Bagaimana Xingjian Berbeda dengan Kafka

Saya menangkap apa yang hendak Gao Xingjian¹ katakan ketika dia menulis cerita pendek berjudul Kecelakaan ini. Setidaknya saya menebak Xingjian berkata seperti ini. “Jangan buat tehnik penokohan yang melulu konvensional.” Karena dalam cerita ini, tak ada penyebutan nama-nama tokoh, sedang kebalikannya: menamai semua tokoh, hampir kita jumpai di seluruh cerita di muka bumi.  
Setiap tokoh hanya disebut sebagai apa yang sedang tokoh itu kerjakan: pesepeda, sopir bus, kondektur, pejalan kaki, pemilik mobil sedan hijau, dan sama sekali tak ada nama yang melekat pada diri tokoh-tokoh itu. Saya kira menarik melihat tokoh-tokoh beradegan tanpa perlu tahu siapa nama-nama mereka. Saya tak menjumpai tokoh-tokoh yang menonjol. Semua tokoh terkesan dibiarkan lewat sekejap saja. Dan cerita berjalan sebagaimana kita tengah melihat suasana kota yang riuh dengan semua keributannya.
Berawal dari adanya seorang bapak-bapak pesepeda yang berusia kisaran empat puluh tahun. Pada sepedanya terdapat roda tambahan sebagai penyangga bagasi, tempat di mana seorang anak kecil empat tahun meringkuk. Bapak itu pulang setelah menjemput anak kecil itu bersekolah.
Di tengah perjalanan itu, dia menyeberang dengan seksama sementara jalanan begitu ramai. Klakson berbunyi kencang dari sebuah bus yang tidak mengerem sedikit pun. Pesepeda sudah ada di tengah jalan dan tengah susah payah mengayuh sepedanya untuk mencapai sisi seberang. Namun, bus tak kunjung melambat. Hingga sampailah pada peristiwa kecelakaan yang harus meletuskan kepala pesepeda sebab terlindas bus, hingga menewaskannya. Beruntung anak kecil itu selamat tanpa luka.
Tak butuh waktu lama bagi kejadian ini untuk mengundang kerumunan orang-orang. Kerumunan menjadi bertambah sesak. Orang-orang berkumpul seraya bertanya ada apa dan mengapa. Sehingga setelah polisi datang dan mayat si pesepeda mulai dibawa sebuah mobil ambulans, mereka juga tak kunjung pergi. Orang-orang terus berdatangan dengan pertanyaan-pertanyaan baru perihal apa yang terjadi.
Dalam beberapa kasus yang terjadi di dunia nyata, kasus kriminal apapun, seringkali lebih menarik perhatian publik ketika sang pelaku belum diketahui. Artinya tokoh tidak diketahui, seperti cerita Xingjian. Orang-orang akan mengikuti jalannya kasus itu. Membaca semua artikel berita yang membahasnya, menonton video berita yang memperbincangkannya, dan pada tahap lebih dalam, mengangkat topik-topik itu ke dalam berbagai forum diskusi. Entah diskusi ilmiah para mahasiswa, sampai diskusi gosip oleh ibu-ibu. Hingga ketika pelaku tertangkap, hanya tinggal menunggu keputusan hukum oleh hakim pengadilan, lantas setelah itu akan dibiarkan berlalu.
Seperti kasus video syur yang diduga kuat diperankan oleh salah satu artis kenamaan Indonesia. Orang-orang, dengan ketidakpastian siapakah sang pelaku, begitu antusias dan penasaran. Bahkan menjadi berita yang paling diperbincangkan sampai beberapa hari. Tapi di saat pelaku diketahui secara pasti, yang tak lain adalah artis yang sudah lama dicurigai itu, antusiasme masyarakat menjadi semakin berkurang, perlahan maupun secara drastis. Dan dalam beberapa waktu selanjutnya, kasus itu pun akan dilupakan.
Aturan dasar bercerita, terutama dalam karya sastra, pada dasarnya sama, tak berbeda sama sekali. Seperti inilah kira-kira: diawali dengan pengenalan. Baik penjelasan tokoh, deskripsi tempat, asal mula cerita dan sebagainya, yang sekiranya membuat pembaca tahu apa yang akan penulis ceritakan. Lalu dilanjutkan dengan konflik. Bisa pertikaian antar manusia, manusia dengan alam, atau bisa jadi manusia dengan perasaannya sendiri. Yang terakhir pasti penyelesaian. Solusi-solusi atas masalah-masalah dan konflik-konflik yang terjadi. Setidaknya begitulah normalnya sebuah cerita.
Begitu juga dengan satu cerpen Xingjian ini. Saya merasa agak dibuat bosan dengan apa yang ditulis di paragraf awal. Hanya pengenalan seperti biasa: suasana di kota yang ramai, dengan kendaraan-kendaraan yang batuk asap hitam. Namun, pelan-pelan, seperti yang tertulis di judul, kecelakaan akhirnya terjadi. Dan ini cukup membuat saya kaget. Konflik terus berlanjut. Orang-orang mulai berdebat siapakah gerangan yang salah. Seseorang mengatakan, bagaimanapun, kecelakaan pasti disebabkan oleh si penabrak. Jadi si sopir lah yang pantas disalahkan. Namun, sebagian yang lain menolak. Klakson bus sudah berbunyi begitu kencang. Mereka yakin pasti pesepeda mendengarnya. Hanya saja dia yang hendak bunuh diri. Hingga cerita berakhir, boleh jadi kasus kecelakaan tak ada penyelesaian pasti.
