Lebih Susah Nulis Cerpen atau Esai?

Lebih sulit menulis cerita pendek atau menulis esai? Atau yang lebih luas lagi, lebih susah menulis fiksi atau non fiksi? Pertanyaan ini muncul dua kali dalam hidup saya selama ini. Pertama, dua tahun yang lalu, yang merupakan pertanyaan saya untuk orang lain. Kedua, sekarang, pertanyaan orang lain kepada saya. Jawabannya, saya lebih setuju membuat cerpen lah yang lebih sulit dibanding membuat esai. 

Saya akan membandingkan menulis cerpen dan esai dengan berakting dan berpidato. 

Kita tahu berakting merupakan usaha untuk memerankan seseorang yang bukan diri aktor. Artinya, aktor bukan lagi menjadi diri dan kepribadian si aktor sendiri. Aktor berakting seperti orang lain, memerankan orang lain atau aktor harus menjadi orang lain. Intinya aktor itu berpura-pura menjadi orang lain.  

Meskipun secara penampilan para aktor tidak harus mirip dengan karakter asli yang diperankan, setidaknya aktor harus berwatak persis seperti yang ditiru, atau jika tidak berdasarkan karakter nyata, setidaknya harus persis dengan karakter yang diinginkan. Sedikit saja aktor menampakkan watak dan kepribadian aslinya, yang tidak sesuai dengan apa yang harusnya dia perankan, gagal lah aktingnya. Tentu saja kita banyak menjumpainya ini di film-film, yang otomatis membuat film jadi tidak menarik lagi. 

Berbeda dengan berakting, berpidato adalah usaha menyampaikan gagasan sesuai dengan sikap asli. Tukang pidato tidak harus menjadi orang lain untuk bisa berpidato. Tidak seperti orang berakting yang harus menanggalkan seluruh kepribadian, laku, dan watak aslinya. Untuk bisa berpidato tidak perlu pandai berpura-pura, yang oleh aktor sangat dibutuhkan. 

Bukankah berpidato dan berakting sama-sama cara untuk menyampaikan gagasan, pendapat, maupun pemikiran? Tentu saja iya. Bedanya, berpidato menyampaikan dengan kehendak, kemauan, cara, sikap kita sendiri. Sedangkan berakting menyampaikan dengan kehendak, kemauan, dan cara yang diinginkan (cara orang lain), tergantung menjadi siapa dia berperan. 

Pendeknya, selalu saja lebih sulit berpura-pura menjadi orang lain daripada menjadi diri sendiri. 

Apa yang dijumpai dalam berakting dan berpidato juga dijumpai dalam menulis cerpen dan esai. Esai, sama dengan berpidato, yakni menyampaikan gagasan dan pemikiran dengan kehendak, laku, dan kemauan asli si pembicara. Hanya saja pidato dengan cara berbicara langsung di depan pendengar, esai dengan cara menuliskannya. 

Sama halnya cerpen dengan berakting. Menulis cerpen tentu harus menciptakan tokoh-tokoh. Inilah kesamaan antara berakting dengan menulis cerpen. Menciptakan tokoh kurang lebih sama saja dengan memerankan tokoh. Kita tidak bisa menciptakan tokoh yang di dalamnya ada watak-watak asli dari diri kita. Mungkin jika hanya satu tokoh saja, hal tersebut bisa. Namun, jika yang kita ciptakan dua tokoh? Bukankah kita harus berperan sebagai dua orang yang berbeda? Bayangkan dua tokoh memiliki watak dan karakter yang sama, bagaimana cara kita menciptakan konflik? Ketika kita gagal menciptakan tokoh yang tanpa ada watak dan karakter dari diri kita, bisa dikatakan cerita itu gagal. Sama dengan ketika gagal memerankan karakter tertentu dalam berakting. 

Itu masih perkara teknis, belum menyentuh faktor isi dan bahasan dalam cerpen dan esai. Mari kita andaikan, suatu saat kita tergugah untuk menyampaikan gagasan berupa korupsi itu haram, melanggar peraturan, dan menyengsarakan orang lain. Ketika memilih menyampaikannya dengan esai, kita tulis saja secara blak-blakan tentang di mana letak keharaman korupsi, berikan alasan-alasannya, dan perkuat alasan itu.

Di saat yang lain kita ingin menyampaikannya dengan cara menulis cerpen. Maka kita tidak bisa menyampaikannya dengan cara yang blak-blakan, dengan cara seperti kita memberi tahu orang lain secara langsung. Tapi kita harus terlebih dahulu menciptakan momen, merekontruksi adegan, mereka-reka peristiwa yang cocok untuk menggambarkan tindak korupsi, yang di saat itu kita bisa menyelipkan gagasan tentang keharaman korupsi. 

Itu bukan seperti memberi tahu teman, "Korupsi itu haram!" Tidak seperti menentang lawan bicara, "Tidak bisa. Korupsi pasti haram." Tidak. Kita harus menentukan lebih dulu, tempat seperti apa yang pantas untuk mereka adegan ini, suasana seperti apa yang tepat untuk melangsungkan adegan tindak korupsi serta tokoh seperti siapa yang memungkinkan atau pantas memerankannya. 

Dengan isi, bahasan, dan gagasan yang sama, yang disampaikan antara menggunakan medium esai dan cerpen berbeda kerumitan dan kesulitannya. Tak heran, beberapa orang berpendapat bahwa penulis cerita itu laksana Tuhan. Mungkin ini sedikit berlebihan. Tapi kita juga tahu bahwa penulis cerita harus menciptakan dunia tersendiri, memberi "nyawa" pada tokoh-tokoh mereka, menciptakan suasana, sekaligus membangun tempat di mana mereka bisa hidup. 

Terakhir mungkin perlu saya tegaskan, bahwa hal ini masih bisa diperdebatkan. Saya tidak mengatakan menulis esai itu pasti mudah. Sebagaimana juga tidak menganggap menulis cerpen pasti susah. Kita juga bisa menganggap kesulitan menulis esai dan cerpen tergantung seberapa serius topik esai dan cerpen yang akan kita tulis dan utarakan. Jika membandingkan menulis esai yang biasa-biasa saja dengan menulis cerpen yang bagus, tentu lebih sulit menulis cerpen. Ini juga berlaku untuk sebaliknya. 

Komentar

  1. Untuk beberapa orang menulis cerpen atau cerita fiksi dipandang lebih mudah karena tidak sesuai dengan realita. Sedangkan essai dituntut untuk benar benar memahami pengetahuan ilmiah yang kita tulis dan tidak jarang hal tersebut dilandaskan berdasarkan data aktif

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seperti yang saya tulis di akhir, ini masih bisa diperdebatkan. Mungkin kamu lebih sulit menulis esai, tapi saya tetap lebih sulit menulis cerita.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer