Persahabatan Filsuf dan Sastrawan

Mengapa sebagian orang menganggap sastra sebagai suatu karya yang sarat akan pemikiran-pemikiran filosofis? Apa karena sastra sering kali menggunakan metafor sehingga sama dianggap sulit (membingungkan) dengan filsafat? Metafora menyembunyikan makna di balik perumpamaan sederhana. Filsafat berusaha menemukan makna yang dianggap paling dasar (tersembunyi). 

Ketika kita menjumpai metafora dalam karya sastra. Maka kita berusaha menemukan makna di baliknya layaknya seorang filsuf yang mencari pemikiran dasar yang filosofis. Di situlah letak keterkaitan antara sastra dan filsafat. 

Setidaknya itu sedikit basa-basi dari saya perihal hubungan sastra dan filsafat. Tapi itu hanya berlaku pada sebatas metafora. Metafora sering kali bermuatan filosofis. Lalu bagaimana dengan sastra-sastra realis? Yang menggambarkan dengan jujur apa yang hendak disampaikan?

Sampai saat ini, sebagian besar orang masih menganggap sastra identik dengan filsafat. Karena, memang, jika menengok kembali bagaimana dahulu sastra dan filsafat berjalan beriringan, penganggapan itu tak dapat ditampik. Sebagian sastrawan, karya-karyanya dianggap filosofis. Dan sebagian filsuf, pemikiran-pemikirannya yang ditulis dianggap bersifat sastrawi. 

Keduanya sama menjadi bungkus dari masing-masing: Karya sastra yang filosofis dan pemikiran yang sastrawi. 

Sejauh berjalannya budaya kasusatraan dan kefilsafatan Eropa, dalam beberapa biografi, banyak dijumpai seorang sastrawan yang sekaligus filsuf dan filsuf sekaligus sastrawan. 

Aristoteles, filsuf Yunani Kuno juga disambut baik sebagai seorang kritikus sastra. Immanuel Kant, filsuf yang banyak mempengaruhi filsuf-filsuf jaman berikutnya juga disebut-sebut sebagai prosais. Jean-Paul Sartre, seorang tokoh eksistensialisme paling berpengaruh di abad kedua puluh juga berhasil memenangkan Hadiah Nobel Kesusastraan. Dan yang terdekat, sastrawan terhebat kita, Pramoedya Ananta Toer dikenal sebagai penganut aliran realisme-sosialis yang berafiliasi dengan filsafat sosialisme. 

Dua status yang diborong sekaligus oleh satu orang, dalam hal ini status sastrawan dan filsuf, tak mungkin tidak saling mempengaruhi antara keduanya. Sebagaimana yang telah para ahli telaah, bahwa Jean-Paul Sartre, melalui novelnya yang berjudul Muak, ia gambarkan bagaimana eksistensialisme berlaku pada manusia. 

Begitu pula dengan Albert Camus. Lewat novel berjudul Orang Asing, ia menunjukkan bahwa absurditas tak terlepas dari kehidupan manusia. Dan ini sama halnya dengan apa yang dilakukan Johann Wolfgang Von Goethe dengan ajaran humanismenya dan Simone de Beauvoir dengan gaung feminismenya. 

Kemudian, apa yang membuat para sastrawan tertarik terhadap filsafat dan filsuf terhadap sastra? 

Kita tentu tahu bahwa, sekalipun sama sekali tidak pernah mempelajari filsafat, setidaknya setiap orang selalu memiliki suatu sudut pandang pribadi dalam menatap dunia (kehidupan). Atau dalam bahasa Jerman sering disebut dengan Weltanschauung (pandangan hidup).  

Saya rasa hal seperti itulah (Weltanschauung) yang dimiliki oleh seorang sastrawan, yang selanjutnya sering dijadikan sebagai aliran filsafat oleh pembaca, padahal sang sastrawan hanya menganggapnya sebagai sikap biasa terhadap dunia. 

Setiap orang mesti memiliki cara pandang masing-masing terhadap dunia (kehidupan). Hanya saja, ketika pandangan itu oleh sastrawan dituliskan dengan gaya bahasa yang lebih kompleks dan lebih berkarakter, akan memberikan kesan mengagumkan. Hal ini selaras dengan sifat sastra yang membentuk distansi estetis dan artikulasi. Artinya, sastra mengubah hal-hal yang pahit dan sakit (bahkan biasa-biasa saja) jika dialami dalam kehidupan nyata, menjadi menyenangkan untuk direnungkan dalam karya sastra. 

Sedangkan seorang filsuf, dengan kekhawatiran akan ketidakpahaman pembaca terhadap pemikiran-pemikirannya, mereka berusaha mencari sebuah solusi. Salah satunya menggunakan sastra. 

Sastra memberi sensasi hiburan ketika disandingkan, bahkan dengan filsafat sekalipun. Namun, seringkali sastra mengaburkan pemikiran yang terkandung. Walaupun ini hanya bersifat minor (sebagian kecil). Bantuan sastra terhadap filsafat ini menjadi solusi bagi filsafat yang sulit tersentuh oleh kaum non-intelektual. Setidaknya, dengan sastra, cita-cita itu bisa sedikit memiliki asa. 

Namun, bagi saya, sastra dan filsafat terlalu sayang untuk dipisahkan. Karena sedari dahulu dua bidang ini sering sekali membaur bahkan sulit untuk dibedakan. Terlebih puisi, karya sastra yang paling dianggap sebagai karya yang sangat filosofis. (*)


*) Beberapa pendapat diambil dari buku Madilog (Tan Malaka), Ensiklopedia Sastra Dunia (Anton Kurnia), dan Teori Kesusastraan (Rene Wellek dan Austin Warren). 


Komentar

Postingan Populer