Jika melihat aturan dasar bercerita, maka bisa dikatakan cerpen ini cacat. Karena nyatanya tak ada penyelesaian. Tapi, saya rasa justru ini yang hendak Xingjian tekankan. Bahwa dia hanya menangkap sekilas suatu peristiwa. Kalau kita kaitkan dengan fotografi, Xingjian hanya memotret satu momen. Dan dalam ranah sastra, dia mengabadikannya dalam sebuah cerita yang berjalan sebagaimana yang dia lihat. Perihal bagaimana jalannya solusi, dia menyerahkan kepada pembaca, atau kepada orang yang melihat hasil jepretannya.
Berlainan dengan Gao Xingjian yang membuka cerita dengan deskripsi tentang tokoh, keadaan, dan suasana, Franz Kafka² justru membukanya dengan konflik. Saya menemukannya dalam cerita Metamorfosa Samsa. Coba kita baca bagaimana kalimat pembuka dari novela ini.
“Ketika pada suatu pagi terbangun dari mimpi buruk, Gregor Samsa mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor serangga raksasa yang menjijikkan di ranjangnya.”
Pada permulaan cerita, konflik telah dimunculkan secara tiba-tiba. Saya sempat berpikir apa yang akan membuat tertarik nantinya jika konflik sudah ditampilkan sedari awal.
Keraguan saya selanjutnya menjadi sebuah keterkejutan sekaligus kekaguman. Konflik yang berada di awal ternyata tidak lantas menghilangkan konflik di tengah cerita. Kafka pandai dalam hal ini. Jika konflik kita ibaratkan sebagai air yang tumpah, dia hanya perlu menyebarkan air itu. Sehingga semua di sekitarnya nyaris basah. Begitulah Kafka. Dia melebarkan konflik. Membuatnya menjadi bercabang-cabang. Yang pada akhirnya, kebosanan yang saya prediksi akan muncul ketika konflik sudah ditampilkan sejak awal cerita, menjadi tidak mungkin. Maaf Om Kafka, saya telah meragukan Anda.
Tidak sampai di situ, Kafka juga menerapkan konsep serupa pada salah satu novel terbaiknya, yang dinobatkan sebagai karya sastra terbaik sepanjang masa versi The Guardian, Der Prozess (dalam terjemahan bahasa Indonesia berjudul, Proses). Tengok saja bagaimana Kafka membuka novel itu. “Seseorang pasti telah memfitnah Josef K, sebab pada suatu pagi ia ditangkap tanpa pernah melakukan kejahatan.” Siapapun pasti berpikir mengapa orang yang tak pernah melakukan kejahatan ditangkap.
Coba kita lihat novel Kafka yang lain, The Castle (novel yang juga dinobatkan sebagai karya sastra terbaik sepanjang masa oleh The Guardian). K, tokoh utama yang seorang juru ukur tanah, ketika pertama kali tiba di dusun di mana terdapat kastil yang hendak ia kunjungi, seketika cekcok dengan anak dari pemilik kastil. Kafka hampir selalu membuka cerita-ceritanya dengan konflik. Dan hebatnya, Kafka tak pernah kehabisan konflik. Ketika dia menumpahkan air, dia tak langsung membersihkannya. Namun, melebarkan terlebih dahulu tumpahan itu. Hingga kemudian ia biarkan mengering dengan sendirinya.
Setiap penulis tentu memiliki ciri khas berbeda dalam karya-karya mereka. Tak pelak jika beberapa ahli mengatakan bahwa karya sastra tidak bisa dilombakan. Karena setiap karya adalah keunikan. Dan setiap keunikan tidak bisa dinilai dengan sebuah standar penilaian yang mutlak. Tapi perihal ini, saya tidak akan condong kepada salah satunya. Karena saya percaya ada satu pola yang serupa yang membuat satu karya identik dengan karya yang lain. Serta di sisi yang lain, terdapat keunikan yang hanya bisa dijumpai pada satu karya saja.

¹ Gao Xingjian, sastrawan eksil Cina yang tinggal di Prancis. Dia meraih Hadiah Nobel Kesusastraan tahun 2000. Salah satu karya terbaiknya berjudul Lingshan. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Gunung Jiwa.
² Franz Kafka, penulis berbahasa Jerman kelahiran Praha. Dianggap sebagai pelopor prosa modern. Terdapat istilah “Kafakaesque”, yang dinisbatkan kepada Kafka. Yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut suasana keterasingan dan dislokasi yang dialami oleh individu dalam masyarakatnya. Salah satu karya terkenalnya adalah The Castle.


Komentar

Postingan Populer