Achmad Muhaimin, Obituari

Seseorang berhasil hidup kembali setelah dinyatakan meninggal. 

Peristiwa itu ada di sebuah cerita pendek Juan Bosch. Pengarang Amerika Latin, lebih tepatnya Republik Dominika. Cerita itu berjudul, "Jiwa Indah Don Damian".

Seperti ini ceritanya:

Don Damian, seorang lelaki beristri, telah mengalami masa koma selama berhari-hari. Suhu tubuhnya hampir mencapai 104. Orang-orang di sekitarnya, telah paham seraya pasrah, bahwa embus nafasnya tak akan bertahan lebih lama lagi. Jadi mereka mendatangkan rahib untuk melakukan upacara pengakuan dosa. Sebagai upacara terakhir bagi seorang hamba taat sebelum menghadapi ajal. Keesokan hari. Don Damian telah benar-benar dinyatakan pergi. 

Semua orang pecah tangis. Mereka semua belum siap dengan apapun yang terjadi pada Don Damian, juga kepergiannya. Namun, mereka tidak tahu bahwa jiwa Don Damian masih menggantung di atas tubuh tuannya. Jiwa itu mendengarkan seluruh apa-apa yang orang-orang terdekatnya perbincangkan tentangnya. Tentang seperti apa dia di kala masih hidup dan terutama tentang haru-biru mereka atas matinya Don Damian. Jiwa itu jadi tahu bahwa orang-orang begitu menyesal dan sedih dengan kepergiannya. 

Tak butuh waktu lama untuk jiwa Don Damian merasakan apa yang orang-orang terdekatnya rasakan. Maka saat itulah, dia berusaha masuk kembali ke dalam tubuhnya yang dingin dan terbujur kaku. Untuk meyakinkan orang-orang bahwa dia belum mati. Dokter begitu terkejut setelah mendapati urat nadi Don Damian yang menunjukkan dia masih hidup. Semua orang tak percaya. Tapi Don Damian betul-betul hidup lagi. 

Saya membayangkan bagaimana seandainya ini terjadi di kehidupan nyata. Terjadi pada teman saya yang baru saja mengucap selamat tinggal untuk seluruh kehidupan di dunia. Saya benar-benar membayangkan ini. Jiwa teman saya itu pasti masih tak jauh-jauh pergi dari rumah. Dan saya mengharap dia melihat bagaimana ayah, ibu, saudara-saudara kandung, dan juga kami, teman-teman terbaiknya, meratap sedih atas kepergiannya yang, bahkan kami tidak pernah siap untuk itu. Tentunya, seperti halnya orang-orang terdekat Don Damian, saya juga belum siap untuk kehilangan siapapun, termasuk kehilangan teman saya ini. 

Achmad Muhaimin, seorang teman yang selalu berjuang ketika kami saling bersaing untuk menjadi yang terbaik. Dia teman yang mengajari saya bagaimana kata semangat mesti selalu terpatri dalam-dalam. Saya melihat dalam hidupnya (dirinya)—kehidupannya yang singkat ini—bahwa tak ada satu pun rasa pesimisme, yang selama ini, menjadi hal wajar dalam diri saya. Dia menang telak atas saya dalam rasa semangat yang membara. Gagal bukan hal yang bisa menjegalnya. Dan ketika saya mengantar jasad itu ke rumah terakhirnya. Saya masih melihat bagaimana dia terus mengajarkan kepantangmenyerahan kepada semua orang. 

Suatu kali, saya mendengar dia mengeluh tentang penyakit yang Allah turunkan kepadanya. Dia merindukan hari-hari di mana semua senyum dapat ia nikmati cuma-cuma alih-alih dengan rasa sakit yang tak kunjung hilang. Dia memimpikan suatu saat, dia akan merasakan kehangatan rekah-rekah senyum itu lagi. Tapi, setelah keluh-kesah itu terujar dari mulutnya yang lemah, ia tutupi keluh itu dengan rasa optimisme yang tak pernah saya temukan pada diri saya. Dia selalu berujar bahwa semuanya akan baik-baik saja. 

Dia juga mengajarkan ketulusan. Ketulusan untuk menyerah diri kepada-Nya sambil lalu mengubur dalam-dalam cita-cita yang sudah lama ia ingin capai. Setelah mengantarkan jasadnya ke pemakaman, saya (kami) beramah-tamah di rumahnya. Ibunya bilang bahwa dia, dua hari sebelum dia benar-benar tiada, dia berkata terbata-bata "Biar Masnya saja yang sukses, Bu". Waktu itulah saya begitu haru. Ketulusan itu bukan dari mulutnya, tapi dari hati kecil yang mampu berserah diri. 

Tentang mati manusia tak ada kekuatan untuk mengetahuinya, menjauhinya, menghindarinya, bahkan untuk sekadar menundanya. "Wahai Malaikat Pencabut nyawa, aku ingin meminum habis kopiku sebelum kau terbang membawa jiwaku." Tak ada satu pun manusia yang mampu berbuat demikian. Jika kematian itu diputuskan harus jatuh pada tahun, bulan, hari, jam, dan detik ini juga, kita hanya bisa diam, pasrah, dan berdoa, semoga dosa diampuni dan amal baik diterima. 

Kekuasaan itu mutlak. Tuhan itu maha kuat. Apa lagi yang harus hamba perbuat jika berhadapan dengan kemahakuatan Allah?

Satu hal yang saya sesalkan dari Imin (panggilan akrab dari Achmad Muhaimin) adalah semangatnya yang tak pernah surut, yang dengan kematiannya ini, menjadi begitu sia-sia. Dan begitu juga sosok kakak terbaiknya, Adim (Abdul Adim). Saya selalu iri kepada mereka berdua. Mereka memiliki sebuah keluarga yang mempunyai semangat yang sangat menggebu. Semoga semangat itu tetap membara, meski salah satu dari mereka telah mendahului pergi. 

Semoga Achmad Muhaimin bisa tenang di sana. Di tempat yang semua orang tak ingin mengunjungi. Bersama kesepian yang menemaninya, kenikmatan yang melimpahinya, ampunan yang menyiraminya, dan keridlaan dari Sang Pencipta, Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Allahummaghfir lahu war hamhu wa 'aafihi wa' fu 'anhu. 



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer