Serunya Duduk Sendiri

Ketika masih kecil dulu, saya memiliki banyak sekali teman. Mereka menjadi tumpukan batu-bata yang menyusun rumah kebahagiaan masa kecil saya. Mewarnainya dengan penuh semarak. Memenuhinya dengan kenangan yang akan terus diingat. Hingga sampai pada suatu saat, saya benar-benar merasa sendirian.

Kesendirian saya bukan karena apapun. Satu sisi kesendirian ini adalah pilihan saya sendiri. Namun, di sisi lain, kesendirian ini datang secara alami, tidak dengan tiba-tiba, tapi dengan pelan-pelan. 

Bisa dibilang masa ini adalah masa dimana saya mulai merasakan kesendirian yang menakutkan. Kesendirian itu datang ketika saya mulai pergi dari rumah saya. Merantau ke kota orang. 

Saya bukan orang periang, yang sangat mudah kenal dengan orang lain dan gampang beradaptasi dengan lingkungan baru. Saya bukan tipe orang seperti itu. Saya lebih cocok disebut sebagai perwakilan dari orang-orang pendiam. Hingga pada taraf tertentu, saya sendiri merasa, diam saya ini sangat akut dan mengkhawatirkan. 

Pelan dan pasti teman-teman saya satu-persatu pergi. Saya kerapkali bertanya, apa benar mereka yang pergi. Dan setelah kembali menimbang apa yang terjadi, saya mulai menyadari sebenarnya bukan mereka yang pergi, sayalah yang menjauh dari mereka. 

Barangkali saat usia kita menginjak semakin dewasa, persahabatan akan dipisahkan oleh sebuah kekhawatiran. Rasa khawatir dan cemas yang mendorong kita memikirkan sebuah pertanyaan: masa depan seperti apa yang kita inginkan? 

Pada kurun waktu ini, kita akan berpikir berulang-ulang tentang sesuatu yang akan kita raih di masa depan. Sesuatu yang beberapa saat kita sangat mendambakannya dan di kala lain, kita sangat khawatir gagal dalam meraihnya. 

Pada saat yang sama, saya mulai berkenalan dengan toko buku. Membelanjakan uang jajan saya untuk buku-buku yang bahkan entah karena apa saya membelinya. Jangankan untuk memikirkan suatu hal yang bermanfaat yang bisa saya dapat dari buku itu, saya juga masih ragu apakah saya bisa menamatkan buku-buku yang saya beli. Tapi saya mulai banyak membaca dan pergi dari lingkaran pertemanan saya. 

Beberapa saat kemudian, saya mulai merasakan kenikmatan menyendiri. Saya mulai merasa saya berjodoh dengan buku-buku yang saya baca. Psikologi sangat menarik perhatian saya. Tapi saya belum membaca sekalipun buku-buku sosiologi. Sebagaimana saya juga belum membaca buku filsafat. Saya hanya banyak membaca cerita, pendek maupun novel. Namun, saya tidak suka puisi. 

Yang menjadikan saya menjadi tambah menyendiri adalah sebuah kepuasan, yang tidak saya peroleh ketika saya berkumpul dengan orang-orang. Saya menjadi semakin dekat dengan buku. Dan sebagai generasi awal abad-21, saya juga bertemu gawai. 

Keadaan terasing (atau mengasingkan diri) ini, menjadi semakin akut lagi sejak saya berjumpa Franz Kafka. Saya ingat betul, kumpulan cerita terbaik Kafka yang pertama kali saya baca. Saya menemukan Gregor Samsa. Saya menemukan tokoh-tokoh yang jauh dari masyarakatnya. Saya juga ingat, di kemudiannya, alasan saya membaca Kafka adalah karena Kafka juga tak pandai merawat hubungan. 

Pada masa ini, jangan tanyakan berapa orang teman yang betul-betul dekat dengan saya. Saya sangat selektif pada waktu itu. Orang-orang yang tidak sama sekali mendukung dan tidak membuat saya berkembang, saya jauhi. Saya berteman secukupnya. Pikiran saya selalu menuntun, "jangan sampai kau terpengaruh oleh dia."

Tak cukup sampai di sini. Suatu ketika Jean-Paul Sartre, ya orang Prancis yang sok eksistensialis itu, berkata kepada saya, "orang lain adalah neraka, kau tak butuh mereka untuk membuatmu merasa dihargai." Saya tidak tahu pasti mengapa saya mengangguk di depan Sartre. Perkataannya merupakan seolah jawaban dari kegelisahan saya selama ini tentang diri sendiri. 

Sartre telah membunuh sisi sosial saya (semoga tak benar-benar mati). Tak berselang lama, Pram bertamu ke rumah saya. Dia mengajarkan bagaimana caranya menjadi seorang yang individualis yang merdeka. "Jika kau masih mampu, jangan kau minta apapun ke orang lain," kata Pram. 

Saya langsung berkata iya. Dan betul saja, saya hanya meminta tolong orang ketika saya memang betul-betul tak mampu. Selama saya masih mampu, sesulit apapun itu, saya tidak akan minta tolong. Itu yang Pram ajarkan kepada saya. Tapi saya masih ragu apakah saya serius menerapkannya. 

Di samping didorong oleh rasa "ingin sendiri" yang timbul alami dari diri saya, gawai juga telah mendukung sikap saya ini. Semua yang saya ingin tahu, ada di gawai. Sekolah hanya menjadi semacam tempat untuk membentuk pola pikir (meski nyatanya tidak sesukses yang saya kira). 

Saya masih tidak tahu apakah individualisme saya ini akan berubah atau tidak. Dalam pikiran saya, untuk sementara waktu ini, tak ada keinginan untuk menjadi seseorang yang royal. Juga tak ada keinginan untuk menjadi semakin individualis. Saya hanya akan melihat apa yang akan waktu perbuat dengan hidup saya. 

Komentar

Postingan Populer