Insiden di Kuil, Ben Okri

Hal yang paling menyusahkan ketika membaca karya sastra dari negara yang masih asing dari pengetahuan kita adalah kita tidak begitu tahu (atau tak tahu sama sekali) budaya mereka, tidak tahu bagaimana keadaan sosial mereka, sejarah, politik, bahkan agama mereka. Barangkali di saat kita disodorkan dan harus memilih di antara dua novel bagus, yang satu dari Indonesia (negara kita sendiri) dan yang lain dari negeri asing, kemungkinan besar kita akan mengambil novel dari negara kita sendiri. 

Alasannya mudah saja. Pertama: secara bahasa kita sudah paham betul logika bahasa negara kita. Kita mempergunakan bahasa kita setiap saat. Bila begitu, bagaimana dengan karya terjemahan? Bukankah secara logika linguistik kita sudah bisa memahami? Itu betul, tapi, catatannya, kita perlu menengok alasan kedua: kita sangat akrab dengan sosial-budaya, agama, sejarah, dan fenomena politik negara kita. Maka kala kita membaca karya sastra asing, itu akan berasa seperti berkunjung ke negara yang belum sama sekali kita datangi sebelumnya. Negara yang kita tidak tahu apakah kebiasaan menunjukkan jalan dengan mengacungkan jempol tangan kanan merupakan kesopanan atau tidak. Yang ketiga mungkin didorong rasa nasionalisme. Meskipun barangkali faktor ini sangat kecil pengaruhnya. 

Apa yang saya alami tidak jauh berbeda dengan itu. Sejauh pengalaman membaca saya, baik novel, esai, cerpen maupun buku nonfiksi, asing dan dalam negeri, saya menganggap karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia lah yang paling berkesan terhadap perasaan dan gairah saya. Mungkin saya begitu suka Franz Kafka, gemar membaca Ryunosuke Akutagawa, dan sangat bersimpati terhadap George Orwell. Namun, itu belum bisa mengalahkan kekaguman saya kepada Pramoedya Ananta Toer dan Eka Kurniawan. Betapa gemetar tubuh saya ketika membaca Metamorfosa Samsa, begitu juga dengan "Hidung", dan tak habis-habis kagum saya terhadap Animal Farm, tapi sekali lagi, itu tak bisa menenggelamkan ketakjuban saya ketika membaca Bukan Pasarmalam dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Saya baru saja membaca cerpen-cerpen Ben Okri, penulis Nigeria, sebuah negara di Afrika Barat. Seperti yang saya tulis di atas, saya sedikit kesulitan memahami seperti apa maksud cerpen-cerpen ini. Meraba-raba kode-kode inti dan sesekali berhenti membaca untuk mencari tahu di internet sekilas tentang kondisi perpolitikan di Nigeria yang sebenarnya, budaya mereka, agama yang dominan dan yang terpenting apa tujuan Okri menulis cerita-ceritanya. 

Tentu dengan tanpa tahu seluk-beluk Nigeria kita bisa saja melihat cerita hanya sebatas sebagai karya yang terpisah dari lingkungannya, tercerabut dari penulisnya atau apapun yang berada di luar karya tersebut. Para akademisi sastra umum menyebutnya dengan kajian objektif atau strukturalisme. Kredo yang biasa orang-orang strukturalis sebut dengan "Tuhan telah mati" sedikit menghantui pikiran saya. Bahwa pengarang, tak menyertakan apa-apa tentang dirinya ke dalam karyanya, dia sudah mati. 

Namun, saya lebih sutuju jika cerita (novel atau cerpen) merupakan hal yang bersifat mimetis atau ekspresif, bahkan keduanya sekaligus. Karya sastra adalah sebuah produk yang di dalamnya, hadir ruh dari pengarangnya. Karya sastra juga seharusnya mimetis. Karya yang merupakan sebuah replika dari kehidupan nyata, sebuah miniatur fiktif dari kehidupan dunia fakta. Kadar keberadaan unsur psikologis pengarang bisa dibilang dominan. Begitu pula dengan unsur sosiologis pengarang boleh jadi sangat tampak pada karya-karya mereka. 

Dikatakan ekspresif bukan berarti karya sastra adalah biografi telanjang yang memuat segala curahan hati dan sisi kehidupan pengarangnya. Sastra disebut ekpresif karena sastra adalah karya yang lahir dari rahim pemikiran pengarangnya. Seorang penulis terkadang menulis mengenai tanggapannya atas suatu fenomena di kehidupan nyata. Pram menulis Tetralogi Buru karena dia memandang Indonesia belum sukses menjadi Indonesia yang sesungguhnya. Orwell menulis Burmess Days sebab dia muak terhadap kolonialisme Inggris atas India. Dan bukankah Max Havelaar ditulis atas dasar kebencian Multatuli terhadap kolonialisme Belanda atas Indonesia? 

