Ego, Psikoanalisis Freud

Seorang bayi tak mungkin serta-merta langsung tahu bahwa ketika dia haus dia harus meminum air, bahkan mungkin untuk memahami pengertian haus dan minum itu sendiri bayi masih sangat jauh. Tidak mengherankan, jika seorang bayi, yang bahkan untuk menggerakkan tangannya secara sengaja saja masih sangat kesulitan dalam mengontrol otak, bisa langsung paham terhadap apa yang harus dia lakukan ketika dia tengah kehausan. 

Keadaan alamiah, yaitu berupa keinginan bayi untuk menghilangkan dahaga di tenggorokan harus diiringi dengan pengetahuan akan apa yang mesti bayi lakukan. Sementara di rentang usia yang masih begitu dini tersebut, bayi masih tak tahu apa-apa, bahkan terhadap dirinya sendiri.

Jika keinginan untuk menghilangkan dahaga adalah suatu refleks spontanitas yang tidak memandang hal apa yang harus dilakukan agar dahaga itu hilang, maka pengalaman dan pengetahuan melalui faktor eksternal lah adalah yang membimbing keinginan menghilangkan dahaga tersebut menuju pemecahan solusi: menghilangkan rasa haus yang membuat bayi tegang dan sakit.

Seorang bayi akan menangis dengan sendirinya di saat dia kehausan. Tak ada kata yang mampu dia ucapkan. Lantas sebagai seseorang yang berada di dekat bayi, kita akan tahu bahwa, dengan tangisnya itu, bayi mewartakan bahwa dirinya sedang kehausan dan, layaknya pahlawan, kita memanggil ibu bayi agar segera menyusuinya. Dan kesakitan bayi akibat kehausanpun dapat direda. 

Bayi akan mengalami peristiwa kehausan itu secara berulang-ulang. Kejadian yang berulang inilah yang nantinya akan membentuk suatu citra di dalam otaknya dan dengan otomatis tergambarkan dalam benaknya. Dengan pengulangan itu juga dia belajar, serta berlatih memahami sekiranya apa yang dia butuhkan untuk menghilangkan dahaganya. Setelah dia tahu apa yang harus dia lakukan ketika dahaga menyerang (yaitu meminum air), maka dia akan berusaha mencari air lalu meminumnya. 

Beberapa saat setelah itu dia berhasil menemukan air (anggap, walaupun tidak mungkin, bayi itu mencari sendiri airnya). Tapi sial, bayi itu masih tidak tahu apakah air itu baik untuk diminum atau tidak. Oleh karena itu, si bayi akan belajar lagi, menyeleksi, dan memilah-milah air macam apa yang dapat dia minum, yang tidak membahayakan tubuhnya. Dalam pikirannya bertanya-tanya mengapa dia hanya bisa meminum air-air tertentu saja. 

Dari penyeleksian secara ketat dengan presisi yang ssngat diperhatikan si bayi, dia jadi tahu, dia tidak boleh minum air bekas cucian piring, dia tidak boleh meminum air kencing, dan dia juga tidak boleh kala haus lantas meminum air selokan. Dia jadi sadar bahwa citra subjektif yang terbentuk di dalam otaknya, masih dibatasi oleh keobjektifan realitas. 

Siklus demikian akan terus berlanjut, tidak hanya pada kasus minuman, namun dalam setiap fenomena kehidupan. Edukasi alamiah akan terus-menerus dia dapatkan seiring semakin banyaknya sesuatu yang dia pahami dan yang dia ketahui. Ingatannya (sistemnya) akan memutuskan bahwa ketika dirinya haus dia harus meminum air. Tapi dengan tahu saja belum cukup, dia juga harus mencari dan menyeleksinya. Penyeleksian ini memerlukan peran eksternal berupa pengetahuan dari buku atau apapun dan pembelajaran dari orang sekitarnya.

Begitulah kira-kira proses bagaimana id, tidak serta-merta menguasai hasrat seorang bayi, tapi terdapat sosok ego yang mengontrolnya melalui proses penyeleksian dan pemilahan secara ketat dan presitif. Mari kita bicara melalui kacamata ilmiahnya. 

Ketika bayi menjalankan proses skunder (seperti yang Freud sebut)—proses yang ego jalankan agar proses primer id terlengkapi dan keinginannya terpenuhi—dimana otak bayi akan mencitrakan sesuatu yang dapat mengurangi kesakitan (dahaga) dalam dirinya, maka ego akan datang sebagai seseorang yang membimbing id untuk mengajarkan sesuatu, bahwa subjektivitas pemikiran tentang citra yang harus segera dicapainya perlu ditelaah lebih lanjut oleh keobjektifan realitas (seberapa potensial kemungkinannya): bahwa air yang harus segera diminumnya tidak semua boleh langsung diminum. 

Apa-apa yang berpotensi dapat dilakukan untuk meredam ketegangan dan kesakitan akibat faktor internal atau eksternal, akan diuji keefektifannya. Satu hal tak memenuhi, akan dicari hal lain yang memenuhi sampai masalah ketegangan dan kesakitan ini teratasi (problem solving). 

Bayi akan senantiasa berkali-kali berlatih untuk menyelesaikan masalah yang setiap saat menderanya. Belajar melalui pengindraaannya yang selalu bekerja membantu sang tuan, serta pikirannya yang terus berpikir. Dan dari itu, terbentuklah ingatan-ingatan serta, melalui kode-kode bahasa dia tahu bahwa semua hal memiliki nama dan istilah, dan mereka semua tersistem dalam sebuah tatanan yang stabil sebagaimana bumi yang kontinyu mengelilingi matahari. 

Dari pengulangan siklus yang demikian panjang ini, secara bertahap dan konsisten akan terbentuk memori ingatan perihal pemecahan masalah, terbentuk suatu sistem yang terstruktur tentang apa yang harus dilakukan ketika masalah seperti ini seperti itu menimpa. Kegiatan ini juga akan menumbuh-kembangkan kemampuan berpikir otak bayi dalam memahami sebuah fenomena. Tak terkecuali dalam berbahasa. 

Ego secara umum dapat dikatan sebagai produk dari korespondensi dunia internal (mikrokosmos) seseorang dengan dunia eksternalnya (makrokosmos). Interaksi itu telah menciptakan suatu pola yang tetap, dan lebih lanjut diinternalisasikan ke dalam diri setiap personal sehingga menjadi sebuah pengetahuan. 

Namun, dalam perkembangannya, pengetahuan akan sesuatu, atau dalam hal ini pengetahuan ego akan hal-hal yang bersifat fenomena bisa dilatih dan dikembangkan melalui proses pertumbuhan pengalaman, pelatihan, serta edukasi secara berkala. Hal ini bisa kita jumpai ketika orang tua bayi memerintah bayi agar duduk secara berulang-ulang, melarangnya agar tidak memakan batu, atau pada ruang kelas yang berisik oleh pertanyaan-pertanyaan kritis khas anak-anak. 

Terlepas apakah yang Freud kemukakan ini adalah benar-benar kenyataan yang mutlak (namun ilmu pengetahuan bersifat tidak pernah final) ada semacam kesesuaian dan relevansi antara teori tersebut dengan fenomena-fenomena yang terjadi di kehidupan nyata. Freud, selama bertahun-tahun juga telah mempraktekkan teori-teori ini untuk pengobatan para pasiennya. Dan tak dapat ditolak bahwa psikoanalisis Freud telah menjangkau hampir seluruh pelosok dunia, tak ketinggalan juga Indonesia.

Komentar

Postingan Populer