Lima Puluh Hari Terakhir

Lima puluh hari terakhir, saya anggap sebagai lima puluh hari paling bahagia sekaligus paling menyedihkan. Tidak dalam hidup saya selama ini, tapi barangkali untuk sepuluh tahun terakhir. Mungkin agak lebay. Tapi, inilah yang benar-benar saya alami. 

Pada awalnya, saya merasa seolah mendapati ujung dari penantian yang panjang. Selama saya menantikannya (sengaja tidak saya sebut siapa yang saya nantikan), saya merasakan sesuatu, sesuatu yang orang-orang bilang begitu nikmat. Apalagi ketika yang ditunggu-tunggu sudah tiba.

Saya sedikit setuju dengan kata orang-orang itu. Menantikan seseorang, terlebih yang paling kita sayangi, adalah serupa menunda memakan makanan terenak. Kita bisa mencium aroma makanan itu, dan kita juga tahu bagaimana kesan orang lain yang telah merasakannya. Lalu pada saat seseorang itu sungguh-sungguh datang, saat itulah perasaan kita ada di puncak kegembiraan tertinggi. Serius, saya merasakannya. 

Setelah itu, saya menjalani hari-hari paling menyenangkan itu. Saya begitu menikmati, begitu juga dengan dia (saya yakin akan itu). Kami seolah melupakan semua hal di sekitar kami. Dan pada tahap tertentu, saya tidak sadar (lebih tepatnya, merasa heran), mengapa justru masalah itu muncul dari diri saya. 

Saya juga bingung, di saat semuanya berjalan begitu baik, tidak ada sesuatupun yang patut dipersoalkan, bahkan ini sampai pada tingkat kebahagiaan yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya (karena asal kamu tahu, saya begitu skeptis terhadap apapun), juga didorong oleh kekhawatiran yang parah, saya jadi ragu dengan kebahagiaan ini. 

Berawal dari keraguan inilah, muncul dalam hati saya pikiran-pikiran buruk tentang hubungan kami. "Jangan-jangan semua ini bohong." "Apakah saya benar menyukai dia?" Atau, "Apakah dia benar-benar menyukai saya?" 

Pikiran-pikiran ini telah menghantui saya, bukan hanya setiap malam, namun hampir setiap waktu. Pikiran-pikiran ini telah membayangi otak saya, sampai tak ada secercah kecerahan sekalipun yang mampu membawa prasangka baik. Skeptis, telah meracuni pikiran saya bahkan dalam segala hal. Tak terkecuali dalam hubungan ini.

Izinkan saya untuk mengumpat sewajarnya. Brengsek dengan pikiran saya sendiri.

Maka–saya tidak tahu apakah ini memang kerelaan saya, atau hanya sekadar sensasi sekejap dalam hati saya, atau memang perasaan saya yang sebenarnya–saya mengakhiri hubungan ini. Ya, hubungan yang terjalin oleh dan karena penantian panjang saya ini. 

Ada dua perasaan dalam hati saya setelah saya mengutarakan yang sebenarnya. 1) Sedih, iya, lagi-lagi saya harus merasakan kesendirian itu kembali. Kesendirian yang pada masa-masa sebelumnya begitu saya takuti. 

Yang lain? Iya, betul, 2) kebebasan. Saya betul-betul jauh dari ikatan-ikatan yang mencengkram diri saya selama ini. Saya jadi tidak memiliki tanggungan untuk menyapanya, membuat dia bahagia, atau sekadar memberi perhatian kepadanya. 

Dan sampai saat ini, tak ada pikiran, apalagi keinginan, untuk mengulangi hubungan-hubungan semacam itu. Mungkin, saya akan memilih untuk sendiri dalam jangka waktu yang terbilang lama. Memilih sandiri untuk mengurusi pikiran ini, tubuh saya sendiri, dan yang terpenting, apa yang harus saya lakukan untuk beberapa tahun ke depan perihal pendidikan saya. 


Komentar

Postingan Populer