Rumah Perawan, Yasunari Kawabata

Novel yang akan saya bicarakan berikut sebenarnya sudah selesai saya baca dua hari yang lalu. Jika menuruti kebiasaan, saya selalu menulis tentang buku yang saya baca seketika setelah saya baru menyelesaikannya. Tentu karena ingatan saya akan buku itu masih sangat segar. Tapi kali ini saya memutuskan untuk menundanya sejenak. Karena apa? Penundaan ini disebabkan satu hal yang tak selesai-selesai saya pikirkan. Saya sungguh jengkel terhadap peristiwa yang menimpa saya ini. 

Setelah di tahun ini saya benar-benar membaca buku lebih banyak dibanding tahun lalu, seperti yang sudah saya niatkan, tiba-tiba saya merasa proses membaca saya selama ini hampa. Hampa bukan karena buku-buku itu jelek, melainkan karena saya merasa buku-buku itu tak saya pahami secara mendalam. Semacam ada suatu citra yang menandakan bahwa saya melewati buku itu begitu saja, sepintas lalu, hanya sebagai ocehan penulisnya. Tak ada apapun yang menempel di pikiran saya. 

Dari itu saya bertanya-tanya apa ini karena saya terlalu cepat melangkah, sehingga saya tidak paham betul jalan seperti apa yang saya lewati, yang saya harus mengingat kembali dengan keras ketika ingin melewatinya lagi? Atau saya sebegitu memaksakan diri untuk terus berjalan sementara kaki-kaki saya sudah terlampau lelah, sampai-sampai tak ada apapun yang dapat saya amati dengan serius di sepanjang jalan? 

Saya akhirnya memikirkan kembali apa yang Eka Kurniawan katakan. Ketika saya menghasilkan banyak sekali tulisan yang menurut saya ditulis dengan cukup serius, atau dalam kasus ini saat banyak sekali buku yang saya baca dengan sungguh-sungguh, ada saatnya di mana saya harus berhenti membaca sama sekali. Dengan tujuan yang jelas, yaitu untuk mempertanyakan kembali, apa yang telah saya peroleh selama ini dari bacaan-bacaan saya, seberapa efektif metode membaca yang saya pakai, atau sepanjang apa ingatan saya akan isi bacaan itu?

Beberapa kali saya sadar, selama membaca buku, sefokus apapun perhatian saya, tetap saja saya hanya bisa membaca sesuatu yang tersurat. Saya sangat kesulitan mencapai apa yang orang katakan sebagai makna tersembunyi dari suatu kata, kalimat, paragraf atau keseluruhan buku. Dan sialnya, beberapa kali, meskipun untuk hal ini sangat jarang, saya masih meraba-raba dengan susah payah apa yang sesungguhnya penulis maksudkan dan inginkan melalui tulisannya. 

Maka saya mulai kembali kepada buku-buku lama saya, yang terpampang berantakan di rak buku yang saling terpisah empat bagian. Saya memilih sebuah kumpulan cerpen. Karena cerpen saya anggap sebagai tulisan pendek yang mampu membuat saya, tanpa berlama-lama, berpikir kembali perihal sesuatu yang dapat saya katakan setelah membaca cerpen itu saat ini. Lantas membandingkannya dengan kesan lama saya ketika kali pertama membaca cerpen itu, kesan-kesan yang selalu saya tuliskan di blog. Setidaknya untuk masa yang dekat dari sekarang, sekitar beberapa bulan lalu. Saat saya baru menapak bangku kuliah. Saya akan segera menyelesaikan perbandingan itu segera.

Kembali kepada novel yang akan saya perbincangkan. Dia berjudul Rumah Perawan. Salah satu karya terbesar dari salah seorang sastrawan terbesar Jepang abad ke dua puluh, Yasunari Kawabata. Peraih Hadiah Nobel Kesusastraan 1968.

Seorang lelaki tua bernama Eguci pergi ke sebuah "rumah perawan beradu" setelah diberi tahu Kiga tua bahwa dia tak akan kesepian jika bermalam di rumah itu. Eguci tentu sangat kesepian di tahun-tahun penghujung hidupnya, di masa tua yang membosankan itu. Tiga putrinya sudah menikah dan masing-masing tinggal bersama suami-suami mereka. Istrinya entah mati atau tidak (saya lupa untuk bagian ini). Maka atas saran Kiga tua, Eguci pergi menuju rumah itu untuk memperoleh teman tidur. 

