Seekor Monyet Yang Diajarkan Cara Berbicara

Seorang pria telah membeli seekor monyet dari sebuah kelompok sirkus yang hampir bangkrut. Dia memiliki angan bahwa dia akan mengajari monyet tersebut bagaimana caranya berbicara. Dan suatu saat dia benar-benar akan melihat monyet itu berbicara. 

Pria tersebut terus mengajarkan si monyet bagaimana cara berbicara. Mulai dari bagaimana mengucapkan huruf demi huruf. Huruf-huruf vokal dan huruf-huruf konsonan. Mengajarkan pendidikan fonetik pada monyet. Berhari-hari, melewati bulan-bulan, dan melampaui tahun demi tahun. 

Namun, monyet itu tak kunjung bisa berbicara, bahkan hanya untuk mengucap kata saja dia tidak mampu. Dia hanya bisa melafalkan beberapa huruf. Tidak semuanya. Dan pria itu mulai tampak putus asa. 

Hingga suatu ketika. Pria itu merasa kesal. Dia memukuli monyet itu. Dia berpikir monyet ini telah menjadi korban dari penelitian ambisius manusia tak becus semacam dirinya. 

Monyet itu jatuh sakit hingga beberapa lamanya. Pria itu tak menjumpai monyetnya bisa berbicara. Namun, beberapa kesempatan, ia mendapati bahwa si monyet, setelah ia ajarkan bagaimana cara berbicara, menjadi tampak lebih manusiawi. Monyet itu menjadi sering tampak merasa bersalah sebab geram dengan ketidakmampuannya untuk mengucap sepatah kata pun. 

Lalu, pada akhirnya, ketika monyet benar-benar ada pada keadaan yang sangat merisaukan. Karena dia mulai terlihat kurus. Dia hanya bisa menggeletak di ranjangnya sepanjang hari. Di ujung jalan kehidupan itu, dia menjadi tampak lebih emosional dan sering menangis. Seolah dia tahu bahwa dia akan mengalami kematian. 

Kemudian di akhir hayatnya tersebut. Monyet itu berbicara kepada sang tuan. Dia sungguh-sungguh berbicara. Pria itu berhasil. 

Cerita pendek Leopoldo Lugones, sastrawan kenamaan Argentina ini terkesan tidak seperti cerita pada umumnya. Ia lebih mendekati kepada sebuah laporan penelitian. Pada sepertiga pertama isi cerita. Kau akan mendapati hanya mengenai perkembangan-perkembangan si monyet dalam proses belajar berbicara. Namun, tentunya, hal ini sangatlah eksperimental. Mengingat acapkali kita jenuh dan bosan dengan metode bercerita yang begitu-begitu saja. 

Diceritakan pula sang narator pernah membaca sebuah artikel yang memuat suatu teori tentang mengapa monyet tidak berbicara. Teori itu mengatakan, "monyet tidak berbicara hanya karena dia tidak ingin berbicara". Sepintas, teori ini tampak konyol. Bagaimana mungkin monyet tidak bisa berbicara hanya karena dia enggan untuk berbicara? 

Ini adalah humor yang menggelitik. Sangat menggelitik. Lalu, jika demikian, apa alasan monyet enggan untuk berbicara? Bukankah lebih nyaman menyampaikan informasi dengan susunan kata-kata dibanding harus berteriak kencang dan tak keruan? Saya rasa pertanyaan ini tak memerlukan jawaban. 

Kemudian muncul spekulasi bahwa barangkali monyet adalah bangsa yang terpinggirkan dari bangsa manusia. Atau setidaknya kita bisa mengatakannya dengan kata yang lebih dramatis, "disingkirkan" oleh bangsa manusia. 

Mungkin hal ini hanya berlaku bagi orang-orang yang setia mati-matian kepada Darwin. Yang mengatakan bahwa manusia dan monyet merupakan bermula dari satu keluarga. Namun, mungkin entah karena apa. Mereka saling bersaing, barangkali karena berusaha saling berebut kekuasaan wilayah, teritorial, atau hal semacamnya. Kemudian, karena kapasitas otak manusia lebih besar daripada monyet. Bangsa monyet tersingkirkan. Mereka menjadi terbelakang. Yang selanjutnya, memengaruhi fungsi otak mereka dan semakin jauh, menurunkan fungsi otak mereka sehingga, mereka tak pernah mengenal bahasa yang memiliki lambang. 

Pada zaman modern. Sebagian manusia membandingkan monyet dengan manusia idiot. Memang banyak dijumpai beberapa orang idiot yang tak mampu mengucap sepatah kata layaknya monyet. Hal semacam ini ditemukan kemiripan dengan monyet dalam hal keterbelakangan fungsi otak. Di samping ada faktor lain penentu, semisal, struktur tatanan mulut monyet dan manusia yang tidak serupa. 

Namun, seringkali manakala kita tengah berpikir tentang manusia idiot yang tidak bisa berbicara, seakan-akan kita spontan menganggap mereka berasal dari kelompok lain, bukan manusia. Pikiran demikian sangatlah jahat. Tapi, ya, begitulah manusia, terkadang sangat suka merendahkan orang lain. 

Mengapa setelah monyet diajari cara berbicara menjadi bersikap lebih emosional meski pengajaran itu gagal? Saya akan mengingatkan anda tentang kutipan dari Descrates dalam bahasa Prancis yang berbunyi, "Cogito ergo sum". Yang dalam bahasa Indonesia berarti, "Aku berpikir, maka aku ada". 

Kegiatan berbicara merupakan salah satu kegiatan berpikir. Kita tentu memikirkan terlebih dahulu apa yang hendak kita katakan. Hal ini saya anggap jika melihat pada kadar normalitas, sebagian besar, secara umum. Artinya kebanyakan manusia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Ketika seseorang berpikir tak jarang kegiatan ini juga melibatkan hati. Contohnya, sering kita jumpai seseorang yang merasa bahagia hanya karena ia bisa leluasa melakukan proses berpikir. Dan si monyet mengalami hal semacam ini. Di samping dia bisa mempertajam fungsi otak dengan berlatih berbicara, dia juga mempertajam fungsi hati atau perasaan melalui proses berpikir tersebut. 

Nah, maka dari itu, ketika si monyet belajar berbicara, secara tidak sengaja, sadar ataupun tidak dia juga belajar berpikir. Hal ini merupakan salah satu kegiatan yang bisa kita namakan sebagai "memanusiakan hewan". Ini salah satu representasi atau contoh dari kutipan Descrates di atas, "Aku berpikir maka aku ada".

Mari kita senantiasa berpikir, tentang apapun. Karena, hanya ketika berpikir lah kita bisa dianggap ada. Adanya otak bukan untuk didiamkan. Tapi untuk digunakan. Dan sebagai generasi muda kita bukan hanya dituntut berpikir sebagaimana biasa, tapi juga harus secata kritis. Selamat berpikir. 



Komentar

Postingan Populer