Bicara Buku di Hari Buku Sedunia

Di saat membicarakan buku sebagai topik utama, ada beberapa hal menarik yang dapat dikupas meski tak semendalam orang-orang pintar idola saya. Saya akan mencoba meniru mereka, menjadi sok pintar.

Jika menuruti tujuannya, buku dibuat tentunya untuk dibaca. Maka saya rasa, kali ini, di momen hari buku sedunia ini, saya akan membicarakan buku sebagai barang yang dibaca (atau pembacanya), bukan barang yang ditulis (penulis), bukan pula benda yang diterbitkan (penerbit) atau diperjual-belikan. 

Pertama, saya mencoba membagikan tentang buku-buku apa saja yang sudah saya baca selama ini (semoga ada gunanya). Ya, selama hidup saya dua puluh tahun ini. Tentu bukan menyebutkan satu-persatu judul bukunya, hanya jenis bacaan apa saja yang sudah saya konsumsi. 

Buku pertama saya adalah buku kisah dua puluh lima nabi dan rasul. Sebagai anak yang dilahirkan di tengah-tengah keluarga muslim, saya harus menempuh pelajaran agama di awal kehidupan saya, bahkan ketika saya belum memulai sekolah. 

Kami percaya tentang enam hal yang wajib kami imani, yaitu Allah sebagai Tuhan kami, para nabi dan rasul, beberapa kitab suci, para malaikat, hari kiamat (akhir), dan takdir baik dan buruk. Maka tak heran jika di umur empat tahun, saya sudah tahu bahwa Nabi Ibrahim pernah dibakar hidup-hidup tetapi tidak mati.

Selang waktu yang lama, saya tidak pernah membeli buku lagi. begitu juga orangtua saya tidak lagi membelikan saya buku. Di sekolah dasar (saya dulu sekolah di madrasah ibtidaiyah), saya tidak banyak membaca buku, kecuali buku-buku wajib pelajaran. 

Di sekolah menengah pertama tak jauh beda. Saya juga hanya membaca buku wajib pelajaran saja. Saya tidak tahu betul apakah sekolah saya waktu itu memiliki ruang perpustakaan. Saya hanya pernah diberi tahu ada perpustakaan, tapi saya tidak tahu pasti karena saya tak ada minat untuk berkunjung.  

Keadaan ini agak mendingan sewaktu saya menapak sekolah menengah atas. Saya mulai memiliki kebiasaan baru. Perlahan-lahan saya berubah menjadi seorang yang lebih rajin pergi ke toko buku pesantren (dari SMP, saya sudah di pondok pesantren). Tapi belum pernah sekalipun mengunjungi perpustakaan pesantren. 

Di masa SMA inilah, awal mula saya berkenalan dengan tokoh-tokoh penulis buku melalui buku-buku mereka. Yang paling saya ingat adalah Franz Kafka. Si penulis dari Praha berbahasa Jerman itu. Jangan heran bila saya banyak menyebut nama dia ketika saya menulis tentang sastra. 

Saya juga mulai mengenal Sigmund Freud lantas mencintainya. Saya begitu terkesan terhadap gagasannya di bidang psikologi, terutama pemikirannya mengenai id, ego, dan super-ego di psikoanalisisnya. 

Dalam psikologi, saya juga membaca Jung, Carl Gustav Jung. Namun, sialnya saya belum membaca Erich Fromm, sama halnya saya belum membaca psikolog-psikolog muslim. 

Dalam genre sastra, satu buku yang saya begitu menyukainya. buku ini bukan novel, bukan cerpen, puisi, atau drama yang dibukukan. Buku ini hanya berisi biografi ratusan penulis besar dunia dan keterangan singkat tentang beberapa penghargaan sastra bergengsi dunia. Dari buku ini saya tahu siapa yang harus saya baca.

Berkenalan dengan filsafat saya lakukan melalui buku-buku pengantar yang sangat akademis. Sayang, buku-buku itu lebih terkesan kepada saya hanya sebagai buku yang usang, yang percuma jika terlanjur membacanya. Tak membekas lama dalam pikiran saya. 

Terlepas memang filsafat cenderung merupakan bahasan yang berat, ada satu buku pengantar yang sangat saya sukai: From Socrates to Sartre. Buku ini menguraikan bagaimana proses perkembangan filsafat, dari orang-orang Yunani Kuno sampai dengan zaman Sartre yang modern, dari Idealisme klasik Plato sampai eksistensialisme mutakhir Sartre. 

Di sisi lain, kegemaran saya akan sastra, filsafat, dan psikologi, kadang harus memudar karena rasa bosan. Jadi, dengan tetap mencari cara agar terus mau membaca, saya memustuskan membaca tema lain: sejarah, kisah hidup orang besar, dan juga agama. 

Selanjutnya, saya tertarik pula untuk membicarakan eksistensi buku di tengah gerusan arus media digital, yang bila dilihat-lihat kembali, sangat menghancurkan industri buku, juga kebiasaan membaca buku. 

Media digital yang cenderung meringkas bahasan lengkap yang ada di buku telah memudahkan kita dalam memahami apapun. Menjadikan kita sebagai manusia yang enggan berkunjung ke perpustakaan. 

Bagaimana tidak, hampir semua pengetahuan yang kita butuhkan ada di gawai kita. Tak perlu repot-repot membaca buku yang dari tebalnya saja sudah begitu menakutkan. Untuk menjadi orang pintar, sekarang tak perlu menjadi kutu buku. 

Sisi buruknya, fenomena ini telah menciptakan orang-orang yang hanya mau hal yang instan-instan. Lebih jauh, membentuk pola pikir yang menganggap proses tidak lagi penting. Semua orang hanya tergiur kepada hasil yang memuaskan. Sangat tidak etis jika menanam rumput namun berharap tumbuh padi. 

Ketakutan kita mengenai kepunahan buku oleh gencarnya perkembangan media digital, untungnya tidak hanya dirasakan kita sendiri. Artinya kita tidak sendirian. Semua negara di dunia juga turut merasakannya. Hanya saja, yang membedakan kita dengan mereka adalah tindakan yang diambil.

Saya pernah menulis ini di kolom opini Al-khidmah.  Jepang, walaupun negara yang menjadi salah satu kiblat teknologi, tak lantas membuat warga negaranya meninggalkan buku. Meskipun tersohor dengan industri hiburannya, Korea Selatan masih kokoh menyandang salah satu negara dengan literasi tertinggi dunia. 

Jepang dan Korea Selatan termasuk kategori negara maju, dan tak membuat mereka jemawa lantas meninggalkan buku. Indonesia, yang belum unggul dalam satu bidang masih sangat minim tingkat literasinya. 

Baiklah, saya akan mencoba bersikap adil. Bisa jadi Jepang dan Korea Selatan sudah menjadikan membaca buku sebagai budaya turun-temurun mereka. Maka wajar bila buku tetap eksis di tengah gemerlapnya teknologi dan hiburan mereka. Sedangkan Indonesia belum memiliki kebiasaan rajin membaca buku. 

Saya rasa problem yang membuat Indonesia sangat tertinggal di bidang literasi sudah banyak dibahas di tulisan lain. Dan saya pikir, satu-satunya momen tepat bagi kita untuk mengejar ketertinggalan kita dari Jepang dan Korea, barangkali adalah di saat hari buku sedunia ini. 

Selamat membaca. 

Komentar

Postingan Populer