Selamat Tinggal Moral dan Intelektual

"Peradaban tontonan adalah dunia di mana tempat teratas dalam skala nilainya diisi oleh hiburan, di mana bersenang-senang, lari dari kesuntukan, menjadi hasrat universal." 

Kalimat ini terdapat dalam esai panjang Mario Vargas Llosa berjudul Peradaban Tontonan. Kalimat ini begitu menohok tajam bagi saya. Ia menyerang orang-orang yang setiap hari, menghabiskan waktunya hanya untuk menghibur diri dengan menonton video-video lucu bikin ngakak, berita-berita heboh tak bermutu, dan kehidupan orang lain yang sebagian besar terkesan menyenangkan, seperti saya contohnya. 

Tema-tema semacam ini telah banyak dibahas oleh beberapa penulis seperti Octavia Paz (pengarang Meksiko) dan George Orwell (novelis Inggris). Bahwa mulai saat ini dan ke depan moralitas dan intelektualitas mengalami suatu kemunduran. Tergantikan oleh eksotisme dunia hiburan dan huru-hara. Saya juga pernah membahas secuil darinya, tetapi dengan sudut pandang tak setajam mereka-mereka itu. Mari kita telaah seperti apa sudut pandang Mario Vargas Llosa. 

Kemunduran itu, penyebabnya adalah kemakmuran ekonomi yang sangat berkembang pesat, kebebasan hidup dari ikatan adat istiadat yang sebagian besar orang anggap membelenggu, dan banyaknya waktu luang yang harus orang-orang habiskan. Tiga hal ini, perlahan tapi pasti telah merangsang pertumbuhan sektor-sektor dunia hiburan yang tak terbendung. Belum lagi didukung oleh periklanan mati-matian dari para pemilik modal dan elite ekonomi. 

Dahulu, karena kesibukan kerja yang tak memberi manusia sedikit pun waktu luang yang leluasa, hiburan hanya dipandang sebagai bagian sekunder dari kehidupan. Hal nomor kesekian dari hal-hal penting lainnya. Yang biasanya, orang hanya melakukannya di kala akhir pekan: menonton film terbaru di bioskop, olah raga ringan, dan segala huru-hara lainnya. Namun, saat ini, hiburan sudah ada di setiap jam, setiap hari. Hiburan telah menjadi komoditas utama. Membentuk fenomena baru dalam zaman ini, yang oleh Ortega y Gasset sebut sebagai "semangat zaman kita". Yaitu semangat zaman yang hanya dijejali dengan kesantaian, remeh-temeh, kedangkalan gagasan, dan riuh-redam musik pop. 

Fenomena ini telah mengubah struktur kehidupan, memperbaharui (tidak semua pembaharuan selalu baik) standardisasi hidup yang ideal menjadi semacam banalisasi budaya, menyuburnya kedangkalan pemikiran, dan terutama, sangat parah di bidang informasi: menjamurnya jurnalisme yang acuh dari tanggung jawab, yang eksis dari berita-berita gosip dan skandal. 

Kritisisme dalam media informasi mengalami kesuraman bahkan nyaris kegelapan. Konsumsi publik menjadi semakin tak terkendali. Kritisisme hanya dapat ditemukan di universitas dan lembaga pendidikan, dan hanya dipahami oleh orang-orang khusus (spesialis). Masyarakat awam menjadi manusia yang asal makan, tanpa terlebih dahulu tahu apakah informasi itu bergizi atau tidak. 

Gaung hiburan, keremeh-temehan, dan kedangkalan ini sangat liar dan tak terduga. Kebudayaan tinggi (kebijaksanaan, menurut ahli filsafat) peradaban sudah lenyap, dan sambil lalu menjadi golongan minoritas, kelompok terpinggirkan. Adalah benar bahwa ini merupakan akibat dari kerumitan, dan dalam waktu yang sama sulitnya usaha untuk memahami kunci-kunci dan kaidah-kaidahnya. Lalu diperparah dengan lambatnya ritme perkembangan dari ide kebudayaan itu sendiri. 

