Keadilan Ras dan Nadine Gordimer

Keluar rumah adalah salah satu tindakan mengundang kematian. Bandit-bandit telah menguasai jalanan. Mereka merampok seluruh harta yang para penduduk miliki. Hingga tak ada satu pun harta yang bisa dimanfaatkan oleh warga, walau itu hanya sejumput makanan dan seteguk minuman. 

Di malam hari, kamp-kamp orang-orang Kulit Putih bercahaya oleh bara api yang membakar daging yang akan mereka makan sendiri. Di kejauhan, tanpa berani menampakkan ujung rambut sedikit pun, Orang Kulit Hitam memandang, dan liur mereka bertetesan ke bawah dagu. 

Penggambaran di atas belum begitu dramatis. Saya hanya berusaha meniru dari versi aslinya, dan saya rasa, saya gagal total, hahaha. Mungkin satu-satunya yang menghargainya adalah diri saya sendiri. Karena saya menulis hanya sebagai catatan. Mungkin ini berlebihan, hahaha. 

Namun, begitulah setidaknya keadaan di Afrika Selatan ketika ketegangan akibat pertentangan ras masih berlangsung di sana. Nadine Gordimer, penulis terkemuka Afrika Selatan, katakanlah, berhasil membuat saya sedikit terperangah dan teringat kepada cerpen-cerpen Pramoedya Ananta Toer. 

Ketika Afrika Selatan masih dikuasai ras Kulit Putih, meski nyatanya mereka adalah minoritas. Kulit Hitam seolah tersingkir dari rumah-rumah mereka sendiri. Dan saya begitu bersyukur ketika melihat lagi bagaimana keadaan negeri saya saat ini. Saya hanya perlu pergi ke dapur untuk menuruti laparnya perut saya. Di Afrika, bahkan orang-orang Kulit Hitam tak punya kesempatan memiliki dapur yang mengepul. Kau tak akan pernah melihat api kompor kecuali itu dari rumah Kulit Putih, yang dari jauh pun kau sudah bisa menghirup wangi aroma daging yang hampir masak. 

Pramoedya hampir mirip dengan Nadine Gordimer. Mereka sama-sama memperjuangkan nasib rakyat kecil melalui tulisan-tulisan. Sebutkanlah kumpulan cerpen Cerita dari Blora milik Pram (panggilan akrab Pramoedya Ananta Toer). Tentang seorang perempuan janda yang rela mejadi pekerja seks demi mengisi perut dan cerita-cerita perjuangan lainnya. 

Cerita semacam itu, dengan mudah, oleh Pram dibentuk dengan sangat dramatis dan berperasaan. Dia memandang suatu realitas kehidupan dari sudut pandang sesosok janda pelacur. Dan ini membuat dinamika sosial yang bergelut dalam kehidupan kita menjadi tampak lebih berwarna dan kompleks. Karena sebagian orang-orang hanya memandang dari kaca mata Kaum Atas. Yang secara otomatis melupakan seperti apa Kaum Bawah hidup sengsara. 

Di saat perang antar ras masih senantiasa berkecamuk di Afrika Selatan. Nadine menohok perang tersebut dengan tulisan-tulisan kritis. Sekalipun dia tergolong ras Kulit Putih, tapi dia selalu menyuarakan hak-hak kaum mayoritas Kulit Hitam. Dia berpikiran manusia itu setara, dalam segala hak apapun. Keadilan harus dijunjung tinggi. 

Kemudian, saya kembali melihat bagaimana perilaku masyarakat Indonesia (terlebih wilayah barat) terhadap masyarakat Indonesia bagian timur. Seberapa bebaur kita dengan rakyat dari Papua? Persatuan dalam pertalian kebhinekaan seakan terdobrak oleh keterasingan masyarakat Papua. 

Beberapa kali mahasiswa Papua yang berkuliah di Pulau Jawa merasa sulit untuk mendapatkan kamar kos. Apakah rakyat Indonesia telah menerapkan semangat persatuan? Jika kita katakan iya, lalu, apakah seluruh rakyat Indonesia sudah mendapatkan hak-hak mereka masing-masing? 

Pramoedya dan Nadine adalah corong yang menyaringkan suara-suara yang tak pernah terdengar. Tulisan-tulisan mereka adalah teleskop untuk melihat lebih jelas bagaimana rakyat tak memperoleh pemerataan hak mendasar. Pendidikan, ekonomi, hukum, politik, atau yang lebih sederhana, kebahagiaan. 

Secara ekonomi, harga-harga kebutuhan pokok di Papua sangatlah mahal. Lalu jika kita melihat kontelasi politik di Indonesia. Seberapa banyak politikus kondang dari Papua? Apakah sebagian pemuda di Papua bisa dengan mudah merasakan nyamannya bangku kuliah? Satu lagi, apakah masyarakat Papua sudah sebahagia masyarakat daerah lainnya?

Sebagian menganggap sastra merupakan corong, yang bisa memusatkan tujuan suara-suara lirih dari mereka. Tulisan adalah senjata dari perjuangan keadilan. Kita mungkin pernah mendengar bagaimana Madilog-nya Tan Malaka adalah salah satu kompor bagi semangat meraih kemerdekaan. Apa yang Tan Malaka lakukan juga sama dengan apa yang Pramoedya dan Nadine lakukan. 

Pada dasarnya memang hakikat sastra bukan suara. Dia bahkan bisu dan tidak mendengar alias tuli. Tapi sering kali ketika orang bisu "bersuara", suara itu menjadi lebih nyaring dari suara apapun. Seperti apa yang Gao Xinjiang katakan, seorang penulis kawakan Cina, "Seorang penulis adalah orang biasa, mungkin ia lebih perasa, tapi orang-orang yang lebih perasa sering kali lebih rapuh. Seorang penulis tak bicara sebagai juru bicara kaumnya ataupun sebagai perwujudan kebenaran. Suaranya mungkin lirih, tapi suara ini murni".

Komentar

Postingan Populer