Aturannya begini. Di rumah itu, setiap pelanggan, yang kesemuanya terdiri dari para lelaki tua (yang kesepian), diperbolehkan tidur bersama perawan yang sengaja ditidurkan sangat pulas entah dengan menggunakan cara apa mereka melakukannya. Lelaki-lelaki tua itu tak boleh menggauli si perawan. Mereka hanya diizinkan tidur bersama mereka. Bahkan tanpa menggunakan busana apapun. Dikatakan lelaki-lelaki tua itu adalah lelaki yang tak pantas lagi disebut lelaki. 

Eguci melakukan itu sebanyak lima kali. Bersama enam perempuan yang berbeda-beda tiap kalinya. Hari terakhir dia bersama dua orang perawan. Dan satu orang dari dua orang terakhir, meninggal tiba-tiba ketika tengah tidur bersama Eguci. Semua kesempatan itu membawa dia kepada kepingan ingatan masa mudanya dahulu. Masa muda yang dipenuhi dengan kencan-kencan bersama wanita yang tiap kencan berbeda. Begitu saja ceritanya, selesai. 

Saya langsung mengerti mengapa Kawabata menulis cerita sedemikian bentuknya. Dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Cerita-cerita Telapak Tangan juga tak jauh beda. Konflik seringkali tak menggugah sekalipun. Membuat saya paham bahwa ternyata Kawabata selalu menekankan kekuatan deskripsi pada ceritanya. Lebih jauh ceritanya tak banyak terdapat aksi. Dia sangat mendewakan latar dan penokohan. 

Pendewaan akan latar dan penokohan itu begitu tampak ketika semua cerita kebanyakan hanya berkutat pada kondisi di dalam kamar tempat Eguci tidur bersama perawan-perawan pesanannya. Kalimat Kawabata hanya menggambarkan bagaimana sosok mereka, sikap-sikapnya, atau hanya sekadar memberitakan seperti apa keadaan di luar rumah yang waktu itu sering terjadi angin besar. Tapi itu dia balut dengan keyakinan deskripsi yang mendetail. Dari ini bisa disimpulkan pentingnya sebuah detail dalam cerita.

Seperti kata Eka Kurniawan, bahwa pendeskripsian yang Kawabata lakukan bukan sekadar deskripsi biasa belaka. Namun, mampu menampakkan kesan perasaan tokohnya, dan mempertentangkannya. Semacam peribahasa sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui atau menyelam sambil minum air. Deskripsi Kawabata tidak kosong. Malahan sangat berbobot. Dan saya tak habis-habisnya berpikir bahwa Kawabata adalah sastrawan cerdas. Menurut Kawabata, deskripsi tidak hanya berfungsi sebagai alat yang mampu menampilkan seperti apa latar, sikap, atau kesan, tapi juga memberi kekuatan pada aura dan perasaan yang tokoh hendak ungkapan. Bahkan bisa jadi dapat menyingkap suatu pesan tersembunyi yang oleh tokoh-tokoh itu tidak tampilkan. Ini sedikit banyak sama dengan pernyataan bahwa latar tempat dapat merepresentasikan watak tokoh. Saya mengamini pernyataan Eka tersebut.

Berbeda dengan Rynosuke Akutagawa yang orang-orang bilang bahwa Akutagawa lebih suka bau-bau filsafat Timur yang khas akan ajaran moralnya, Kawabata lebih ke pemaparan lanskap, yang kemudian menyentuh kedalaman rasa dari para tokohnya, menyibak pikiran mereka. Saya baru setengah jalan membaca Daerah Salju, dan rasa-rasanya serupa dengan ketika saya membaca Rumah Perawan dan Cerita-cerita Telapak Tangan. Mungkin ini yang membuat saya tak perlu heran bila banyak penulis yang mencoba menulis sama bagus sebagaimana Kawabata dalam hal deskripsi yang tidak menjenuhkan. 

Cukup dah. 

Komentar

Postingan Populer