Sifat mimetis karya sastra terutama disebabkan oleh tatanan dan nilai-nilai di kehidupan nyata yang juga dipatuhi dalam novel dan cerpen. Apa yang membuat orang disebut buruk di dunia nyata juga berlaku sama di dunia fiksi novel. Musik-musik macam karya komponis Mozart, juga diagungkan di dalam sastra. Dan tentu saja sesuatu yang dianggap maksiat oleh agama juga maksiat di dalam novel. Raja yang yang menjadi pemimpin, dihormati di dunia nyata tak serta-merta menjadi seorang yang ditindas di dunia sastra. Sastra sangat lekat dengan kehidupan nyata. 

Terlepas dari masalah apakah karya sastra bersifat mimetis, ekspresif, objektif ataupun paradigmatis (saya agak geli ketika harus menyebut kata yang terlampau ilmiah ini), saya tetap harus menulis sesuatu tentang cerpen-cerpen Okri di sini. 

Cerita pertama berjudul "Tawa Di Kolong Jembatan". Berlatar di Perang Biafra, perang saudara di Nigeria yang berlangsung antara tahun 1967-1970. Cerita ini lebih-lebih terbentuk dari kontruksi tokoh Aku yang sangat kehilangan Monica, sahabatnya yang tak lagi memiliki keluarga. Namun, di luar hubungan persahabatan mereka yang harus kandas oleh maut, terselip di beberapa sisi cerita ini bagaimana kemiskinan melanda Nigeria selama perang berkecamuk, tak ada penghidupan yang layak, dan yang membuat saya tertarik adalah, setiap suku tertentu harus pandai berbicara menggunakan bahasa sukunya sendiri agar tidak dianggap sebagai musuh. 

Kemudian "Kota yang Menjalin". Berkisah tentang seorang penjual barang selundupan dari luar daerah yang tak kunjung mencapai sukses. Hari itu dia berseteru dengan gelandangan yang mengobrak-abrik tokonya, dan ketika mengejar gelandangan itu, dia harus berhadapan dengan seorang mantan pegulat pendek yang keras kepala. Dia kalah. Besoknya dia kembali menelan kekalahan setelah barang-barang selundupannya dirampas pihak pelabuhan. Penggambaran kemiskinan yang begitu nyata dan jelas ini tak pernah saya jumpai di daerah di Indonesia yang paling miskin sekalipun. 

Cerita ketiga "Ketimpangan". Menggambarkan bagaimana Nigeria memiliki pekerjaan rumah dalam pemerataan ekonomi. Cerita ini mengambil sudut pandang melalui seorang sopir taksi yang membawa kabur koper penumpangnya yang berisi empat juta pound, lalu kehilangan koper itu dan menggelandang. Gelandangan yang hanya bisa melihat-lihat orang-orang kaya berjalan di taman dengan anjing-anjing imut mereka. 

"Insiden di Kuil" mungkin cerita yang sangat terasa realisme magisnya. Seorang pegawai museum dipecat karena terlambat masuk kerja dan dia mesti pulang ke kampung halamannya. Di kampung halaman dia justru mengalami pengalaman mengejutkan. Tubuhnya dibersihkan dari seluruh kotoran berupa beling, paku, jarum. Seperti budaya sihir di negara kita. 

Cerita "Kedok" bercerita mengenai lelaki yang gagal dalam pekerjaannya dan memutuskan mencari pelacuran. "Sepenggal Sejarah Tersembunyi" mendeskripsikan sebuah komplek perumahan di sebuah jalan, tempat para imigran tinggal. Setelah tempat itu tak mendukung untuk penghidupan mereka, jalan itu menjadi semacam tempat pembuangan sampah, kampung yang ditinggal seluruh penghuninya. Penggambaran Okri hampir membuat saya muntah. Yang terakhir berjudul "Doa Laknat". Mengisahkan seorang lelaki yang menyembunyikan wanita agar dia mendapat anak (dia tak kunjung mendapat anak dari istrinya). Tapi dia berakhir miskin karena semua hartanya dibawa kabur sang istri. 

Saya tak mau repot-repot memikirkan mimetis, ekspresif, dan objektif. Saya harus menulis ini. Tapi mungkin saya akan menulis tentang kumpulan cerpen Insiden Di Kuil ini lagi nanti. Meskipun bukan arus utama, saya bisa belajar dari sastrawan Nigeria ini mengenai bagaimana cara mendeskripsikan tempat secara akurat. 

Komentar

Postingan Populer