Metamorfosa Samsa

Saya membayangkan, tapi semoga tidak benar-benar terjadi, pandemi korona tidak pernah usai. Semua orang telah melakukan berbagai cara untuk menyudahi kesedihan dan kekhawatiran ini. Mereka mencuci tangan sesering mungkin, keluar rumah hanya jika ada kebutuhan paling mendesak, dan selalu menggunakan masker bahkan lebih dari satu. Namun, pandemi tak juga kunjung berkahir. Virus korona telah bermutasi menjadi varian yang lebih mematikan, yang lebih cepat menular. Vaksin yang ada tak mampu melindungi dari varian baru tersebut. Dan orang-orang, dengan berat hati, hanya menanti pasrah giliran diri mereka tertular virus, dan tak lama setelah itu, meninggal. 

Itu hanya imajinasi saya. Terlepas apakah hal itu mungkin terjadi atau tidak, saya tidak mengamini semoga terjadi. Karena kita tahu, kita sudah tak tahan lagi lama-lama berdiam diri di rumah. Menatap layar berjam-jama hanya untuk menyelesaikan pekerjaan. Hingga pada titik tertentu, orang jadi kehabisan semangat. Mereka mulai mengalami pesimisme. Dan tinggal menunggu waktu, memintanya bertindak sebagaimana yang kita baik-baik harapkan.

Hal sama terjadi pada Samsa, Gregor Samsa. Tokoh utama dalam novela legendaris Kafka, The Metamorphosis, yang dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul Metamorfosa Samsa. Setelah suatu pagi terkejut mendapati dirinya yang baru bangun dari tidur berubah menjadi seekor serangga besar, seketika itu dia menjadi paling murung, paling putus asa. Keluarganya sangat sedih sekaligus heran. 

Berbulan-bulan bergelut dalam kekuatan untuk terus bersemangat dan sekaligus putus asa. Dia masih ingin menjadi tulang punggung bagi penghidupan keluarganya. Ayahnya seorang tua yang tak lagi mampu mencari nafkah. Begitu pula ibunya. Dia juga mempunyai adik perempuan berusia enam belas tahun. Tapi apa yang bisa dilakukan anak seusia itu agar mendapat penghasilan uang. Maka mereka hanya mengais sisa-sisa harta mereka, yang masih ada meski sempat bangkrut lima tahun lalu. 

Dalam hatinya, masih ada harapan bagi Samsa untuk kembali berubah seperti semula, menjalankan hidup sebagaimana biasa. Menjajakan baju-baju (karena dia seorang penjaja baju keliling) setiap hari. Memperoleh uang dari itu, dan memberikannya sebagian besar uang tersebut kepada ibunya. 

Tetapi, di benak keluarga, ada perasaan di mana mereka tak kuat lagi menahan cobaan adanya serangga besar di antara keluarga mereka. Di samping itu, bagaimanapun, Samsa adalah anak ibu dan bapak Samsa, begitu juga dia adalah kakak bagi adik perempuannya. Ketika barangkali Samsa pergi, mereka merasa seakan lepas dari beban sekaligus berat untuk merasa lega. Jadi mereka, sesedih dan sesulit apapun yang terjadi, mereka biarkan Samsa tetap hidup. Memberi makan kepadanya berdasarkan kemampuan mereka. Beruntung, makanan Samsa tak seperti makanan manusia, karena dia seekor serangga, dia tidak suka makanan segar. Yang ia mau makan hanya makanan-makanan sisa yang nyaris busuk. 

Lama-kelamaan, setelah keluarga merasa masih perlu untuk membiarkan Samsa hidup, justru Samsa yang merasa dirinya tak pantas untuk terus hidup. (Saya kesal pada ironi ini, novela ini sungguh mempermainkan perasaan pembaca). Alih-alih dengan memberi makan banyak kepada Samsa dapat menaikkan semangatnya, justru dia menjadi semakin putus asa. Maka Samsa tak pernah lagi memakan makanan yang adik perempuannya sediakan, bahkan tidak menyentuhnya sama sekali. Hari-harinya berjalan seraya diiringi dengan postur tubuhnya yang semakin kurus. Dan suatu pagi, pembantu rumah mendapati Samsa telah tergeletak mati. 

Semua orang tentu tak mau memiliki keinginan seperti Samsa. Yang harus menyerah kepada keadaan menyedihkannya. Kita, di tengah pendemi yang tak menentu kapan sirna, harus tetap mengidupkan optimisme. 

Menarik dengan teknik penokohan yang Kafka gunakan dalam novela ini. Tokoh-tokoh dibiarkan beradegan sesuai dengan watak mereka masing-masing. Apa yang semua para tokoh lakukan begitu melekat, seolah-olah kita pernah bertemu mereka. Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika membaca novela ini. Dalam beberapa ulasan lain disebutkan bahwa tokoh itu merupakan representasi dari sosok-sosok di sekitar Kafka. Samsa sangat takut kepada ayahnya, sama halnya Kafka juga tak akur dengan ayahnya. Kepada ibu dan adik perempuannya, Samsa sangat merasa nyaman. Begitu juga Kafka terhadap ibu dan adik perempuannya. 

Novela ini adalah versi berbeda dari yang saya baca pertama kali dahulu sewaktu masih SMA. Kalimat pembuka novela inilah yang konon, membuat Gabriel Garcia Marquez memutuskan untuk menjadi seorang penulis. Asyik membaca novel beberapa kali pada rentang usia yang agak jauh jaraknya. Pasti berbeda penafsiran yang timbul ketika membaca novela ini di usia delapan belas tahun dan usia dua puluh tahun. Penafsiran menjadi lebih kompleks ketika pengetahuan juga kompleks. Semakin banyak tahu, semakin bagus pula penafsirannya. Dan itulah yang terjadi pada tulisan ini. Mungkin tanggapan ini tak semenarik tanggapan Eka Kurniawan. Tapi setidaknya saya mencoba memposisikan diri saya di posisi Eka Kurniawan. 

Komentar

Postingan Populer