Rashomon, Ryunosuke Akutagawa

Ada tujuh cerita pendek di dalam kumpulan ini. Namun, Kappa, oleh penerbit lain diterbitkan mandiri sebagai sebuah novelet, seperti Metamorfosa Samsa Kafka dan Lelaki Tua dan Laut milik Hemingway. Berikut pandangan saya terhadap Ryunosuke Akutagawa. 

"Rashomon". Seorang Genin merampok baju seorang nenek tua renta yang tengah mencabuti rambut mayat seseorang di sebuah Rashomon yang penuh dengan mayat-mayat buangan. Mayat yang rambutnya dicabuti si nenek konon di masa hidupnya, bisa makan karena menipu orang-orang dengan menjual daging ular kering yang yang dia sebut sebagai daging ikan kering. Sebab itulah si nenek mengaku tindakan mencabut rambut mayat untuk bertahan hidup (dia membuat cemara dari rambut untuk dijual) bukan kejahatan. Maka genin itu berpikir bahwa dia juga tidak bersalah jika merampok si nenek. Kejahatan dibalas kejahatan.

"Di Dalam Belukar". Diberitakan, ditemukan mayat seorang lelaki. Penyidik meminta pengakuan dari beberapa orang. Ada pendeta pengembara, Homen (bekas penjahat yang bebas tapi dengan ganti harus mengabdi untuk masyarakat dan negara), Perempuan Tua (ibu dari istri mayat), Tajomaru (terdakwa pembunuh), seorang perempuan (istri mayat), dan si mayat sendiri (melalui mulut biksuni Kuil Shinto). Mereka memberi kesaksian yang berbeda-beda mengenai bagaimana mayat itu mati. Tojumaru berkata dia yang telah membunuhnya. Istri mayat bersaksi bahwa suaminya menusuk dadanya sendiri. Fragmen-fragmen pendek itu seolah menyampaikan bahwa manusia bukan makhluk yang berterus terang.

"Kappa". Kappa adalah sejenis binatang amfibi yang memiliki akal dan perasaan layaknya manusia. Tapi sesuatu yang manusia pikir adalah soal yang sangat serius menjadi sebuah joke di dunia kappa. Standar-standar kehidupan di dunia manusia menjadi sangat berbeda bahkan bertentangan dengan standar di dunia kappa. Dan saya mencium aroma kritik terhadap sesuatu yang saya tidak tahu itu apa atau siapa. Karena sialnya, terhadap kondisi zaman ketika cerita itu ditulis saya benar-benar awam. Tapi saya yakin, setidaknya, itu adalah serangan bagi orang-orang yang banyak melakukan pelanggaran terhadap "hukum" manusia (amoral).

"Bubur Ubi". Seorang samurai tingkat rendah, yang menjadi bahan olok-olok dan persekusi bagi samurai lain dan orang-orang, tak pernah makan bubur ubi dengan puas. Jadi, dalam sebuah pesta malam, dia bergumam ingin makan bubur ubi sepuasnya setelah menghabiskan semangkuk kecil bubur ubi. Beberapa hari setelah itu, keinginan itu terkabul berkat bantuan seorang prajurit gagah bernama Toshihito. Di rumah mertua Toshihito, di meja makan, terdapat bermangkuk-mangkuk besar bubur ubi. Goi, si samuari tingkat rendah, malah tak bernafsu makan bubur ubi itu. Sampai-sampai dia nyaris muntah. Serakah, bukan?

"Benang Laba-laba". Buddha yang berada di Surga menyelamatkan seorang lelaki bernama Kandata dari siksaan Neraka. Meski Kandata adalah penjahat kejam, ada satu kebaikan yang membuatnya diselamatkan oleh Buddha dari Neraka. Yaitu keputusannya di dunia dulu yang membiarkan seekor laba-laba tetap hidup setelah dia berniat untuk membunuhnya. Namun, karena keserakahan dan ketamakan Kandata yang melarang orang-orang di saat mereka mengikutinya memanjat jaring laba-laba menuju Surga, kembali Buddha menceburkan dia ke Neraka. Lagi-lagi tentang hukuman yang pantas bagi yang jahat.

"Si Putih". Si Putih adalah seekor anjing milik dua anak kecil kakak-adik yang harus menebus kesalahannya dengan menggelandang di jalanan. Dia bersalah sebab membiarkan temannya (yang juga anjing) tertangkap oleh pemburu anjing. Si Putih, selama menebus dosanya, tak bisa dikenali oleh majikannya. Disebutkan dia anjing putih imut yang berubah menjadi anjing berbulu hitam nan menyeramkan. Sebab nasibnya itu, dia berusaha bunuh diri dengan banyak cara. Namun, melalui usaha-usaha bunuh diri justru dia banyak membantu binatang dan orang yang mengalami kesusahan. Hingga dia berhasil membersihkan dosanya dan kembali ke rumah majikannya. 

Akutagawa sangat moralis menurut saya. Mengingatkan saya kepada Leo Tolstoy, yang meskipun saya tahu dia hanya dari secuil ulasan tentang karyanya. Jika di antara para jamaah pengajian, Akutagawa adalah kiai, ustaz. Jika di dalam gereja, dia adalah pastor. Atau jika ada di vihara, dia adalah biksu. Cerpen-cerpennya sungguh sarat akan wasiat-wasiat moral. Terutama mengenai seseorang yang berlaku salah, melanggar hukum atau norma, sudah semestinya menanggung sanksi yang sama berat. Sesuai dengan seberapa banyak dosa-dosa. Seperti yang bisa kita jumpai di "Rashomon", "Benang Laba-laba", "Si Putih", dan "Di Dalam Belukar".

"Hidung" (baca ulasan tentang cerita "Hidung" melalui tautan di akhir tulisan) dan "Bubur Ubi" lebih mengarah kepada sebuah satire terhadap orang-orang serakah. Orang yang tak pernah merasa cukup dan bersyukur terhadap apa yang sudah dipunyai. Goi, bukannya merasa cukup dengan porsi bubur ubi yang dia makan malah meminta lebih. Namun, ketika banyak mangkuk besar berisi bubur ubi dihidangkan kepadanya justru seketika dia kehilangan nafsu makan. Manusia lebih mendahulukan nafsu daripada akal. 

Akutagawa saya sangka muncul dalam diri tokoh-tokohnya. Seperti Goi yang pemalu atau tokoh utama dalam "Hidung" yang senantiasa gelisah. Di kehidupannya, Akutagawa hampir menderita gila. Dia gampang sekali depresi. Wajar bila dia memutus nafasnya dengan bunuh diri. Kepekaan perasaannya setidaknya membuat cerita-ceritanya sangat psikologis. Dan itu nyaris ada dalam seluruh cerita dalam kumpulan ini. Saya berpikir Akutagawa sama saja dengan Kafka. Atau dengan tetangganya Yukio Mishima, yang sama-sama mati bunuh diri. Sangat perasa, peka terhadap perasaan apapun.

Udah ah. Itu aja. 


Tautan untuk membaca ulasan cerita "Hidung": https://hilmilukmanbaskoro.blogspot.com/2020/11/ryunosuke-akutagawa-dan-sisi-gelap.html

Komentar

Postingan Populer