Tiga Cerita Tagore

Baru baca tiga cerita dari kumpulan cerpen Rabindranath Tagore ini. Satu berjudul Yang Hidup dan Mati, sesuai judul buku, kedua Kepala Kantor Pos, ketiga Untung dan Rugi. Tagore adalah peraih Nobel Sastra pertama dari Asia, tahun 1913. 

Saya berniat untuk memberi catatan setelah membaca setiap tiga cerpen. Dan ketika saya telah menuntaskan semuanya, saya akan memberi catatan yang lebih lengkap. Mungkin akan membahas tentang hal-hal yang secara umum dari cerita-cerita pengarang India ini. 

Di cerpen Yang Hidup dan Mati, seorang janda telah dinyatakan mati sebab sebuah alasan yang tak diketahui pasti. Orang-orang—mereka semua empat orang—sudah siap untuk melakukan upacara pembakaran. Namun, ketika mereka masih sibuk mengumpulkan kayu bakar, mayat hidup kembali dan orang itu pun kocar-kacir ketakutan. Mereka bilang kepada keluarga bahwa janda sudah di bakar. Padahal janda belum betul-betul mati. 

Dia tidak kembali ke rumah karena dia menduga keluarganya tak akan percaya kalau dia masih hidup. Maka dia pergi ke rumah seorang teman lama. Dia masih merasa dia sudah mati, saat ini dia hanyalah sebuah bayangan hidup. Masalah ini yang membuatnya merasa tidak pantas sedunia dengan orang-orang yang masih hidup. 

Setelah cek-cok dengan teman lamanya karena sudah terlalu lama menumpang, akhirnya dia pulang ke rumah. Dia bertemu keponakannya, anggota keluarga yang paling dia sayangi. Tapi sekeluarga ingin dia tidak menggangu kehidupan tenang mereka. Mereka tak ingin dihantui arwah janda itu. Namun, janda bersikeras bahwa dia masih hidup. Tak satupun anggota keluarga yang percaya. Maka janda itu melompat dari lantai tiga rumah mereka, dan tergeletak mati. Semua keluarga pun tahu bahwa dia belum mati. 

Kedua, seorang anak kecil perempuan melayani kepala kantor pos yang bertugas di desanya. Sehari-hari dia melayani tuannya itu tanpa upah kecuali apa yang dia makan setiap hari. Berada di desa kecil yang sangat terbelakang, bagi seorang yang maju seperti kepala kantor pos adalah hal paling membosankan. Tak ada orang yang bisa diajak berbincang seru. Maka dia ajari anak kecil itu membaca. Agar dia bisa diajak bicara sesuatu yang agak berisi. Meski sebenarnya hal itu butuh waktu. 

Lama-kelamaan mereka semakin akrab. Keluarga-keluarga yang tuannya ceritakan kepadanya seakan sudah ia anggap sebagai keluarganya sendiri. Sampai suatu waktu, manakala kepala kantor pos itu jatuh sakit dan semakin parah, dia memutuskan untuk pindah tugas ke tempat yang dia rasa cukup bersahabat bagi tubuh dan pikirannya. 

Si anak kecil murung, bersedih. Dia tak ingin tuannya pergi seterusnya. Dia ingin tuannya tetap betugas di desa ini. Dan jikalau itu tidak mungkin, setidaknya tuannya mengizinkan dia untuk ikut bersamanya. Pergi ke keluarga kepala kantor pos. Tapi tuannya tak berkehendak. Lalu pergilah tuan itu tanpa pembantu kecilnya. 

Cerita ketiga bermula ketika seorang perempuan muda yang yang hendak menikah. Dia harus membayar mas kawin yang sangat mahal (tradisi turun-temurun India: wanita membayar mas kawin kepada pria). Pasangan itu menikah, tetap menikah. Namun dengan mas kawin yang belum terlunasi. Keluarga pria tak mengizinkan si wanita pulang berkunjung ke rumahnya sampai mas kawin itu lunas. 

Ayah si gadis memaksa keluarga pria untuk menyerahkan putrinya. Dia ingin putrinya pulang sejenak untuk melihat keadaan keluarga. Pihak pria sama sekali tak mengizinkan. Ayah gadis mengumpulkan uang untuk menebus kembali putrinya. Tapi uang tak kunjung terkumpul. Bahkan sebaliknya: dia semakin miskin karena jeratan hutang yang tak mampu dia bayar. Gadis putus asa. Dan dia pun bunuh diri. 

Satu kemiripan dari cerita-cerita ini. Ketiga-tiganya berakhir tragis. Tokoh utama masing-masing mengalami kesialannya. Cerita pertama janda bunuh diri untuk membuktikan bahwa dia belum mati. Dia cerita kedua anak kecil perempuan sangat sedih karena tuannya pergi. Dan cerita ketiga bunuh diri kembali terjadi pada gadis yang keluarganya tak mampu membayar mas kawin. 

Saya tak tahu apa yang membuat Tagore menulis cerita-cerita menyedihkan seperti itu. Tapi jika melihat diri saya sendiri. Di saat sedihlah saya akan menulis hal-hal menyedihkan. Apa Tagore juga demikian? Bisa jadi. 

Cerpen ketiga bukan sekadar cerita biasa. Itu merupakan kritik atas budaya mas kawin turun-temurun India. Beberapa kali budaya ini telah mengakibatkan tindak kriminalitas yang tinggi. Undang-undang tentang pelarangan menerapkan budaya itu telah ditulis. Tapi kehidupan sosial India yang patuh pada ajaran-ajaran nenek moyang membuat budaya itu tetap diterapkan. 

Saya akan membaca buku-buku Tagore yang lain, tentu setelah tuntas berurusan dengan yang ini. Gaya tradisional yang dia pakai tak basi oleh gaya-gaya baru. Saya jadi menyimpulkan tak salah jika kita membaca kembali karya-karya lama. Jika di Indonesia, mungkin kita mesti kembali kepada cerita-cerita legenda, atau sejarah seperti Ramayana, Negarakrtagama, Sutasoma, dan saudara-saudaranya yang lain. Bila di India, Tagore salah satu di antara penulis klasik. Cerpen Tagore sangat asyik. 



Komentar

Postingan Populer