Pesta Remeh-temeh, Milan Kundera


"Novel-novel saya tidak psikologis," ucap Milan Kundera dengan tegas untuk memberi tahu reporter yang bingung hendak memulai dari mana topik wawancara dengan dirinya kala itu. Wawancara itu termuat dalam kumpulan esai dan wawancaranya berjudul Seni Novel (The Art of Novel). Meskipun secara sekilas hal itu bisa diterima, tapi bagaimana bisa novel yang pastinya melibatkan keadaan jiwa dan suasana hati manusia melalui tokoh-tokohnya tidak dikatakan psikologis? 

Akhirnya Kundera menjelaskan: tidak semua penokohan, penemuan atas identitas tokoh, identifikasi diri tokoh selalu melibatkan hal-hal yang psikologis. Benar! pikir saya baru menyadari hal tersebut. Sontak saya teringat dengan teknik penokohan yang bukan melulu dengan menuliskan secara gamblang bagaimana perasaan tokoh. Namun, penulis juga bisa melibatkan orang lain untuk mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran seorang tokoh. Perilaku tokoh lain akan membuat A bertindak sesuai keinginannya. Mungkin ini yang dimaksud Kundera. 

Reporter kemudian bertanya, apa yang membuat tokoh-tokoh yang Anda ciptakan tidak Anda sertakan dengan motif-motif mereka? Sejatinya, jawabnya, novel tidaklah berfungsi sebagai sesuatu yang menampakkan sesuatu, justru novel adalah sesuatu yang diciptakan untuk mencari sesuatu. Novel merupakan pencarian penulis atas kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Motif hanya akan mematahkan kemungkinan itu. 

Tetapi bukankah setiap tindakan pasti memiliki motif? Bukankah suatu perlakuan selalu mempunyai tujuan? tanya saya. Atau mungkin seperti ini maksud Kundera: iya, setiap tindakan selalu memiliki motif. Namun, novel tidak membicarakan itu. Tokoh dibiarkan, dengan motif-motif mereka yang tidak ditampakkan secara gamblang, berjalan dengan kaki mereka. Seperti di awal tadi, identifikasi diri tokoh hanyalah melalui apa yang tampak dari tokoh itu sendiri, dari apa yang dilakukan para tokoh tersebut. Dengan kata lain, aksi lah yang menjadi kunci utama dalam penokohan di novel-novel Kundera. 

Baru saja saya menyelesaikan novel Pesta Remeh-Temeh (The Festival of Insignificance) karya Milan Kundera. Sesungguhnya tak ada niatan untuk membahas novel ini di sini. Namun, di tengah kebosanan saya di hari Minggu, saya membaca satu sesi wawancara Kundera tersebut, dan menyadari bahwa saya baru saja membaca salah satu novelnya. Jadi mengapa tidak membahas wawancara tersebut sekaligus novel ini? 

Seperti kata Kundera, bahwa novelnya tidaklah psikologis. Lebih banyak menampilkan aksi daripada motif dari aksi tersebut. Namun, itu tidak sepenuhnya dia tepati. Ketika Alain merasakan ketidakbahagiaannya, dia tidak bisa menghindarkan diri dari mengingat masa lalunya sebagai anak yang tidak diharapkan lahir oleh orangtuanya. Begitu pula dengan D'Ardelo yang tidak bisa tidak merasa tidak enak kepada Ramon ketika dia hanya menyapanya karena dia membutuhkan bantuan untuk mengatur pesta koktail ulangtahunnya. Mungkin di momen ini memang sulit untuk menggambarkan keadaan psikologis kecuali dengan masuk ke dalam pikiran tokoh. 

Jujur saja saya tidak menemukan topik utama dalam novel ini. Terlepas dari ketidakmampuan saya dalam memahami novel ini (mungkin saja?) saya beranggapan bahwa saking banyaknya porsi yang Kundera sajikan untuk masing-masing peristiwanya seolah menyamarkan apa yang sebenarnya Kundera tekankan. Dia membicarakan tentang daya tarik sensual wanita. Di saat yang sama, dia membahas anak yang lahir di luar nikah. Dia juga membahas gagalnya Stalin berlelucon di depan anak-anak buahnya. Juga mengenai persahabatan antara Alain, Caliban, Ramon, D'Ardelo, dan Charles. 

Saya rasa ini sesuai judul, isinya hanya berupa peristiwa remeh-temeh. Sekalipun betul bahwa memahami novel ini tidak semudah itu. Namun sebagaimana kata saya tadi, mungkin saja saya tidak menemukan inti dari apa yang Kundera katakan. 

Eka Kurniawan pernah menulis catatan tentang novel ini. Dia beranggapan bahwa sering kali seseorang mulai diremehkan ketika dia sudah mencapai usia uzur. Seorang penulis tak lagi dilihat karya-karyanya ketika dia sudah tua. Akankah sosok Stalin dalam novel ini mewakili keuzuran ini? Tetapi saya tidak tahu pasti berapa usia Stalin. Intinya, ketika dia melawak, tak ada yang tertawa bersamanya. Bukankah ini sama saja dengan penulis uzur, ketika menerbitkan karyanya, tak ada lagi yang menghargai karyanya bersamanya. Dan saya harap ini tidak terjadi pada Kundera. 

Komentar

Postingan Populer