Sisi Gelap Kota Paris, Charles Baudelaire

Charles Baudelaire dikenal luas sebagai seorang penyair ulung. Walaupun, memang, di beberapa biografi disebutkan bahwa dia juga menulis beberapa cerita. Yang akan saya bahas berikut berjudul "Sisi Gelap Kota Paris", dengan sebuah keterangan di bawahnya yang berbunyi, "Tiga Puisi dalam Satu Prosa." 

Saya kurang paham dengan maksud dari "Tiga Puisi dalam Satu Prosa." Barangkali ini semacam kumpulan tiga puisi naratif, dan karena kenaratifannya tersebut dianggaplah karya ini sebagai sebuah prosa. 

Ketika membacanya, betul, "Sisi Gelap Kota Paris" terdiri atas tiga puisi (sekaligus kisah). Pertama berjudul "Badut Tua". Ya, setiap kisah mempunyai judul masing-masing. Kisah pertama ini bercerita tentang sebuah perayaan. Sesuai judulnya, badut-badut memenuhi perayaan itu sebagai sebuah hiburan. 

Saya tidak tahu pasti apakah yang disebut perayaan itu semacam pesta atau bukan. Namun, melihat keadaan yang diceritakan Baudelaire, saya rasa lebih mengarah ke sebuah sirkus. Bedanya, jika orang-orang sirkus bekerja bersama, bergotong royong, di cerita ini semua badut kerja sendiri-sendiri. Dalam hal ini mirip sekali dengan pasarmalam. 

Kerja sendiri-sendiri ini membuat sebuah perbedaan mencolok antara semua badut. Lebih tepatnya sebuah fenomena ketimpangan. Sebab terdapat beberapa badut yang terlihat begitu meriah, ceria, dan berkecukupan (secara penampilan). Tetapi terdapat pula satu badut (seorang tua) yang nampak begitu miskin, kelelahan, tak menghibur sama sekali. 

Keadaan badut-badut itu, tanpa saya sadari, membuat saya berpikir ulang mengenai ketimpangan yang ada di dunia nyata, yang lantas membikin saya bertanya-tanya, mengapa harus ada ketimpangan? mengapa harus ada yang miskin dan kaya? Mengapa semua orang saling berbagi saja? Bukankah kekayaan di bumi ini akan cukup bila sekalipun dibagi-bagi ke semua orang? Mengapa masih ada yang kelaparan? Ya, tapi mau bagaimana lagi. Beberapa orang tak menghendaki saling berbagi.

Baudelaire memang cermat melihat peristiwa sekecil itu untuk dia gunakan sebagai bahan olok-olok terhadap kehidupan manusia itu sendiri. 

Begitupun dengan kisah yang kedua, berjudul "Mainan si Bocah". Lagi-lagi ketimpangan menjadi tema menarik bagi Baudelaire. Ada dua orang bocah yang sangat berlainan. Yang satu dapat bermain dengan mainan-mainan mahal yang hebat. Yang lain hanya bisa bermain dengan mainan buatan sendiri yang jelek. 

Syukurnya, ketimpangan di kisah kedua ini dapat bersatu (melebur) oleh toleransi mereka, kebersamaan yang mereka ciptakan sendiri. Seolah sekat ketimpangan yang menciptakan perbedaan di antara mereka hanyalah ilusi. 

Cerita terakhir, dari yang saya tangkap, menyangkut perihal dampak pergaulan bebas di Prancis. Seperti kebanyakan anak muda di zaman modern, mereka terpapar obat-obatan, minuman keras. Dan depresi yang menghantui mereka, selalu mendorong mereka agar gantung diri. Dibuatlah keputusan oleh sang bocah ini, dia harus gantung diri. 

Cerita ini berjudul "Jubah". Setelah kematian bocah itu, jubahnya menjadi sangat berharga bagi beberapa orang. Mereka menyebutnya dengan 'jubah suci'. Saya jadi bingung, lebih tepatnya heran, apa di Eropa masyarakatnya juga mengenal kepercayaan mistis kepada hal-hal yang bersifat bendawi seperti yang saya jumpai di tempat tinggal saya? Bisa jadi. 

Yang Baudelaire sampaikan melalui judul kemudian ceritanya adalah setiap kota pasti memiliki sisi gelap. Yang sering kita lihat dari Paris sebagian besar adalah gemerlap dunia fashion, terutama di abad dua puluh satu ini. Juga kemewahan dan gaya hidup glamour. Setidaknya dengan cerita ini Baudelaire berusaha membuka mata kita, untuk menunjukkan bahwa ada bagian-bagian di Paris yang tak ditqerangi cahaya lentera modernisasi.

Komentar

Postingan Populer