Vargas Llosa mengatakan ini hampir terjadi pada segala sektor pembangun peradaban. Ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, sains, kesusastraan, bahkan seni. 

Tak lagi mengherankan jika kesusastraan yang dianggap paling "bagus" di zaman ini merupakan sastra yang receh, remeh-temeh, dan mudah. Sastra yang tiada malu berniat semata-mata untuk menghibur. Pramoedya bukan lagi seorang publik figur, Wiji Thukul entah tenggelam beberapa tahun lalu, dan Eka Kurniawan hanya mampu menjual novel-novelnya tak sampai berjuta-juta eksemplar. 

Di layar kaca dan ponsel pintar, bintang-bintang dunia hiburan dan pemain bola ternama memegang pengaruh dalam hal kebiasaan, selera, dan gaya hidup kepada masyarakat. Merupakan citra yang sebelumnya diampu oleh para profesor, pemikir, dan ke belakang lagi, oleh kaum agamawan. Mereka semakin digandrungi sebagaimana Immanuel Kant oleh penggemar-penggemarnya, sebagaimana nabi oleh umat-umatnya. 

Bukan hanya subjek peradaban, objek pun berlaku demikian. Iklan telah mengambil alih peran penting filsafat, ideologi, kepercayaan religius, dan doktrin paham dalam kasus membentuk kehidupan. Iklan menjadi acuan utama dalam proses terbentuknya standardisasi gaya hidup. Mengubah dengan drastis kunci-kunci yang membawa pada kehidupan yang ideal. Keren bukan lagi seperti para tokoh intelektual, tapi sudah berdasarkan iklan-iklan produk perawatan tubuh: kulit putih, badan tinggi kekar, rambut halus, atau jika perempuan, tubuh langsing, jari-jari lentik, dan lebih-lebih, barang-barang mewah. 

Semua itu terkadang berawal dari misi besar untuk memasyarakatkan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan bidang-bidang yang sulit dicerna masyarakat biasa. Betapa mulia ambisi ini, berusaha menghadirkan sosok pengetahuan yang terkenal rumit dalam kehidupan masyarakat biasa. Namun, tak jarang hal ini malah berujung meremehkan dan merendahkan kehidupan budaya itu sendiri. Produk-produk kebudayaan yang dangkal pengertian dan kualitasnya, didengung-dengungkan dengan alasan membuatnya semakin merakyat, yaitu untuk memperoleh viewers yang membeludak. Gampangnya, kuantitas mengorbankan kualitas. 

Kemerosotan standar karya sastra yang "bagus" juga imbas dari selera pembaca yang cenderung menginginkan sastra ringan dan menghibur. Sehingga, tuntutan ini menghadirkan tekanan kuat bagi pengarang. Karya bagus bukan lagi berpatok pada ciptaan Kafka, bukan lagi menurut Hugo, apalagi berdasarkan Cervantes. Sastra bagus hanya bergantung pada satu perkara: menghibur. Tak peduli seberapa besar kandungan moralnya. Soal pentingnya bukan pada para penulis, tapi pada tuntutan zaman yang berubah. Sampai-sampai semangat berkarya untuk keabadian telah digusur oleh semangat berkarya untuk kepopuleran, yang dominannya hanya bersifat sementara. 

Saya tidak bisa memprediksikan bagaimana dunia kita, zaman kita ini, dalam beberapa puluh tahun ke depan. Ketika mungkin, moralitas dan intelektualitas adalah hal yang semakin dijauhi. Nyaris dihilangkan dan digantikan oleh gaung-gaung hiburan yang tiada henti dan tak berisi. Barangkali keseriusan akan menjadi hal yang jarang, sejarang ikan di daratan. Akhirnya, kita akan sampai pada zaman di mana hiburan adalah tujuan utama selama hidup manusia. 

Komentar

  1. Makanya, para penulis harus bisa menyajikan tulisan yang menghibur dan bermoral. Eaaaa🤣😚

    BalasHapus
  2. Tengah berusaha, Pak. 🤣🤣

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer