Pulangnya si Anak Hilang, André Gide

Anak boros itu akhirnya kembali ke rumahnya setelah bertahun-tahun pergi tanpa terlebih dahulu pamit bahkan ke salah satu keluarganya. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. 

Di rumah, ayah anak itu tidak memarahinya sebab kepergiannya yang tanpa pamit dahulu. Tetapi ayahnya menyambutnya bak pahlawan. Menjamunya dengan pakaian bagus dan makanan enak. Akhirnya dia bercakap panjang dengan ayahnya tentang alasan kaburnya dia, keadaan dia selama di pelarian, dan alasan dia pulang. 

Dengan kakaknya, dia juga membahas mengenai hal yang sama dengan yang ia bahas bersama ayahnya. Begitu juga ketika bercakap-cakap dengan ibunya. 

Dengan adiknya? Anak boros sadar bahwa dia kabur ketika dia seusia adiknya saat ini. Dan melalui percakapan itu, dia tahu bahwa adiknya mengalami hal serupa dengan dia dahulu. Yakni mencoba mencari jati diri. Menggalang kebebasan. 

Bagaimanapun, seperti yang banyak kita jumpai, bahkan saya sendiri sebagai anak muda, pencarian jati diri merupakan fase wajib. Dan bisa saya bilang fase terpenting. Selain sebagai tahap pendewasaan, jati diri juga menjadi penentu arah kemana kita akan berkembang. Dan saya (menurut pengalaman saya) sangat memerlukannya ketika saya hendak menentukan jurusan di universitas. 

Di cerita, si anak boros itu menjelaskan kepada adiknya mengapa dia memutuskan untuk pergi dari rumah. Saya rasa di waktu inilah cerpen ini begitu mengasyikkan. Tentu saja, apa-apa yang dia ceritakan, dia tidak mampu memanipulasinya. Pada saat ini, saya rasa si anak boros sadar, dia tidak bisa tidak jujur tentang kenikmatan perjalanannya, tetapi dia juga harus bisa mencegah adiknya tidak mengikuti jejaknya. 

Akhirnya dia seolah menyerah, dan membiarkan adiknya pergi sebagaimana dirinya dulu. 

Ya, itu cerita pendek karya André Gide berjudul "Pulangnya si Anak Hilang". Cerpen ini ada di antologi berjudul The Guest bersama sembilan cerpen lainnya, yang kesemuanya adalah karya penulis Prancis. 

Membaca cerpen ini mengingatkan saya kepada budaya merantau di kalangan masyarakat Indonesia. Di beberapa kelompok suku, merantau bisa dikatakan sebagai keharusan. Di Madura, misalnya. Di Jawa, saya rasa merantau bukan budaya. Hanya segelintir masyarakat Jawa saja yang memilih merantau. 

Linda Christanty pernah menulis tentang ini di salah satu esainya di kumpulan esai "Seekor Burung Kecil Biru di Naha". Jika ingatan saya masih kuat kira-kira Linda membandingkan orangtua-orangtua di Indonesia dengan Amerika yang mempunyai sikap yang berbeda terhadap anak-anak mereka yang berusia dua puluh tahun ke atas. 

Di Amerika, para orangtua cenderung akan membebaskan, bahkan mendorong anak-anak mereka yang telah dewasa untuk tinggal secara mandiri. Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebiasaan orangtua di Indonesia yang lebih nyaman jika semua anggota keluarganya tinggal berdekatan bahkan serumah saja. 

Cerita ini, meski dikarang seorang Prancis, saya rasa mengikuti apa yang orang Amerika lakukan. Atau setidaknya, meskipun kepergian si anak boros bukan inisiatif orangtuanya, tetap saja substansi kepergian si anak adalah karena kemandirian dan kematangan jati diri yang hendak dicari. 

Saya juga membayangkan, suatu saat, saya akan seperti pemuda-pemuda Amerika, pergi dari rumah orangtua, dan melakukan perjalanan sejauh saya bisa. Agar saya tahu bahwa ada dunia lain di selain dunia yang telah saya lalui. 

Komentar

Postingan Populer