The Stranger, Albert Camus
Tulisan ini pernah tayang di KABAR IMASIND dengan judul “Gaung Lantang Absurdisme Camus Lewat The Stranger”
Saya
sangat sadar ketika memutuskan memilih diksi “gaung lantang” untuk judul
tulisan pendek ini. Karena saya merasa ketika saya membaca novel Camus yang
berjudul The Stranger dan menyelesaikannya, absurdisme yang Camus
teriakkan melalui novel ini sungguh menggaung lantang. Seolah saya berada di
lorong yang panjang dan di lorong itu, suara Camus tiada henti menggema di
telinga, memenuhi kepala, dan terus-menerus memaksa saya memikirkannya.
Mengutip
dawuh Eka Kurniawan, “Saya tidak mengharapkan buku yang bagus, tetapi saya
berharap saya menemukan buku-buku yang ‘mengganggu’ pikiran saya.” Kira-kira
begitulah kesan saya atas novel ini setelah membacanya: sungguh mengganggu
pikiran.
Novel
ini dibuka dengan kematian ibu si tokoh utama, Mersault. Dia pun mengambil cuti
dari pekerjaannya dan pergi ke panti jompo, tempat ibunya tinggal, untuk
mengikuti prosesi pemakaman ibunya di sana. Di tengah kesedihannya, dia bertemu
dengan Marie, teman lamanya. Beberapa kali bertemu mereka pun menjalin hubungan
kekasih.
Masalah
timbul setelah Mersault berkenalan dan berkawan baik dengan tetangganya di
flat, Raymond. Dia terpaksa harus terlibat langsung dalam perseteruan Raymond
dengan lelaki Arab yang merupakan saudara sepupu kekasih Raymond. Hingga pada
satu liburan di pantai, Mersault bertemu dengan lelaki Arab tersebut lalu
membunuhnya dengan lima kali tembakan.
Karena
itu, dia harus menjalani tahanan dan menjalani persidangan yang membosankan.
Berbulan-bulan di sel tahanan sambil menjalani persidangan, akhirnya hakim
memutuskan status hukuman bagi Mersault. Namun, sial baginya, putusan itu
berbunyi dia harus dihukum gantung atas kasus pembunuhan tersebut.
Jujur
saja saya tidak terlalu tertarik, juga tak terlalu menikmati bangunan kisah
yang Camus ciptakan. Sebab saya rasa kejadian seperti meninggalnya seorang ibu,
memiliki kekasih, kasus pembunuhan, ataupun hukuman gantung telah banyak
ditulis oleh penulis lain selain Camus. Bahkan, saya menemukan beberapa kisah
yang lebih atraktif dibanding kisah di novel ini.
Jika
begitu, lalu apa yang membuat novel ini begitu memikat, sampai-sampai saya
menganggap teriakan Camus tentang absurditas terus menggaung di kepala saya?
Yakni kelihaian Camus dalam menghidupkan tokoh Mersault. Berkali-kali saya
dibuat jengkel oleh sikap Mersault. Bayangkan, di saat ibunya mati, Mersault
tak sedikit pun menitikkan air mata. Ya, saya paham bahwa tidak semua orang mau
menampakkan kesedihannya. Akan tetapi, setidaknya dia mesti menangis. Mersault
menganggap kematian ibunya hanya sebagai peristiwa biasa dan herannya, dia
bersikap seolah tak ada sesuatu yang betul-betul penting dari kematian itu.
Di
novel Camus yang lain, Mati Bahagia, Camus juga menyertakan adegan
pembunuhan penembakan. Ketertarikan Camus akan pembunuhan ini tak lepas dari pandangan
hidup yang dianutnya, absurdisme, bahwa jika merasa tak ada hal lagi yang
berarti di kehidupan ini, kematianlah jawabannya. Saya jadi membayangkan, di
kehidupan nyata, sebab perseteruan mereka berdua, mungkin Camus akan menembak Sartre
jika ada kesempatan.
Di
novel-novel Camus (terutama The Stranger dan Mati Bahagia),
pembunuhan seolah bukan kejahatan. Pembunuhan dianggap seolah tindakan yang pantas
dan layak dilakukan siapa pun, tanpa memandang bermoral dan tidaknya. Gagasan
ini sungguh meresahkan pikiran saya.
Mengenai
absurdisme, Albert Camus dikenal sebagai salah seorang tokoh filsafat yang
lantang dalam mengampanyekan paham absurditas. Bahkan, dia disebut-sebut
sebagai Bapak Absurdisme. Melalui novel ini pun, Camus menggaungkan absurdime bahwa
hidup manusia di dunia ini dipenuhi dengan hal-hal yang absurd. Absurditas
hidup inilah yang menjadi alasan Camus atas argumennya bahwa tak ada makna
penting yang terkandung dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, manusia hendaknya
menjalani kehidupan ini dengan apa adanya saja.
Ketiadaan
makna dalam kehidupan sangat nampak dalam novel ini. Berkali-kali Mersault
bersikap acuh tak acuh terhadap sesuatu yang terjadi pada dirinya, seperti
sewaktu ibunya meninggal dan persidangannya. Di kedua masalah itu tak sedikit pun
Mersault merasa risau. Lagi-lagi karena anggapan tiadanya makna dari kedua
masalah tersebut, Mersault merasa berhak untuk menjalaninya hanya dengan apa
adanya, tidak senang, juga tidak sedih.
Ketika
menemukan dunia-dunia baru, tokoh-tokoh, ataupun gagasan-gagasan baru–yang
sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh kita–dari novel-novel atau bacaan
semacam ini, ada dua hal yang otomatis dilakukan oleh pikiran kita, yakni antara
bersepakat atau bersitentang. Hal semacam inilah yang melatih pikiran kita,
seberapa toleran kita dalam menghadapi sesuatu yang berbeda, atau seberapa
besar usaha kita dalam memahami perbedaan.
Lantas bagaimana sikap saya terhadap novel ini? Saya rasa tak ada salahnya saya setuju dengan absurditas Camus, yang memang saya menyadari bahwa beberapa hal di dunia ini tak bermakna sama sekali, alias sia-sia. Akan tetapi, saya juga harus ingat bahwa kebahagiaan yang ada terkadang datang dari kehidupan ini sendiri.
Komentar
Posting Komentar