Stream of Consciousness Ala Roberto Arlt

Bagaimana jika seorang pria yang telah lama bercerai dengan istrinya diajak minum teh berdua dengan seorang perempuan bersuami? Yang mana suami perempuan itu, yang tengah pergi jauh, tak lain adalah teman si pria sendiri? Spekulasi-spekulasi kotor barangkali akan cepat muncul dalam benak seseorang jika membaca kalimat di atas. Tentang mereka yang hanya berduaan, ciuman di antara keduanya, atau bahkan sesuatu yang lebih intim dari sekadar berciuman. 

Roberto Arlt dengan lihai memancing pikiran-pikiran demikian dari benak pembaca. Saya tidak mau munafik, saya juga mengalami hal semacam ini. Saya sangat mengaharap-harap mereka saling membuka baju, perlahan-lahan, di mana mereka hanya disaksikan empat tembok yang mengelilingi mereka. Pikiran ini terus dipancing sang penulis dengan sangat pandai. 

Tak banyak adegan aksi dalam cerita pendek berjudul 'Pada Suatu Ahad Sore' ini. Hanya berisi sebuah percakapan di jalanan lalu berpindah ke rumah si wanita. Maka saat itulah, manakala mereka hanya berdua saja, pikiran-pikiran jorok mulai muncul dari benak Eugene Karl, nama tokoh lelaki. 

Eugene terus memikirkan bagaimana jika beberapa saat lagi dia melihat Leonilda membuka habis bajunya di depannya. Lalu dia mulai mengecup pipi wanita itu dan meraba kedua payudaranya. Eugene terus-menerus berpikiran jorok. 

Sesungguhnya cerita ini adalah tentang penantian. Menanti sesuatu yang bagi sebagian besar orang merupakan fase puncak kenikamatan hidup: seks. Meski hanya terdapat sedikit adegan aksi. Cerita ini ditulis dengan durasi cukup panjang. Dan sungguh asyik membaca cerita tentang seks. Saya tidak akan munafik dengan pengakuan ini (asalkan jangan sering-sering) hahaha.

Namun, yang saya tunggu-tunggu, yang saya harap-harap tidak muncul. Saya mengira mungkin beberapa paragraf lagi adegan menggairahkan itu akan terjadi. Tetapi saya salah kira. Ketika cerita itu sampai pada titik di mana semua pembaca barangkali akan menebak bahwa kejadian itu akan terjadi, ternyata tidak terjadi. Saya rasa, di sinilah salah satu daya pikat dan pesona dari Arlt. Dia pandai mempermainkan perasaan pembaca. Dia tahu betul di mana letak kira-kira pembaca akan mengaharap adanya klimaks. Tapi dia mengulur klimaks itu. Ini membuat jengkel sekaligus menyenangkan. 

Dari cerita-cerita pendek yang saya baca selama ini (bacaan saya yang miskin). Cerita ini adalah cerita yang paling saya suka. Terutama ketika sang narator menggambarkan bagaimana perasaan dan suasana hati Eugene yang merasa gugup ketika berhadapan dengan Leonilda. Setidaknya saya menganggap Roberto Arlt sukses dalam usahanya menguak perasaan dan suasana hati Eugene. 

Pengungkapan suasana hati semacam ini biasa ditemukan dalam novel-novel James Joyce atau Jane Austen. Meski saya tidak membaca langsung karya mereka karena saya hanya membacanya melalui ulasan. Namun, saya menjumpai teknik yang biasa disebut monolog interior (stream of consciousness) ini dalam novel Ernest Hemingway, sastrawan terbesar Amerika, yang dalam bahasa Indonesia berjudul, 'Kepada Siapa Genta Berdentangan' (novel yang belum saya selesaikan).

Roberto Arlt sedikit memodifikasi teknik ini. Yang sering dijumpai adalah sang tokohlah yang membocorkan bagaimana suasana hatinya sendiri. Namun, Arlt berlainan. Keadaan batin sang tokoh dikuak oleh sang narator. Di mana narator berlaku sebagai tokoh mata Tuhan, yang maha tahu. 

Pelukisan perasaan batin kurang-lebih bisa dianggap sebagai keterlibatan dan kehadiran sisi psikologis pada seorang tokoh. Dan hal demikian jarang bisa dihindari oleh kebanyakan penulis. Di samping karena adanya kebutuhan dalam bercerita, tentunya dengan bermaksud untuk memberikan sajian terbaik bagi pembaca, juga pastinya manusia tidak pernah bisa lepas dari psikologi. Karena manusia itu sendiri adalah objek dari kajian psikologi. Begitu pula tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita, walaupun mesti kita akui bahwa itu hanya rekaan. Setidaknya kita tidak salah apabila menganggap tokoh-tokoh tersebut sebagai manusia. 

Pada abad kedelapan belas. Ketika ilmu psikologi belum begitu berkembang seperti abad sekarang. Novel, drama, cerita pendek menjadi salah satu sumber bahan kajian bagi ilmu psikologi, yang dengan gigih terus berusaha dikembangkan oleh para ahlinya. Tampaknya ini agak meragukan. Karena, bagaimana bisa seorang sastrawan, dengan karya-karyanya dijadikan acuan dalam kajian psikologi?

Menilik kembali ke atas. Tokoh-tokoh cerita sering kali lebih alamiah dalam menampilkan perasaan mereka, isi hati mereka, bahkan pikiran-pikiran mereka. Karena jika beberapa karya tersebut diselidiki semakin mendalam. Dijumpai beberapa kesamaan antara tokoh dalam cerita dengan si penulis sendiri. Mengindikasikan bahwa diri sendiri si penulis adalah sumber inspirasi bagi karya mereka sendiri. Setidaknya demikianlah alasan para psikolog zaman itu. 

Selain satu alasan tersebut. Jika kita menelaah lebih luas, bahkan acapkali keberadaan tokoh-tokoh merupakan bentuk perwakilan dari orang-orang di sekitar penulis. Selanjutnya penulis melukiskan perasaan mereka, keadaan batin mereka, dan gambaran pikiran-pikiran mereka. Lalu pada tahap berikut, dari hal ini ilmuan-ilmuan sastra menelurkan anggapan-anggapan (yang mayoritas anggapan-anggapan ini diterima) bahwa novel bisa jadi merupakan biografi yang ditulis secara tidak sadar (autobiografi).

Lantas, apa keunggulan dari cerpen ini selain sisi psikologi yang ditampilkan dengan begitu cerdas? Kembali ke awal. Penulis dengan bpandai mempermainkan perasaan pembaca. Menaik-turunkan tensi emosi pembaca. Roberto Arlt, seorang cerpenis, novelis, dan jurnalis Argentina yang saya rasa memiliki keterampilan psikologi di atas rata-rata.(*)


*) Beberapa keterangan diambil dari buku Teori Kesusastraan (Rene Wellek dan Austin Warren), buku Ensiklopedia Sastra Dunia (Anton Kurnia), dan blog pribadi Eka Kurniawan. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer