangat religius. Saya rasa saya harus mulai membaca lebih banyak karya-karya James Joyce.
Komentar
Posting Komentar