Dean Street dan Si Gila Karl Marx

London, 1850.

Di antara kemegahan dan gemerlap kota London. Terdapat sebuah jalan yang memanjang tak lebih dari 400 meter. Jalan itu berawal dari Oxford Street dan berakhir di Shaftesbury Avenue. Pihak kepolisian melaporkan bahwa jalan itu adalah "jalan paling murahan dan terparah di London". Di tengah ingar-bingar kota London, kemiskinan memenuhi jalan itu, 1850 silam. Di sanalah, seorang filsuf terbesar abad modern, pemilik paham yang menyebar laksana syariat agama, Karl Marx, tinggal bersama keluarga miskinnya. 

Setelah di usir dari tanah airnya, Jerman. Mereka (Marx dan keluarganya) memutuskan tinggal di Brussels, di sebuah pemukiman para buruh. Namun, suatu saat polisi menangkap Marx, dan ia dibuang ke Prancis. Menetap dengan identitas samaran di Prancis, tak membuat Marx hidup dalam kebebasan. Polisi kembali menemukannya dan mengirimnya ke Inggris. Di kampung miskin itu, di sebuah jalan, bernama Dean Street. 

Di jalan inilah Marx menjalani enam tahun paling sengsara sekaligus menakjubkan bagi dirinya. Di tengah kemiskinan yang menggantunginya. Dengan keras kepala, dia tetap sungguh-sungguh melaksanakan studi pribadinya. Ia habiskan tahun-tahun itu membaca dan menulis di British Museum. Berangkat pukul sembilan pagi dan pulang ke rumah pukul tujuh tiga puluh malam. Lalu dilanjutkan empat sampai lima jam lagi di rumahnya. Waktu itulah dia merampungkan esai paling menakjubkan, Perjuangan Kelas di Prancis.  

Seketika saya menganggap mengapa Marx sebegitu gilanya terhadap keagungan ilmu pengetahuan? Sampai-sampai ia melupakan seluruh kesengsaraan yang menerpa keluarganya? Bahkan, sebab tak bisa memenuhi makanan dan akses kesehatan yang memadai, dua anaknya meninggal. Lakukan hal semacam ini sekarang. Mungkin mertua akan mengusir kita dan melabeli kita sebagai "lelaki tak bertanggung jawab". 

Namun, bukan itu yang Marx kehendaki. Dia sebenarnya ingin antara kehidupan intelektual dan tanggung jawab atas keluarga seimbang. Apalah daya baginya. Dia tidak mampu untuk itu. Masalahnya, justru apakah yang membuatnya bisa, di tengah kerunyaman kondisi keluarga yang tiada henti, dengan sangat bersemangat, menelurkan karya studi ilmiah yang sangat mengagumkan? Marx adalah seorang yang sinting, pikir saya. 

Itu adalah sedikit gambaran apa yang Mario Vargas Llosa tulis dalam sebuah esai berjudul Menjenguk Karl Marx. Dia begitu kagum dengan semangat hidup Karl Marx yang masih tumbuh subur di kala semua keadaan enggan bersahabat baik dengannya. Esai ini pendek saja. Hanya beberapa ulasan kondisi Marx di tahun-tahun sulit itu. Serta kekaguman Vargas Llosa kepada Marx. Mario Vargas Llosa adalah seorang novelis Peru. Dia menulis esai ini di usinya yang ke tiga puluh, pada 1966. 

Saya jadi teringat akan George Orwell, sosok penulis Inggris. Mengarang novel-novel mengagumkan justru di saat-saat kesulitan menimpanya. Dia merasakan kemiskinan sebagaimana mudahnya kita merasakan kenyamanan. Dari saat menjadi polisi kolonial Inggris (yang sangat dibencinya) di Burma, hingga hidup di perkampungan kumuh di kampung halaman. 

Saya juga tak akan melupakan Franz Kafka. Si sastrawan Ceko. Memang dia tidak mengalami keterpurukan dalam ekonomi. Namun, kita tahu bagaimana buruknya hubungan pribadinya dengan sang ayah. Yang menyebabkan dirinya menjadi seorang penyendiri. Pemalu. Sampai setelah itu, kita mengenal istilah Kafkaesque. Yaitu sebuah keadaan di mana seseorang merasa sangat terasing dan dislokasi dari komunitas masyarakatnya. 

Juga mengambil contoh yang lebih dekat, Pramoedya Ananta Toer. Kala di pengasingan lah, di pulau Buru sana, dia menghasilkan sebuah empat jilid novel fenomenal yang nantinya di kenal dengan Tetralogi Pulau Buru. Sebuah karya berlatar awal abad kedua puluh di Indonesia yang mengambil model seorang tokoh pergerakan yang terlupakan dari tinta sejarah, Tirto Adhi Soerjo. 

Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai "orang susah pantang menyerah". Mereka berjuang atas dasar kecintaan. Mustahil, ketika mereka jatuh-bangun melawan keterpurukan kondisi hidup yang sangat merisaukan, dapat terus-menerus berjuang memenuhi hasrat intelektual kecuali atas dasar rasa cinta. Merekalah yang disebut sebagai nabi bagi para mahasiswa, Imam bagi para terpelajar. 

Orang sering kali menjadi lebih bersemangat ketika mereka dalam kondisi paling buruk. Penjajahan kolonial atas Indonesia, di mana kita mengenalnya sebagai zaman paling menyedihkan, telah melahirkan sosok-sosok revolusioner nan pemberani semacam Soekarno, Tan Malaka, dan Mohammad Hatta. Masa kepemimpinan diktator Suharto, di mana keterkekangan hampir seluruh rakyat Indonesia rasakan, telah melahirkan sastrawan-sastrawan kaliber dunia semisal Pramoedya Ananta Toer, Wiji Thukul, dan Ahmad Tohari. 

Rasa tertekan dan cemas bukan hanya dapat "membunuh" orang yang mengalami. Tetapi tak jarang menjadi suatu macam dorongan. Dorongan ini menjadi sebuah titik awal seseorang merasa bahwa dirinya harus bergegas bangkit. Dan dorongan itu terasa murni, tanpa dibuat-buat, alih-alih kebanyakan yang lain disertai pamrih. Jatuh akan melahirkan bangkit, terpuruk akan menghasilkan yang terbaik, dan penindasan akan memunculkan perlawanan. Lawan!! (Teriak seorang aktifis, hahaha).

Kemurnian perjuangan dan perlawanan lebih sering muncul sebab adanya kepentingan atas diri sendiri. Independensi seseorang ketika berjuang melahirkan apa yang orang-orang sebut sebagai "kemurnian hati nurani". Selaras dengan apa yang Pak Pram katakan bahwa pemuda menjadi pioner dalam perubahan dan kemajuan bangsa. Sebab hati mereka masih murni. Belum ditemukannya hasrat untuk berafiliasi dengan kelompok-kelompok tertentu, yang justru banyak dijumpai pada orang-orang yang sedikit berumur. Satu-satunya tendensi kepentingan pemuda adalah kebenaran hakiki. Untuk membela rakyat kecil dan perubahan bangsa.  

Komentar

Postingan Populer