Kuliah di Luar Negeri

Beberapa teman saya menempuh perkuliahan di luar negeri. Sebagian teman yang lain, yang berkuliah di dalam negeri bertanya. "Apa gak bahaya kalau kuliah di luar negeri?" "Bahaya kenapa?" Jawab saya. "Ya bahaya kalau mereka terdistraksi ideologi selain Pancasila." 

Benar, saya pikir. Orang-orang yang berkuliah atau berpendidikan di luar negeri memiliki potensi yang lebih besar untuk terdistraksi oleh ideologi selain Pancasila daripada yang kuliah di dalam negeri. Karena di sana tidak ada mata kuliah Pendidikan Pancasila. 

Namun, saya juga bertanya-tanya. Apakah hal demikian pasti berlaku bagi semua orang? Apakah karena mereka tidak lagi belajar Pancasila lantas mereka hilang kecintaan terhadap negara Indonesia? Saya rasa tidak. 

Dari pengalaman saya sendiri. Jujur. Saya lebih banyak membaca karya sastra terjemahan dari bahasa asing tinimbang sastra Indonesia. Meski saya mahasiswa sastra Indonesia. Entah mengapa saya hanya merasa nyaman dengan selera saya. Tapi bukan berarti saya meninggalkan begitu saja sastra-sastra Indonesia. Sampai saat ini, saya suka dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Eka Kurniawan. Dan bukan berarti pula saya tidak suka karya yang lain. Saya hanya merasa nyaman dengan selera saya sendiri (saya pinjam kalimat ini dari Eka Kurniawan). 

Saya banyak membaca karya-karya terjemahan dari bahasa asing hanya karena saya tidak merasa cocok dengan sebagian besar karya sastra Indonesia (mungkin ini sebab dari keterbatasan pemahaman saya kepada karya-karya sastrawan Indonesia). Mungkin itu alasan yang paling saya suka. Hal ini juga berawal dari latar belakang saya sebagai seorang santri. 

Di pesantren, kami mempelajari kitab-kitab tentang agama Islam. Yang kebanyakan kuno dan tidak dari Indonesia. Kami membaca teks asli berbahasa arab. Bukan terjemahan. 

Saya kira, itulah awal mula saya berkeinginan untuk membaca karya sastra luar Indonesia (tapi sampai saat ini saya belum bisa membaca teks asli). Saya sudah banyak membaca kitab-kitab dari yang bukan Indonesia, pikir saya. Mengapa tidak sekalian saja membaca karya sastra luar Indonesia. 

Dalam beberapa sisi, saya mengakui sastra non-Indonesia memiliki kelebihan. Saya bisa menyebutnya di sini. Kaidah-kaidah mereka beragam. Tema-tema yang mewarnainya juga seperti pelangi, bermacam-macam. Ketika membaca karya Albert Camus. Ajaran filsafat eksistensialisme bertaburan di sana-sini. George Orwell, dengan tema-tema kebenciannya terhadap imperialisme dan totalitarianisme, sangat memukau saya. 

Sekarang saya akan bertanya sebagaimana teman saya tadi bertanya (di awal). Dengan bacaan saya tersebut, apakah lantas saya akan membelot kepada sastra non-Indonesia dan meninggalkan sastra Indonesia begitu saja? Saya tegaskan tidak. 

Bahkan. Suatu kali, ketika saya baru usai membaca Burmese Days milik George Orwell, seorang sastrawan terkemuka Inggris abad kedua puluh. Dengan rasa kagum yang masih terkatung-katung dalam pikiran saya, saya membayangkan, bagaimana suatu saat, saya, beserta teman-teman sastra saya, akan menciptakan karya menakjubkan yang bisa menjadi "perwakilan" sastra Indonesia dalam kontestasi sastra dunia. Sebagaimana Orwell dengan sastra Inggris. 

Setidaknya itu adalah pemikiran dari jiwa muda saya. Tampak menggebu-gebu, memang. Tapi ini harus saya akui bahwa saya benar-benar memiliki pemikiran seperti itu.  

Tentang seseorang yang berpotensi membelot dari ideologi negerinya sendiri. Itu tidak sepenuhnya pasti terjadi. Jangankan di luar negeri —dengan potensi terpaparnya seseorang oleh bacaan-bacaan radikal, komunis, dan liberal. Di Indonesia saja. Saya mengambil contoh diri saya sendiri (memang ini akan terlihat lebih subjektif, tapi setidaknya harus ada contoh walau satu). Saya juga terpapar buku-buku marxis, komunis, liberal, dan bahkan ekstremis. Baik Kiri maupun Kanan. Tapi saya berpikir diri saya memiliki akar sendiri, ideologi bangsa saya sendiri, dan saya juga memiliki kehidupan dan pemikiran filosofis saya sendiri. 

Saya tidak harus dan tidak perlu mengadopsi pemikiran-pemikiran dari luar Indonesia. Karena bangsa saya sudah punya Pancasila, memiliki bhineka tunggal ika, praktik kebudayaan lokal, dan tentunya, mempunyai budaya kesusastraan yang kaya beserta komponen-komponen penyokongnya. Tinggal seperti apa cara kita menjaga, melestarikan, dan mengembangkannya.

Komentar

Postingan Populer