Catatan Pendek 95 Tahun Nahdlatul Ulama

Sudah 95 tahun organisasi masyarakat keagamaan terbesar di Indonesia bahkan dunia ini bergerak bersama masyarakat. Menyejahterakan masyarakat, mengokohkan bangsa serta mengembangkannya. Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi yang konon para aulia lah pendirinya. Salah satu dari beliau adalah guru saya—meski sebenarnya saya tidak pernah bertemu langsung dengan beliau. Yaitu KHR. As'ad Syamsul Arifin, sebagai mediator antara Syaikhona Kholil Bangkalan dan KH. Hasyim Asy'ari Jombang. 

Sebagai organisasi kemasyarakatan yang berbasis keagamaan, NU setidaknya telah berhasil membuat suatu basis komunitas yang super besar. Merangkul berjuta-juta umat. Bahkan sampai saat ini, ditengarai tak ada satu pun organisasi masyarakat yang anggotanya menyamai anggota NU. Sebuah keunggulan di satu sisi dan barangkali bisa jadi terdapat kelemahan di sisi lain. Tapi saya agak jengah untuk menyebut itu sebagai "kelemahan". 

Kita tahu bagaimana Indonesia, dengan penduduk yang sangat membeludak memberi sebuah keuntungan tersendiri sekaligus juga banyak memberikan kesulitan, kelemahan atau istilah apapun yang pantas untuk menyebutnya. Suatu hal dapat bermanfaat bagi kita karena kita tahu bahwa hal itu terasa cukup untuk kita. Tidak berlebihan. Kita bisa mengontrol hal itu. Sedang hal yang berlebihan, seringkali sulit terkontrol, susah terorganisir. Namun, Nahdlatul Ulama, dengan basis anggota yang besar, masih berada dalam koridor yang sangat terkontrol. Setidaknya, ini berdasar dari apa yang saya lihat. 

Sialnya, seringkali suatu basis keanggotaan yang besar dari suatu komunitas, atau dalam hal ini kita katakan organisasi (sebab kita membahas NU), dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan krusial suatu kelompok bahkan perseorangan tertentu. Keanggotaan jumbo ini digunakan sebagai alat untuk mobilisasi massa. Yang pada tahap tertentu, menjadi semacam ancaman bagi nama baik organisasi itu sendiri. 

Mari kita lihat seperti apa perjalanan Nahdlatul Ulama sejak didirikan sampai sekarang. 

1926, adalah tahun resmi berdirinya NU. Saya yakin, selain didasari kekhawatiran para ulama akan terkikisnya nilai-nilai keagamaan di masyarakat yang secara perlahan mulai tergeser oleh norma-norma dan budaya Barat, pendirian NU juga didasarkan pada kesadaran rakyat pribumi waktu itu akan pentingnya nasionalisme, berkebangsaan, dan kebebasan dari penjajah. Tak perlu kita mengorek sejarah lebih dalam, dengan membaca ala kadarnya saja kita akan tahu bahwa pada tahun-tahun itu mulai banyak pendirian organisasi-organisasi kebangsaan. Akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 adalah suatu masa di mana penduduk pribumi Indonesia mulai sadar akan nasionalisme, jiwa-jiwa patriotisme mulai tumbuh. Hal ini terjadi berkat kebijakan Etische Politiek (politik etis) atau lebih dikenal dengan sebutan politik balas budi yang pemerintah kolonial Belanda berikan. Sebuah kebijakan besar yang kemudian menjadi bumerang bagi pemerintah kolonial Belanda sendiri. 

Benar bahwa pada mulanya NU merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan-keagamaan. Namun, di saat kondisi perpolitikan di Indonesia yang baru merdeka terus mengalami pergolakan: setiap partai politik berusaha memperjuangkan ideologi mereka sebagai landasan pemikiran di samping Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Akhirnya pada tahun 1952, NU mentahbiskan diri sebagai partai politik. Dari sinilah langkah awal NU untuk terjun ke dalam lingkaran kontestasi politik praktis. 

Kondisi ini berjalan dan berkembang dengan baik. Hingga pada tahun 1973, NU memutuskan untuk melebur diri ke dalam keanggotaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pada saat ini, NU dinilai tidak lagi menjadi kekuatan besar dalam dunia politik di Indonesia. Dan puncaknya, pada tahun 1984, melalui pelaksanaan Muktamar NU yang ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo, diputuskan bahwa NU kembali kepada ajaran-ajaran otentik yang berlandaskan prinsip awal pendirian tahun 1926. Selain itu, NU dengan lantang menegaskan, secara organisatoris, tidak akan terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. 

Kembali pada akibat buruk dari keanggotaan besar yang terorganisir dengan baik. Sebenarnya, berkali-kali telah dijumpai beberapa orang dan kelompok yang menggunakan nama besar NU untuk menggapai tujuan-tujuan penting tertentu. Saya tidak akan menyebutkan semuanya di sini. Karena saya yakin dengan memberi satu contoh yang paling sesuai dan dan tepat akan membuat kita sadar bahwa NU sudah diolok-olok, hanya dijadikan sebagai alat untuk mendulang polpularitas, gengsi, dan kekuatan publik. 

Coba kita lihat bagaimana pemilihan presiden Indonesia yang terbaru. Bukankah itu praktek dari pemanfaatan nama dan basis besar NU? Saya rasa Jokowi—entah dia sadar atau tidak, tapi saya yakin dia sadar—telah memanfaatkan nama besar KH. Ma'ruf Amin sebagai warga NU untuk mendulang suara, mengambil simpati, dan merebut dukungan dari warga Nahdliyyin. Beberapa lembaga survei bahkan tidak memprediksi tingginya elektabilitas dan peluang KH. Ma'ruf Amin untuk maju ke pilpres. Saya tidak mengatakan bahwa beliau tidak pantas untuk mendampingi Jokowi. Beliau petinggi NU, tokoh terhormat di kalangan ulama-ulama NU. 

Dari hal ini, NU bangga kepada salah satu anggotanya yang bisa maju menjadi wakil presiden Indonesia, tapi juga sekaligus kesal (ini pilihan) karena telah dimanfaatkan untuk mendulang suara. Tak salah jika kita benar-benar berkata bahwa NU, secara organisatoris, tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Namun, bagaimana dengan pendiriannya secara ideologis, pemikiran, dan lebih parah secara sikap?

Sudah saatnya NU benar-benar bersih dari hal-hal yang berbau politik, mobilisasi, dan dominasi pengaruh dari seorang tokoh. NU bukan alat untuk mendukung satu pihak yang ingin melemahkan pihak lain. NU juga bukan mesin untuk meninggikan satu kepentingan dan merendahkan kepentingan yang lain. Tindakan demikian hanya akan memperburuk citra baik NU sendiri.

Terakhir, selamat ulang tahun untuk Nahdlatul Ulama yang ke-95. Selamat berkhidmah dengan menebarkan aswaja dan meneguhkan komitmen berbangsa.  

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer