Bukan Pasarmalam, Pramoedya Ananta Toer

Jujur saja saya agak jengkel membaca novel pendek ini. Namun ada perasaan di mana rasa jengkel itu juga diikuti rasa takut, cemas, tagih, dan mungkin juga rasa semangat. Pertama-tama, jengkel itu disebabkan novel ini kebanyakan menampilkan kondisi ayah tokoh Aku yang berjuang keras untuk bebas dari dekapan penyakit tuberkulosis. Saya berasa ada di rumah sakit sebagaimana tokoh-tokoh. Melihat ayah mereka terseok-seok oleh batuk yang berdarah, merah, beserta reaknya (kata reak banyak diulang oleh Pram). Juga karena seolah merasakan kemiskinan yang melanda mereka, tanggungan anak pertama yang harus menghidupi adik-adiknya. Semua campur aduk bersama kecemasan, takut, dan kelemahan. 

Selain itu, bagaimana tidak jengkel dan kesal. Kita dipertontonkan dengan ganasnya penyakit, dengan semua akibat yang ditimbulkannya: kelemahan, kecemasan, dan rasa takut akan kehilangan. Penyakit itu telah memaksa semua anggota keluarga kecil miskin di Blora ini dirundung tangis yang timbul-hilang, yang mengiringi kesenduan hari-hari mereka. Menyebabkan anak pertama si ayah, seorang penulis miskin, mencari hutangan kemana-mana di perantauan Jakarta demi bisa pulang menjenguk ayahnya di kota kecil Blora. 

Di Blora, dia dihadapkan dengan kenyataan yang sesungguhnya bahwa ayahnya betul menderita di ranjang, memelihara tuberkulosis, ayah yang kemudian mati setahun setelah kemerdekaan negerinya yang dia perjuangkan. Kemerdekaan yang dia harapkan justru tak memberi banyak dia penghidupan layak. Kemerdekaan yang dielu-elukan tak senyaman yang dia bayangkan. Ayahnya merupakan seorang guru bagi anak-anak bangsa yang tak mendapat imbalan pantas. 

Rasa takut tentu saja takut akan rasa sakit, tersiksa oleh ganasnya penyakit yang Tuhan berikan kepada ciptaannya. Dan terutama takut kepada kematian. Kematian membuat seseorang menjadi tak berdaya ketika beramai-ramai orang memasukkan mayat kita ke liang lahat yang selama kita hidup kita takuti. Kematian itu membawa kita kepada kesendirian, kesunyian dan kehampaan yang sebenarnya. Seperti ayah tokoh Aku, dia pejuang kuat di medan perang, aktivis politik salah satu partai, tapi harus takluk oleh kejamnya tuberkulosis, yang merenggut kekuatannya, pikirannya dan kebahagiannya. 

Dan rasa semangat timbul dari sikap ayah tokoh Aku yang selama hidup mengabdikan nyawanya untuk kemerdekaan, menjadi pejuang, pahlawan, gerilyawan, juga menjadi guru yang tak habis semangat. Sialnya, kebahagiaan karena kemerdekaan yang ia rebut dengan peluh, tulang dan darah, hanya sebatas pada angan-angan. Di kemerdekaan waktu itu orang-orang malah sibuk mencari gedung, mencari kursi untuk diduduki dan diambil uangnya. Dalam kehidupan nyatanya, Pram tak pernah puas dengan keadaan negerinya. Dia, sebagai salah seorang yang juga bergulat dengan perjuangan merasa terkhianati. 

Saya melihat Pram agak religius ketika menulis novel ini, selain rasa nasionalismenya yang dominan. Dia banyak berbicara bagaimana kematian itu bisa terjadi pada setiap orang. Menulis tentang kehidupan dunia yang tak ada manfaat. Dia seakan-akan tahu betul bagaimana rasa perih seseorang ketika sedikit demi sedikit disiksa oleh rasa takut akan kematian. Kematian diri sendiri dan orang-orang dekatnya. Pram menuliskan: "mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti pasarmalam." Sebab yang membuat kita takut pada kematian adalah kita mati ketika semua orang masih hidup. Orang mati sendiri-sendiri. Bayangkan saja bila semua orang lahir bersama dan mati bersama, mungkin kamatian tak semenakutkan ini. 

Bukan Pasarmalam dianggap salah satu roman pendek terbaik Pram. Di samping Tetralogi Buru-nya yang masyhur. Bahkan kata Eka Kurniawan, "salah satu karya terbaik dunia dari kesusastraan Indonesia." (Kalau tak salah begitu kalimatnya). Tidak berlebihan memang. Saya menemukan sebuah kepengarangan hebat dalam karya Pram ini. 

Tapi tak ketinggalan juga, bahwa kita tak bisa mengesampingkan nafas-nafas sosialisme dan kemanusiaan dalam karya-karya Pram tak terkecuali pada Bukan Pasarmalam. Dia banyak menyebut kemanusiaan di karya ini. Dia bicara kemanusiaan seperti bicara sebagai wakil dari orang-orang tertindas. Dia masuk dalam golongan yang satu ini. Dia sangat cinta demokrasi, dan sangat fanatik kepada kebebasan individu (individual freedom). Saya selalu kagum dengan dua hal ini, kebebasan dan kemanusiaan. Saya juga ingat apa kata Eka, "secara kepenulisan, saya tak terpengaruh Pram. Saya hanya terinsipirasi oleh semangatnya." (Lagi-lagi kalau tidak salah seperti itu). Semangatnya menulis telah mengantarkan Pram kepada cita-cita luhurnya: menulis untuk keabadian.

Komentar

Postingan Populer