Seperti Dendam, Eka Kurniawan

Ini adalah novel Eka Kurniawan pertama yang saya baca (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas). Jujur, selama bertahun-tahun saya mengagumi Eka Kurniawan, baru kali ini lah saya membaca salah satu novelnya. Sesungguhnya saya sudah beberapa kali mencoba membaca novelnya yang lain, Cantik Itu Luka, jauh sebelum saya benar-benar suka sastra, hanya saya tak pernah menyelesaikannya. Lalu, dari mana rasa kagum itu datang walau tanpa membaca novel-novelnya? Saya membaca kumcernya. Juga cerpen yang banyak bertebaran di media. Dan jangan lupa, saya juga melahap tulisan di blog pribadinya. 

Beberapa orang mengatakan bahwa novel ini tak ubahnya novel seks. Saya akan mencoba pandangan yang berbeda dengan mereka. Bukan karena saya membela Eka yang terlalu gamblang menggambarkan seks. Tapi, kita pun tahu, jangan menilai sesuatu dari satu sisi. Mari bincangkan novel bagus ini tanpa melihat bahwa novel ini memang cabul. 

Tentu, pertama, tak habis-habis keterkejutan saya ketika membaca kalimat pembuka novel ini. Eka memang sering, di blog, menulis tentang pentingnya kalimat pembuka dari sebuah tulisan. Kalimat pembuka harus menarik. Mampu menyedot minat pembaca untuk membaca lembar-lembar selanjutnya. Dan saya menganggap Eka sukses. Sebab saya merasakan kesan yang bisa dikatakan sama seperti ketika dihadapkan dengan kalimat pembuka Kafka. Kafka dengan konflik, Eka lebih dari itu, membuat kesal juga memalukan. 

Saya merasa bahwa Eka sama sekali tak menyukai deskripsi. Sebagian besar novel berisi adegan, dan dialog-dialog. Dialog formal tapi juga terkesan alamiah. Saya jadi ingat cerpen-cerpen Kawabata, yang sangat pelan, berjejal deskripsi tentang alam, sangat detail, yang sejujurnya, agak membuat saya bosan. Tapi orang mengaku senang membaca Kawabata. Atau ini sederhana saja, hanya soal selera. 

Kita lihat juga bagaimana Eka membangun kesan atas tokoh. Ajo Kawir, sang tokoh utama, memiliki karakter yang kuat. Eka juga menulis di blog perihal penokohan. Kita hanya perlu membuatnya sangat berbeda dari tokoh-tokoh lain, kata Eka. Ajo Kawir, meski sedikit mirip dengan Si Tokek sahabatnya, setidaknya dia pemuda paling pemberani dan paling nekat. Terlepas karena kemaluannya yang tak bisa bangun. 

Terlebih, ketika Eka sangat paham betul di mana dia harus membahas seorang tokoh, kapan dia harus kembali pada masa lalu tokoh, dan menceritakan kisah-kisah mereka, itu sungguh cerdas. Eka seorang mahasiswa filsafat, dan saya menyangka cara berpikirnya terpengaruh oleh para filsuf. Dan saya tak heran jika dia masuk dalam daftar 100 intelektual paling berpengaruh di dunia. 

Eka adalah sastrawan yang sadar akan teknik. Teknik membangun cerita. Menyusunnya dengan runut. Serta menghiasnya dengan ornamen-ornamen kecil tapi penting. Seperti memasak, dia tahu seberapa banyak garam harus dimasukkan. Meski kapan waktu dia pernah berkata bahwa menulis hanya perkara berpikir, dia juga sadar, pemikiran perlu dibalut dengan bungkus yang rapi, enak dipandang, nyaman dibaca. Bahasanya tak terlampau rumit: stigma yang biasa orang umum tanamkan pada novel-novel serius. Eka sangat serius dalam isi pikirannya, tapi dia juga sangat ringan ketika membawakannya. 

Menulis novel sama halnya dengan ngeseks, kata eka di blog. Dia benar-benar mempraktekkannya. Dia tempatkan orgasme pada tempat dan waktu yang tepat. Dia paham, ketika pembaca akan menganggap sesuatu hal akan terjadi demikian tapi dia buat berlainan. Dia mempermainkan pikiran pembaca. Melalui fragmen-fragmen pendek, saya rasa ia ingin membuat pembaca megap-megap. Berkali-kali saya berkata, "mengapa tak langsung digambarkan saja?" Tapi Eka bersikeras. "Tunggu saatnya, sebentar lagi, nantikan cairan kentalmu ada di ujung kemaluanmu." Itu kata Eka. Siapa yang tidak gemas coba? 

Satu lagi yang berhasil membuat saya begitu kesal. Cerita ini berakhir sedih. Setidaknya menurut saya. Saya sudah berharap mereka, Ajo Kawir dan Iteung, akan hidup bersama sembari membesarkan seorang putri mereka, tapi malah harus berpisah karena dendam Ajo Kawir yang Iteung balaskan. Iteung harus kembali mendekam di bui setelah beberapa hari dia baru bebas. Terakhir, mari kita tunggu film adaptasi dari novel ini. 

Ya, sudah. Cukup itu saja. 

Komentar

Postingan Populer